Wednesday, May 4, 2016

Merindukan Allah dari Jauh (Mazmur 42:2-10)



Renungan Epistel Khotbah Sekber UEM
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo

A.    Pengantar
Secara eksplisit teks ini menggambarkan suasana hati pemazmur yang gundah gulana akibat berbagai tekanan hidup yang harus dihadapi. Mazmur 42 ini sendiri diteruskan lagi nanti oleh Mazmur 43; keduanya sama-sama mengungkapkan kerinduan pemazmur akan Allah.

Kerinduan pemazmur ini memberi kesan bahwa dia sedang berada jauh dari Allah.[1]Memang tidak ada informasi pasti tentang di manakah pemazmur berada sehingga dia merindukan Allah, namun bisa jadi dia berada di negeri orang lain, atau sedang berada di tengah-tengah bangsa lain yang nampaknya mengolok-olok dia karena imannya kepada Tuhan Allah, dan atau merasa terasing berada di antara orang-orang di sekitarnya, bahkan merasa terasing karena “berada jauh” dari Allah. Dalam situasi seperti itulah pemazmur mengekspresikan kerinduannya akan Allah, yang sekaligus mencerminkan pengharapannya bahwa hanya Tuhan Allah sendiri sajalah yang masih dapat menolongnya dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan.

B.     Penjelasan/Pesan Berita
Kita akan membagi dua (2) Mazmur 42 ini, yaitu (1) Kerinduan akan Allah; dan (2) Perasaan tertekan karena jauh dari Allah.

Kerinduan akan Allah (42:2-6)
Pemazmur mengekspresikan kerinduannya akan Allah dengan kiasan “rusa yang merindukan sungai yang berair”. Tentu kiasan ini bukan hal yang baru atau asing bagi para pembaca awal mazmur, sebab baik pemazmur maupun para pembawacanya sudah terbiasa melihat rusa-rusa yang mengembara di bukit-bukit dan kadang-kadang mengalami masa kekeringan terutama di musim kemarau (bnd. Yl. 1:20). Demi kelangsungan hidupnya, dalam keadaan kekeringan seperti itu, rusa-rusa tentu merindukan wadi yang masih berair. Kiasan ini menggambarkan suasana jiwa pemazmur sendiri, yaitu bahwa dia sangat merindukan Allah, dia haus kepada Allah (bnd. Mzm. 63:2). Mengapa? Karena bagi pemazmur sumber air yang sesungguhnya, sumber kelangsungan hidupnya adalah Tuhan, dan tidak ada yang lain.

Ekspresi kerinduan pemazmur ini sangat dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang sedang dialaminya saat itu, yaitu tekanan yang membuat dia merasa terasing, terpencil, bahkan diperhadapkan pada cemoohan para penantangnya yang mempertanyakan kehadiran dan atau keberadaan Tuhan Allah yang dipercainya itu. Para penantang ini sudah mengelilingi pemazmur, siap untuk “menerkamnya”, dan sampai sekarang pemazmur belum mendapatkan pertolongan apa pun. Situasi ini dimanfaatkan oleh musuh-musuhnya untuk terus menyerangnya dengan kata-kata yang sangat menyakitkan, yaitu bahwa Tuhan Allahnya tidak mampu menyelamatkannya, tidak berdaya sama sekali. Dalam situasi yang seperti ini, dimana Allah masih belum menunjukkan pertolongan-Nya, pemazmur merasa terasing dari Allah sendiri, dan tentunya merasa terasing berada di tengah-tengah bangsa pencemoohnya itu. Itulah sebabnya di ayat 4 pemazmur berkata: Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?” Kata-kata ini merupakan ekspresi jiwa yang sangat gundah-gulana, sebagaimana diungkapkan oleh pemazmur di ay. 5.

