Saturday, May 28, 2016

Supaya Segala Bangsa Mengenal dan Takut akan TUHAN (1 Raja-raja 8:22-23 + 41-43)

Rancangan Khotbah Minggu, 29 Mei 2016
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]



Pengakuan akan Kebesaran dan Kesetiaan TUHAN (8:22-23)
Setelah menyelesaikan pembangunan istananya dan bait Allah di Yerusalem dengan segala kemegahannya, Salomo kemudian melaksanakan acara “peresmian” yang tergolong mewah. Mendahului semua acara “peresmian” tersebut, Salomo menyampaikan doa permohonan kepada TUHAN yang isinya adalah tentang pengakuan akan kebesaran dan kesetiaan TUHAN yang tiada bandingannya dengan siapa pun juga. Kebesaran dan kesetiaan TUHAN Allah itu terlihat dari selesainya pembangunan istana raja Salomo dan pembangunan bait Allah yang megah pada zaman Salomo, persis seperti perjanjian TUHAN sebelumnya kepada raja Daud (lih. 2 Sam. 7:1-17). Di hadapan TUHAN dan di hadapan rakyatnya, Salomo mengakui bahwa keberhasilannya mendirikan kedua bangunan megah itu tidak terlepas dari campur tangan TUHAN yang begitu besar, berkuasa, dan itu semua merupakan bukti bahwa TUHAN selalu setia pada janji-janji-Nya.

Sebenarnya, pada zaman itu kondisi sosial ekonomi bangsa Israel tidak memungkinkan mendirikan kedua bangunan megah tersebut, apalagi melaksanakan upacara peresmian mewah, karena masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, pada akhirnya kedua bangunan monumental tersebut selesai, dan bahkan diresmikan dengan acara yang menghabiskan biaya yang sangat besar. Dengan kondisi bangsa Israel yang tergolong miskin itu, bagaimana mungkin menyelesaikan dan meresmikan kedua bangunan itu? Dalam doanya di hadapan TUHAN dan segenap jemaah Israel, Salomo menegaskan bahwa semuanya itu adalah bukti kebesaran dan kesetiaan TUHAN bagi mereka, secara khusus bagi Salomo dan keluarga ayahnya Daud.

Pengakuan Salomo dalam doanya ini memberi penegasan bahwa ke-raja-annya itu berasal dari Allah sendiri, dengan demikian pembangunan dan peresmian istana raja dan bait Allah di Yerusalem adalah semata-mata kebesaran TUHAN saja. Ini adalah pengakuan dan penegasan yang tentunya sangat penting bagi eksistensi ke-raja-an Salomo sendiri, dan sebuah komitmen bahwa dia mempersembahkan kembali pembangunan itu bagi TUHAN Allah, dan karenanya seluruh rakyat Israel pun harus tunduk pada kebesaran Allah dimana Salomo sebagai raja yang telah ditetapkan-Nya, dan bait Allah di Yerusalem sebagai pusat peribadatan mereka.

Ini sangat penting, bahwa dalam seluruh rencana, seluruh kegiatan, bahkan seluruh keberhasilan yang kita capai, haruslah ditempatkan dalam kerangka pengakuan akan kebesaran dan kesetiaan Allah. Apa pun yang kita capai, keberhasilan dan atau kegagalan, tidak terlepas dari pengaruh kebesaran dan kesetiaan Tuhan. Benar bahwa sebagian orang berhasil karena latar belakang pendidikannya yang memadai, atau karena perjuangannya, atau karena status sosial ekonomi yang cukup baik, dst. Karena anggapan inilah banyak orang yang terlena, bahkan angkuh dengan apa yang mereka capai, namun kemudian secara perlahan dan tidak disadari mereka pun jatuh dan sulit bangkit kembali. Bahkan Salomo sendiri pun mengalaminya, awalnya dia mengakui kebesaran dan kesetiaan TUHAN Allah, namun di masa tuanya dia menjadi tidak setia kepada TUHAN, dan akhirnya dia pun jatuh, kerajaannya pecah pada masa pemerintahan anaknya Rehabeam. Benar bahwa di dunia ini ada “orang-orang besar” karena menduduki suatu jabatan tertentu, atau karena memiliki pengaruh yang kuat dalam jemaat dan masyarakat, namun harus diakui bahwa sebesar-besarnya status diri manusia tidak akan pernah mengalahkan “kebesaran” Allah. Bagi kita, dalam terang iman Kristen, kebesaran Allah itu mengalahkan segala sesuatu. Kesadaran akan hal ini akan membuat seseorang selalu mengarahkan seluruh kehidupannya hanya untuk kemuliaan Allah yang besar itu.

