Saturday, January 5, 2013

Doa (Harapan) Mohon Hukum dan Keadilan Tuhan: Untuk Pelanggengan Kekuasaan, atau Untuk Menjadi Berkat Bagi Sekitarnya?

Panduan Khotbah Minggu, 6 Januari 2013
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo

Ay.
Mazmur 72:1-7 + 11-14
72:1
Dari Salomo. Ya Allah, berikanlah hukum-Mu kepada raja dan keadilan-Mu kepada putera raja!
72:2
Kiranya ia mengadili umat-Mu dengan keadilan dan orang-orang-Mu yang tertindas dengan hukum!
72:3
Kiranya gunung-gunung membawa damai sejahtera bagi bangsa, dan bukit-bukit membawa kebenaran!
72:4
Kiranya ia memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin, tetapi meremukkan pemeras-pemeras!
72:5
Kiranya lanjut umurnya selama ada matahari, dan selama ada bulan, turun-temurun!
72:6
Kiranya ia seperti hujan yang turun ke atas padang rumput, seperti dirus hujan yang menggenangi bumi!
72:7
Kiranya keadilan berkembang dalam zamannya dan damai sejahtera berlimpah, sampai tidak ada lagi bulan!
72:11
Kiranya semua raja sujud menyembah kepadanya, dan segala bangsa menjadi hambanya!
72:12
Sebab ia akan melepaskan orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang tertindas, dan orang yang tidak punya penolong;
72:13
ia akan sayang kepada orang lemah dan orang miskin, ia akan menyelamatkan nyawa orang miskin.
72:14
Ia akan menebus nyawa mereka dari penindasan dan kekerasan, darah mereka mahal di matanya.

·       Teks ini dapat dipahami dalam dua perspektif, yaitu perspektif kekuasaan, dan perspektif pelayanan/pengabdian.
·         Pertama, perspektif kekuasaan.
Perspektif ini berkaitan dengan posisi Salomo sebagai raja Israel (kalau untuk sementara waktu kita menerima mazmur ini bersumber dari raja Salomo). Mengapa? Karena ada kemiripan teks ini dengan doa raja Salomo pada masa awal pemerintahannya (lih. 1 Raja-raja 3:6-9). Secara radikal kita dapat memahami teks ini sebagai upaya legitimatif dari penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dengan mengatasnamakan (hikmat) TUHAN. Mengapa? Karena dalam realitasnya pemerintahan raja Salomo sendiri, mulai dari pengangkatannya sebagai raja, upayanya dalam menyingkirkan orang-orang yang berseberangan dengan dia (termasuk saudara-saudaranya dan mantan pemimpin tentara ayahnya Daud), hingga masa akhir pemerintahannya, penuh dengan intrik politik “licik dan kejam”, dan bahkan TUHAN yang tadinya diagungkan itu akhirnya ditinggalkannya.

Baiklah, mari kita lihat sejenak logika yang memahami teks ini dari perspektif kekuasaan. Di ayat 12-14, pemazmur memaparkan tindakan-tindakan raja yang telah menunjukkan keberpihakan kepada kaum kecil, yaitu orang miskin, tertindas, dan yang tidak punya penolong. Kalau teks ini ada hubungannya dengan raja Salomo, maka terasa aneh! Mengapa? Karena dalam faktanya raja Salomo (kalau mau jujur) belum menunjukkan tindakan seperti diuraikan pada ayat 12-14. Dia pasti menyingkirkan si-apa pun yang mencoba menghalangi keinginan hatinya, mulai dari saudara-saudaranya dan para pendukung ayahnya Daud (mis. Yoab) selengkapnya lih. 1 Raja-raja 2:13-46, hingga lawan-lawan politiknya (mis. Yerobeam, selengkapnya lih. 1 Raja-raja 11:14-40), hingga. Pembangunan bait Allah dan istana raja juga tentu membutuhkan dana yang sangat besar, apalagi bahan-bahan bangunan itu didatangkan dari luar Israel (impor). Konsekuensinya adalah penarikan pajak yang cukup tinggi dari rakyat demi pembangunan bait Allah dan istana raja itu, belum lagi kebutuhan di bait Allah dan istana itu sehari-hari. Maka, tidak mengherankan kalau rakyat Israel di kemudian hari (yang tentunya juga telah “diprovokasi” oleh Yerobeam cs) meminta keringanan beban kepada putera raja Salomo yaitu raja Rehabeam (lih. 1 Raja-raja 12:1-21, perhatikan ayat 4). Fakta ini semua sangat kontradiksi dengan apa yang diutarakan dalam teks mazmur hari ini. Keanehan ini sedikit dapat berkurang apabila teks ini merujuk kepada raja Daud sebagaimana dicatat pada bagian akhir dari pasal 72 ini (ay. 20), walaupun informasi tentang tindakan Daud yang persis dengan informasi di ayat 12-14 belum begitu kuat. Maka, dari perspektif kekuasaan teks ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya legitimasi kekuasaan raja dengan mengatasnamakan TUHAN sebagai sumber hukum dan keadilan. Kalau teks ini misalnya dikaitkan dengan kedatangan “Mesias”, itu sah-sah saja, namun ada kesan memaksakan diri ke arah itu. Ah, entahlah …! Bingung aku …!