Sesungguhnya, pemazmur masih memiliki harapan, dia masih mengingat apa yang seharusnya dilakukan ketika berada dalam situasi terjepit. Ayat 5 menegaskan hal ini, yaitu bahwa dia pernah menikmati sukacita ketika dia jiwanya gundah-gulana. Bagaimana hal itu terjadi? Yaitu melalui persekutuan dengan Tuhan Allah di rumah Allah, merayakan kehidupan bersama dengan Allah walaupun sedang mengalami berbagai tekanan kehidupan. Artinya, di saat-saat sulit seperti itu pemazmur percaya bahwa pasti akan ada pertolongan dari Tuhan, dan yang harus dilakukan adalah tetap memuji dan mengagungkan Tuhan. Di sini pemazmur mencoba mengubah paradigmanya tentang masalah yang dihadapinya itu, dari problem-oriented (orientasi masalah) ke problem-solving oriented (orientasi penyelesaian masalah). Kalau sebelumnya dia hampir terjebak dalam pemahaman bahwa tidak ada jalan keluar atas masalahnya, sekarang dia sadar dan menegur diri sendiri dengan bertanya di ayat 6a: “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?” Apa arti pertanyaan ini? Yaitu bahwa pemazmur kini sadar bahwa persoalan utama yang membuat dia semakin terpuruk adalah cara pandangnya terhadap masalah yang sedang dihadapinya itu. Kini, dia sadar bahwa ketika dirinya hanya memikirkan dan melihat pada kesulitan yang sedang dialami, maka hasilnya adalah kegelisahan dan gundah-gulana yang tiada hentinya. Dan sekarang, pemazmur mengajak dirinya untuk melihat bahwa Tuhan Allah pasti menolong, bahwa tidak ada masalah atau kesulitan yang lebih besar dari Allah. Pemazmur mengekspresikan optimismenya ini di ayat 6b: “Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” Dengan pernyataan ini, pemazmur menghibur dan menguatkan dirinya sendiri dalam menghadapi berbagai tekanan/kesulitan yang sedang dialaminya, dan dia yakin bahwa apa pun yang terjadi Allahnya pasti menolong, karena itu dia akan bersyukur kepada-Nya.

Jadi, dapat dikatakan bahwa bagian pertama ini menggambarkan bagaimana kerinduan pemazmur akan Allah karena berbagai masalah/kesulitan yang dialaminya, dan bagaimana dia sendiri melihat bahwa Allah pasti memenuhi kerinduannya itu.

Perasaan tertekan karena jauh dari Allah (42:7-10)
Pada bagian ini pemazmur mengungkapkan perasaannya yang sangat tertekan, dan dalam situasi seperti itu dia mengingat Tuhan sebagai satu-satunya sumber air yang sesungguhnya, sumber kelangsungan hidupnya. Kata-kata pemazmur dalam teks ini juga memberi kita informasi di mana dia berada ketika dia berkeluh-kesah dan mengekspresikan kerinduannya akan Tuhan, yaitu di tanah sungai Yordan dan pegunungan Hermon, dari gunung Mizar, jadi bukan di negerinya sendiri, bukan di rumah Allah di Yerusalem. Hal ini memberi kesan bahwa dia mengalami kesulitan yang luar biasa ketika dia berada di wilayah itu. Apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh pemazmur dengan syair-syair itu? Beberapa ahli PL menganggap bahwa dalam teks ini pemazmur hendak menggambarkan situasinya yang penuh dengan kesulitan dan kesakitan bahkan ancaman maut.[2]Kesulitan dan kesakitan pemazmur ini semakin bertambah dengan adanya anggapan dari musuh-musuhnya bahwa kesengsaraannya tersebut merupakan balasan atas kesalahannya. Dalam kondisi seperti inilah pemazmur merasa jauh dari Allah, akibatnya dia sangat tertekan dan gundah-gulana.