Supaya Segala Bangsa Mengenal & Takut akan TUHAN (8:41-43)
Doa Salomo ini kepada TUHAN juga meluas hingga ke bangsa-bangsa lain (di luar Israel). Ada penegasan dalam doa Salomo ini bahwa bait Allah di Yerusalem tidak hanya untuk bangsa Israel saja, tetapi juga untuk orang asing. Dia memohon agar TUHAN juga mendengarkan seruan doa orang asing yang datang ke rumah Tuhan itu, sama seperti Allah mendengarkan doa bangsa Israel. Hal ini menunjukkan betapa bait Allah tersebut menjadi simbol kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya bahkan bagi orang asing; bait Allah menjadi simbol penyataan diri Allah yang berkenan mendengarkan seruan setiap orang yang memohon kepada-Nya. Namun, ada hal yang sangat menarik dari doa Salomo ini, menegaskan keinginannya bagi bangsa-bangsa, yaitu “supaya segala bangsa di bumi mengenal nama TUHAN, sehingga mereka takut akan TUHAN, sama seperti umat Israel mengenal dan takut akan TUHAN”. Artinya, ibadat yang berlangsung di bait Allah itu diharapkan dapat membuat siapa pun untuk semakin mengenal dan takut akan TUHAN. Tentu, hal ini sering kontras dengan realitas pada zaman sekarang, dimana banyak orang Kristen yang semakin sering beribadat justru semakin menunjukkan tingkah laku seperti orang-orang yang tidak mengenal dan tidak takut akan TUHAN. Malah, banyak orang Kristen yang merasa lebih berkuasa dari TUHAN, kalau bisa mengatur Tuhan sesuai keinginannya. Namun, hari ini kita diajak untuk sadar bahwa hanya TUHAN sajalah yang paling besar dan setia, oleh sebab itu ibadah kita pun harus untuk kemuliaan-Nya yang besar itu, dan kehidupan kita sehari-hari mestinya menunjukkan bahwa kita ini sudah mengenal dan takut akan Tuhan.


[1]Bahan khotbah Minggu, 29/05/2016, di BNKP Jemaat Wenieli, R. 26.

Sunday, May 15, 2016

Hidup yang Dipimpin oleh Roh Kudus (Roma 8:14-17)



Rancangan Khotbah Minggu Pentakosta, 15 Mei 2016

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]


Selamat Merayakan Pentakosta, Shalom!
Hari ini, kita merayakan pentakosta, merayakan peristiwa pencurahan Roh Kudus ke atas orang-orang percaya yang berkumpul di satu tempat di Yerusalem, tidak lama setelah Yesus naik ke surga (lih. Kis. 2). Sejak saat itu, terjadi perubahan besar dalam diri dan kehidupan orang-orang percaya, dari yang tadinya masih ragu-ragu bahkan takut menyaksikan Kristus menjadi berani dan bersemangat memberitakan Injil Kristus ke mana-mana, mulai dari Yerusalem sendiri hingga ke bangsa-bangsa lain, termasuk ke Roma yang pada waktu itu dikenal sebagai negara “adidaya” karena memiliki kekuasaan yang cukup besar di berbagai wilayah di luar Roma sendiri, termasuk di Israel/Yahudi. Itulah sebabnya dalam kitab Roma ini Paulus kadang-kadang menyinggung tradisi/hukum Yahudi, dan kadang-kadang juga menyinggung tradisi/hukum Romawi.