Dalam teks ini pemazmur memohon kepada TUHAN untuk memberikan hukum kepada raja dan keadilan-Nya kepada putera raja. Permintaan raja ini memang sangat mendasar dalam pemerintahan seorang raja, dan sangat menentukan dalam kelanggengan kekuasaan. Kalau hukum menjadi “panglima” dalam menjalankan pemerintahan, dan keadilan menjadi “dasar” kekuasaan, maka kehidupan sang raja, dan kelanggengan kekuasaannya itu, tetap bertahan hingga ke anak-cucunya. Ayat ini juga hendak mengatakan bahwa sumber hukum dan keadilan dalam pemerintahan raja adalah TUHAN sendiri. Dengan kata-kata ini, pemazmur hendak menciptakan suatu pemahaman bahwa segala tindakan raja, terutama berkaitan dengan hukum dan keadilan, adalah berasal dari TUHAN. Segala yang dilakukan raja adalah untuk keadilan, kebenaran, keberpihakan, dan damai sejahtera bagi rakyat; dan itu bersumber dari hukum dan keadilan TUHAN. Jadi, semua raja dan bangsa (dari berbagai suku di Israel, atau luar Israel …?) haruslah tunduk atau menundukkan diri di bawah kekuasaan raja besar itu (bnd. Ay. 11). Bukankah raja itu sumber keadilan? Bukankah dia sumber kebenaran? Bukankah dia sumber damai sejahtera? Bukankah dia sumber “hujan berkat”? Bukankah dia (telah) menunjukkan keberpihakan kepada kaum “kecil”? Apa lagi yang kurang? Maka, tidak ada alasan bagi si-apa pun untuk melawannya! Melawannya berarti melawan TUHAN, sumber hukum dan keadilan itu (ay. 5 berbicara tentang kelanggengan kekuasaan raja, dan ay. 7, nampaknya bicara tentang kestabilan politik pada zamannya). Inti perspektif ini adalah doa mohon hukum dan keadilan TUHAN untuk kelanggengan kekuasaan sang raja.

·         Kedua, perspektif pelayanan/pengabdian.
Perspektif ini merupakan harapan pemazmur tentang raja dan pemerintahannya, dengan memohonkan hukum dan keadilan TUHAN. Doa harapan ini hendak menegaskan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh sang raja (dan puteranya) berasal dari TUHAN sendiri, dan karenanya dasar pelaksanaan kekuasaan itu adalah hukum dan keadilan TUHAN. Doa harapan ini juga hendak menegaskan bahwa kekuasaan seorang raja (seharusnya) adalah untuk melayani dan menunjukkan keberpihakan pada keadilan, kebenaran, kaum kecil, dan damai sejahtera. Kalau seorang raja tunduk di bawah hukum dan keadilan TUHAN, dan secara konsisten memerintah dengan penuh keadilan, kebenaran, dan solidaritas, maka damai sejahtera dapat dinikmati oleh semua (holistik), dengan demikian langgenglah kekuasaan sang raja. Jadi, kelanggengan kekuasaan sang raja, ditentukan oleh ke-tunduk-kannya pada sumber kekuasaannya itu, dan orientasinya pada kesejahteraan seluruh kehidupan bangsanya.