Namun, apakah pemazmur menyerah begitu saja? Tidak! Kalau pada bagian pertama tadi, khususnya di ay. 6, pemazmur menyatakan optimismenya, maka pada bagian ini pemazmur menegaskan bahwa di tengah tekanan yang dialami, kesulitan dan kesakitannya, dia mengingat Tuhan dan menyerahkan seluruh keluh-kesahnya, sebab bagi pemazmur hanya kasih setia Tuhan sajalah yang mampu menyelamatkan dirinya yang sedang berada di tengah gelora dan gelombang yang mengancam kehidupannya tersebut. Atas dasar itulah pemazmur ini menegaskan bahwa dia sangat tertekan berada jauh dari Tuhan, dan kerinduannya sekarang adalah berada dekat Tuhan, berada dalam bait kudus-Nya. Hanya ketika berada di dekat Tuhan, berada dalam naungan kasih Tuhan, pemazmur merasa aman, diselamatkan, dan kelangsungan kehidupannya terjamin.

Pada bagian ini, pemazmur sekali lagi menegaskan optimismenya dalam menghadapi persoalan bahkan ancaman yang sedang mengelilinginya itu. Di ayat 9 pemazmur mengungkapkan keyakinannya akan pertolongan Tuhan: “TUHAN memerintahkan kasih setia-Nya pada siang hari, dan pada malam hari aku menyanyikan nyanyian, suatu doa kepada Allah kehidupanku”. Syair-syair ini menunjukkan betapa pemazmur menaruh harapannya hanya pada Tuhan saja, suatu pengakuan yang menegaskan bahwa Allah selalu hadir setiap waktu (siang dan malam) dalam berbagai persoalan yang dihadapi manusia. Walaupun pemazmur kadang-kadang berada dalam situasi yang seolah-olah Allah telah meninggalkan dia (ay. 10), dan orang lain terus menerus mencelanya dengan perkataan: “Di manakah Allahmu?” (ay. 11), namun pemazmur sendiri mencoba untuk bangkit, berusaha menghibur dan menyemangati dirinya sendiri, sebab dia percaya bahwa Tuhan adalah Gunung Batu yang teguh, Penolong yang tidak ada bandingannya, Pembela bagi orang-orang yang terimpit dan tertindas.

Jadi, dapat dikatakan bahwa pada bagian yang kedua ini pemazmur mencurahkan isi hatinya yang begitu tertekan karena jauh dari Allah sementara ancaman demi ancaman sedang mengelilinginya, dan pada akhirnya pemazmur menemukan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menjauhkan dirinya dari kasih setia Tuhan, dan oleh karena kasih setia Tuhan itulah keberlangsungan kehidupannya terjamin.

C.    Aplikasi
Hari ini kita merayakan suatu peristiwa yang sangat penting, yaitu kenaikan Tuhan Yesus. Kita masih mengingat dengan jelas beberapa bulan yang lalu peristiwa-peristiwa kesengsaraan Yesus hingga kematian-Nya di kayu salib. Pada saat itu orang-orang percaya hampir kehilangan pengharapan karena Sang Tuhan terkesan tidak berdaya menghadapi lawan-lawan-Nya, dan seolah-olah Dia sudah menyerah begitu saja ketika Dia “membiarkan” diri-Nya disiksa dan disalibkan hingga mati. Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana para pemimpin Yahudi dan tentara Romawi mengolok-olok Tuhan Yesus yang mereka siksa dan salibkan itu. Sangat menyakitkan! Kita juga masih mengingat betapa para murid terpaksa harus “menyembunyikan diri” supaya tidak menjadi korban berikutnya dari amukan para pemimpin Yahudi dan tentara Romawi. Bahkan berita kebangkitan Tuhan Yesus yang seharusnya mendatangkan sukacita besar, tidak serta merta menyirnakan ancaman atas para pengikut Kristus. Situasi yang mencekam ini menguasai para murid sampai pada akhirnya Tuhan Yesus sendiri meyakinkan para murid bahwa segala kuasa di surga dan di bumi telah diberikan kepada-Nya, dan bahwa Dia akan menyertai mereka sampai kepada akhir zaman (Mat. 28:18, 20). Apa artinya? Yaitu bahwa Tuhan yang kita percayai, yang kadang-kadang seperti tidak berdaya menolong kita ketika berada dalam masalah, sesungguhnya memiliki kuasa yang akan menyertai kita, dan yang akan menolong orang-orang yang percaya kepada-Nya. Peristiwa kenaikan Tuhan Yesus yang kita rayakan pada hari ini menjadi bukti nyata bahwa Tuhan tidak pernah melupakan kita, bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, Dia selalu hadir setiap waktu dalam perjalanan kehidupan kita.