Tentu, kita tidak hanya sekadar merayakan peristiwa pencurahan Roh Kudus tersebut secara formalitas melalui kebaktian pada hari ini, tidak pula sekadar merayakannya dengan penggunaan kain liturgi berwarna merah (sampai-sampai ada yang bingung memilih warna merah tersebut: merah hati, merah menyala, merah jambu, merah muda, merah delima, atau merah seperti apa?); tidak juga sekadar perayaan yang terkesan monumental atau glamor sehingga kadang-kadang mengaburkan inti dari perayaan itu sendiri. Perayaan pentakosta melebihi semuanya itu, (seharusnya) membawa perubahan mendasar dalam diri dan kehidupan orang-orang yang telah menerima-Nya.

Menurut Paulus, orang-orang percaya pada prinsipnya telah menerima Roh Allah, dan Roh Allah inilah yang memimpin orang-orang percaya dimaksud dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, bukan lagi roh kedagingan (eheha nösi niha), bukan lagi roh ketakutan (eheha wa’ata’u), bukan lagi roh kefasikan dan kelaliman (eheha wa lö atulö, eheha wa’afaito, eheha waguaguasa, eheha wa lö sökhi), bukan lagi roh keangkuhan (eheha wayawasa ba fanandrawaisi), bukan lagi roh penghakiman (eheha wanguhuku), bukan lagi roh pemecah-belah (eheha wamazawili), dan bukan lagi roh pembenaran diri sendiri (eheha waya’osa), melainkan pembenaran oleh kasih karunia Allah (bnd. Rom. 8:29-30). Ketika kita dipimpin oleh Roh Allah berarti kita juga tinggal bersama dengan Tuhan (sifao khö Keriso ita), dan Tuhan tinggal di dalam kita (so Zo’aya ba wa’aurida), dan semuanya itu akan terlihat dengan jelas dalam kehidupan kita di mana pun kita berada. Orang yang dipimpin oleh Roh Kudus atau sebaliknya tidak dipimpin oleh Roh Kudus, akan terlihat dalam kata-katanya, terlihat dalam komunikasinya dengan sesamanya (bnd misalnya orang zaman sekarang lebih mudah tersenyum kepada media komunikasinya daripada kepada sesama manusia, lebih ramah dalam dunia sosial/maya daripada dunia nyata), terlihat dalam relasinya dengan sesama (selalu bermasalah atau lebih harmonis), ... terlihat dalam seluruh eksistensi hidupnya. Intinya adalah bahwa orang-orang yang telah menerima Roh Allah, yang dipimpin oleh Roh Kudus, telah mengalami transformasi kehidupan (tebohouni wa’auri), hidupnya berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Lalu apa “keuntungan” kita apabila sudah menerima Roh Kudus dari Allah itu? Apakah hanya sekadar mengubah diri dan kehidupan kita menjadi orang-orang yang dipimpin oleh Roh Kudus? Tidak! Ternyata, Roh Kudus itu juga mengubah status kita, dan ini sangat penting dan sangat menentukan bagi masa depan kita. Implikasi dari penerimaan Roh Kudus adalah bahwa setiap orang percaya yang hidup menurut Roh Allah tersebut kini disebut sebagai anak Allah yang sudah diangkat secara sah.

Dalam hukum Romawi, seseorang memang sulit diangkat sebagai anak, namun apabila seseorang sekali saja berhasil diangkat menjadi anak maka statusnya sebagai anak tersebut bersifat permanen. Metafora ini tepat untuk menjelaskan kebenaran teologis tentang jaminan kehidupan orang-orang percaya yang telah menerima Roh Kudus. Anak alamiah dapat dicabut hak warisnya bahkan “dibunuh”, tetapi orang yang telah diangkat secara sah sebagai anak tidak boleh diperlakukan lagi seperti itu.

