Bahan Khotbah Natal I, Jumat, 25 Desember 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]
2:1 Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.
2:2 Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria.
2:3 Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri.
2:4 Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, --karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud-
2:5 supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung.
2:6 Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin,
2:7 dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.
2:8 Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam.
2:9 Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan.
2:10 Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:
2:11 Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.
2:12 Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”
2:13 Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya:
2:14 “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”
Selamat pagi, selamat Natal, shalom!
Adakah di antara bpk/ibu/sdra/sdri yang baru pulang ke Nias minggu ini atau bulan ini? Adakah yang merindukan untuk pulang kembali ke kampungnya untuk bertemu keluarga besarnya? Pasti ada! Kita boleh saja merantau ke berbagai tempat/daerah di luar kota Gunungsitoli ini, tinggal dan bekerja di daerah tersebut, namun pada saat natal kita biasanya selalu merasakan kerinduan untuk pulang kampung, untuk merayakan natal itu di tengah-tengah sanak saudara dan orang tua, di tengah-tengah orang yang kita kasihi dan mengasihi kita. Lihat sdra/sdri, betapa peristiwa natal justru dapat menolong kita untuk mendekatkan kembali hubungan kekeluargaan yang selama ini jauh karena berbeda tempat. Saya mencoba membayangkan situasi seperti ini ketika semua orang di seluruh dunia di bawah kekaisaran romawi pada waktu itu, berbondong-bondong pulang kembali ke kampungnya atau ke kota asalnya, dalam rangka pendaftaran/sensus penduduk (ay. 1,2). Ah, betapa menyenangkan peristiwa ini, coba bayangkan betapa mereka pada akhirnya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan kerabat, tentu dengan mendaftarkan diri masing-masing di kotanya sendiri. Dengan pulang ke kotanya, ke daerah asalnya, walaupun mungkin tidak terlalu lama, rasa kekerabatan dan kekeluargaan akan selalu terjaga.
Sdra/sdri, apakah ada di antara kita yang malah tidak merindukan pulang kembali ke kampungnya walau hanya untuk sebentar saja? Adakah di antara kita yang selama ini memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan kerabatnya? Adakah di antara kita yang masih menyimpan rasa tidak suka (benci), dendam, rasa tidak senang kepada anggota keluarga atau pun sesamanya? Adakah yang pernah bertengkar dengan pimpinan, bawahan, teman sekerja, sesama anggota majelis, teman sekolah, bahkan kepada hamba Tuhan? Adakah di antara kita yang dalam beberapa hari ini, atau mungkin sudah cukup lama, tidak bertegur sapa dengan sesama, bahkan dengan dengan orang serumahnya? Kalau ada, maka natal ini adalah waktu yang sangat tepat untuk memperbaiki kembali hubungan tersebut, menghangatkan kembali hubungan yang sempat “mendingin”, dan mendekatkan kembali hubungan yang sempat renggang. Natal bukanlah sekadar ucapan “selamat natal”, tetapi kesempatan untuk membuang rasa marah, benci, iri hati, dan dendam. Natal adalah saat yang tepat untuk berdamai dan mengampuni. Biarlah rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang ada semakin terjalin erat. Karena itu, sukacita natal akan semakin besar ketika kita telah berdamai dengan sesama dalam keluarga, di tempat kerja, dan dengan siapapun. Kenyataan bahwa kisah natal versi Lukas ditandai dengan adanya sensus penduduk yang membuat setiap orang harus kembali ke kotanya untuk mendaftarkan diri, menunjukkan bahwa sepertinya kisah natal ini memberi penekanan pada aspek kebersamaan dan kekeluargaan. Renungkanlah tema natal kita tahun ini: “Hidup bersama sebagai keluarga Allah”. Apakah hari ini telah lahir juruselamat bagi kita? Dalam rasa dan wujud seperti apa Juruselamat yang lahir itu?
Sdra/sdri, renungan kita berikutnya adalah tentang Yesus yang sesungguhnya merupakan keturunan Daud, raja besar di Israel. Apa artinya? Yaitu bahwa Yesus sesungguhnya “berdarah biru”, keturunan bangsawan yang seharusnya lahir secara terhormat. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Yesus lahir di tempat yang tidak layak bagi keturunan raja (lih. ay. 6-7). Berita kelahiran-Nya pun tidak disiarkan oleh dan kepada kaum bangsawan, tetapi pertama-tama kepada para gembala di padang, kepada kelompok masyarakat yang tidak terpandang. Lihatlah sdra/sdri, Yusuf dan Maria, bahkan Yesus sendiri pun, rela menjalani segala kerendahan itu, mereka tidak menuntut apa-apa sekali pun mereka layak mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa. Tentu kenyataan ini sangat berbeda dengan realitas sekarang. Banyak orang yang memanfaatkan jabatan ayahnya atau keluarganya dan berlagak seperti pejabat juga, berlaku seenaknya, memerintah sesuka hati, bahkan sering terjadi seperti ungkapan dalam bahasa Nias: “ebua li nambi moroi ba göröbao”. Apakah hari ini telah lahir juruselamat bagi kita? Apakah ada tempat bagi Yesus dalam hidup kita, ataukah Dia harus lahir di tempat di luar hati ini? Natal membutuhkan kerelaan kita untuk berbagi dan berkorban dengan yang lain, rela untuk repot, rela ego kita terluka, supaya kita dapat hidup bersama sebagai keluarga Allah
Terakhir, natal melenyapkan ketakutan dan menerangi kegelapan (seperti dialami oleh para gembala, ay. 8-10), dan membawa manusia untuk memuliakan Allah (ay. 13-14). Baca kembali ayat 8 dan 9. Ini sungguh menekankan esensi dari Kekristenan. Sebelumnya adalah kegelapan, namun kemudian munculah terang. Ternyata terang Kristus melenyapkan seluruh ketakutan dan kegelapan, “kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka.” Ketika malam semakin gelap, sinar bercahaya makin terang!
Itulah yang terjadi di wilayah Romawi, ketika Kristus lahir. Banyak orang menjadi budak. Orang-orang pada umumnya tidak memiliki pengharapan. Kemudian Kristus lahir, dan “terang itu bercahaya di dalam kegelapan.” (Yoh. 1:5). Dalam sejarahnya, orang banyak berbondong-bondong datang kepada terang Kristus. Berita sukacita ini menyebar cepat sekali ke seluruh wilayah Romawi, dan bahkan keluar wilayah Romawi, sebab ketika malam semakin gelap, sinar bercahaya makin terang, dan nama Tuhan dimuliakan. Apakah hari ini telah lahir Juruselamat bagi kita?
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?