Benar bahwa kita tidak dapat melihat Tuhan secara kasat mata, tetapi itu tidak otomatis menunjukkan bahwa Dia tidak ada atau tidak berdaya. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat Tuhan akhir-akhir ini, kesulitan-kesulitan untuk beribadah kepada Tuhan, bahkan ancaman dari berbagai pihak karena kita memilih berjalan pada jalan Tuhan, menegaskan kepada kita bahwa tidak ada kehidupan yang bebas dari masalah, tidak ada kehidupan yang bebas dari kesulitan dan penderitaan. Benar bahwa kita kadang-kadang merasa begitu jauh dari Tuhan, sebab ketika kita sangat membutuhkan pertolongan-Nya justru masalah yang kita hadapi semakin banyak, dan kadang-kadang kita merasa menyesal telah percaya kepada-Nya. Seringkali orang-orang percaya merasa kecewa dengan Tuhan karena berbagai persoalan yang menghimpit dan menekan kehidupan, lebih kecewa lagi ketika merasa sudah melakukan segala hal untuk menyenangkan Tuhan, termasuk jeritan dan air mata dalam doa, namun Allah seolah-olah tidak mendengar, seolah-olah Allah telah menjadi tuli dan bisu, akhirnya kita merasa sangat jauh dan merasa terasing dari Tuhan. Namun, pemazmur pada hari ini memberikan kita suatu pelajaran yang sangat penting, bahwa kerinduan kita akan Tuhan tidak boleh disirnakan oleh berbagai masalah, justru melalui masalah itu kita semakin merindukan Dia, sebab hanya di dalam Dia sajalah ada pertolongan dan keselamatan, dan hanya di dalam Dia sajalah ada sumber keberlangsungan hidup. Optimisme ini dikuatkan oleh Rasul Paulus: Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Roma 8:35, 38-39).

Terakhir, nampaknya kita harus mengubah cara pandang kita dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan ini. Sesungguhnya “bukan besarnya masalah yang sering membuat kita gagal, melainkan cara kita menghadapi masalah tersebut”. Maka, ketika masalah datang sebaiknya kita jangan berkata: “O God, look, I have a big problem” (O Tuhan, lihatlah, saya memiliki masalah yang besar). Sebaliknya, ketika masalah sebesar apa pun mengelilingi kita, sebaiknya kita berkata: “Hey problems, look, I have a big God” (Hai masalah, lihatlah, saya memiliki Allah yang besar). Jadi, sebesar dan seberat apa pun persoalan yang kita hadapi, kasih setia Tuhan jauh lebih besar, dan kasih setia itu tidak akan pernah meninggalkan kita. Karena itu, mendekatlah selalu kepada Tuhan, milikilah kerinduan yang mendalam akan Dia, sebab hanya di dalam Dia sajalah ada pengharapan dan pertolongan.


[1] Ada beberapa situasi dalam PL yang menggambarkan seseorang merasa berada jauh dari Allah, antara lain: berada jauh dari Bait Allah di Yerusalem, berada di luar negeri, merasa terasing berada di negeri orang, dikucilkan oleh bangsanya, berdosa, dll.
[2] Dalam dunia kuno air yang memancar dari mata air (dhi. Sungai Yordan) dianggap datang langsung dari “samudera raya yang ada di bawah bumi” yang dalam mitos dewa Babel disebut sebagai “naga laut”, melambangkan kuasa kekacauan dan ancaman maut.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...