Inilah salah satu cara Paulus untuk menggambarkan keselamatan orang-orang percaya (Rom. 8:15, bnd. 8:23). Jadi tidak perlu lagi ada ketakutan atau kekuatiran akan pencabutan hak waris yang telah kita peroleh dari Tuhan, tidak perlu takut lagi akan adanya penghukuman atau pembunuhan, sebab kita sekarang adalah orang-orang yang telah diangkat oleh Allah sebagai anak-anak-Nya.

Hanya itukah “keuntungan” kita apabila sudah menerima Roh Kudus dari Allah? Tidak juga! Masih ada lagi! Orang-orang percaya yang telah menerima Roh Allah, memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Allah Bapa, Ia menjadi seperti ayah kita sendiri. Istilah “Abba” berasal dari bahasa Aram, biasa digunakan oleh anak-anak Yahudi untuk memanggil ayah mereka sendiri. Jadi, orang yang telah menerima dan dipimpin oleh Roh Allah adalah anak Allah (bnd. ay. 14), yang boleh berseru kepada-Nya dengan panggilan “ya Abba, ya Bapa”, sungguh suatu panggilan mesra dan akrab; ah, begitu dekatnya dengan Tuhan, dan ini boleh terjadi karena Roh Allah sendiri menolong kita dalam seruan atau doa kita kepada Tuhan (bnd. Roma 8:26-27). Roh Kudus inilah juga yang meyakinkan kita, dan memberi kesaksian bahwa kita adalah anak-anak Allah (yang diangkat secara sah). Tentu, kita pun mesti menunjukkan perbuatan yang mencerminkan perbuatan anak-anak Allah, anak-anak yang tidak mempermalukan Bapanya, anak-anak yang tidak menyusahkan hati Bapanya, anak-anak yang membanggakan Bapanya, dan anak-anak yang begitu dekat dengan Bapanya.

Implikasi lain yang juga sangat penting dari pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah dan keintiman kita dengan “Ayah” kita tersebut adalah bahwa kita menjadi ahli waris Allah, dan kalau kita ikut menderita dengan Kristus maka kita juga adalah ahli waris Kristus. Pewarisan seperti ini disebut sebagai pewarisan ganda, yang juga sudah dikenal dalam PL (lih. Ul. 21:15-17). Anak sulung mendapat dua bagian dalam warisan, pertama hak warisan sebagai anak yang lahir dalam keluarga itu, dan kedua hak waris karena ia memenuhi persyaratan khusus sebagai anak sulung. Jadi, kalau kita percaya kepada Kristus, maka kita pun memperoleh satu warisan penting, yaitu menjadi ahli waris Allah, dalam hal ini berhak menerima janji-janji Allah untuk MASUK ke dalam Kerajaan-Nya. Namun, apabila kita memenuhi persyaratan khusus, yakni ikut menderita dengan Kristus (bnd. Fil. 1:29), maka kita juga memperoleh warisan yang kedua/ganda, yaitu menjadi ahli waris Kristus, dalam hal ini MEMILIKI Kerajaan Allah yang telah kita masuki itu bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Kalau kita “dipimpin oleh Roh Allah”, dan kalau kita “hidup menurut Roh Allah”, kita pasti akan menderita dengan Kristus. Hidup menderita yang kita jalani dalam Roh Allah bersama Kristus inilah yang kemudian membuat kita dipermuliakan bersama-sama dengan Kristus. Inilah pengharapan orang-orang percaya yang telah menerima dan dipimpin oleh Roh Kudus.


Selamat berefleksi, Roh Kudus pasti menyertai!

[1] Khotbah Minggu, 15/05/2016, di Kebaktian Siang BNKP Jemaat Denninger.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...