Seorang raja yang hidup menurut hukum dan keadilan TUHAN dalam pandangan pemazmur adalah seorang yang menjalankan roda pemerintahannya menurut asas-asas keadilan, kebenaran, dan damai sejahtera bagi semua. Dan, yang lebih penting lagi adalah tentang bagaimana seorang raja menunjukkan keberpihakannya bagi kelompok masyarakat yang tersingkirkan, yaitu mereka yang miskin, tertindas, dan tidak punya penolong; sekaligus ketegasan hukum bagi mereka yang memeras orang lain (ay. 4). Intinya adalah kekuasaan (seharusnya) dibangun atas dasar hukum dan keadilan TUHAN, dan berorientasi pada pelayanan/pengabdian yang tulus bagi rakyat secara menyeluruh.

·         Sekarang mari kita memadukan kedua perspektif ini sehingga menjadi lebih fleksibel. Tidak dipungkiri bahwa posisi sebagai raja identik dengan kekuasaan, dan setiap raja pasti melakukan upaya apapun untuk mempertahankan kekuasaannya, termasuk mengatasnamakan TUHAN untuk legitimasi kekuasaannya itu. Pengatasnamaan TUHAN ini dapat saja dilakukan mulai dari proses awal menjadi raja, kemudian kebijakan dan tindakan yang dilakukan selama pemerintahannya, hingga akhir kekuasaan yang biasanya diteruskan kepada putera sang raja. Doa memohon sesuatu kepada TUHAN (dalam Mazmur ini memohon hukum dan keadilan TUHAN) merupakan salah satu metode “melibatkan” atau “mengatasnamakan” TUHAN dalam kekuasaan seorang raja, sehingga pemerintahannya itu lebih legitimatif, maka langgenglah kehidupan dan kekuasaan sang raja itu.

Namun, harus diingat juga, dan hal ini yang terus menerus diingatkan oleh TUHAN bagi para raja Israel, termasuk dalam mazmur ini, bahwa kekuasaan adalah anugerah TUHAN untuk melayani. Artinya, kelanggengan kekuasaan ditentukan oleh TUHAN sendiri, dan kebesaran kekuasaan itu ditentukan oleh pelayanannya terhadap kehidupan di sekitarnya. Saya kira pemazmur memberikan tempat yang signifikan terhadap perspektif ini: “kekuasaan bersumber dari TUHAN, harus diemban berdasarkan hukum dan keadilan TUHAN, dan dilaksanakan untuk melayani seluruh kehidupan rakyat”.

·         Kedua perspektif ini (perspektif kekuasaan dan perspektif pelayanan/pengabdian), sama-sama menempatkan hukum dan keadilan TUHAN sebagai dasar berpijak dalam menjalankan roda pemerintahan. Walaupun motif dan tujuan keduanya berbeda, namun satu hal yang pasti adalah bahwa bagi keduanya hukum dan keadilan TUHAN tidak bisa diabaikan dalam kekuasaan dan bahkan dalam kehidupan ini.

·         Terlepas dari implementasinya yang mungkin saja berbeda (karena motif dan tujuan yang berbeda) kedua perspektif ini sama-sama memiliki semangat dan orientasi bagi keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan bagi semua, terutama keberpihakan bagi yang miskin, tertindas, dan tak punya penolong.

·         Kedua perspektif ini sama-sama menyadari bahwa kelangsungan hidup dan kekuasaan terletak pada ke-tunduk-kan pada hukum dan keadilan TUHAN, serta pelaksanaan hukum dan keadilan itu dalam hidup dan pemerintahannya.

·         Kita baru saja masuk minggu pertama di tahun baru 2013 ini. Tentu, kita menginginkan supaya kita (entah kuasa, usaha, rencana, dll) dapat berjalan dengan baik, lancar, dan berumur panjang (anau gölö). Kita mesti ingat bahwa orang lain di sekitar kita juga menginginkan hal yang sama, dan karenanya kita tidak boleh saling mengabaikan, saling menindas dan memeras. Apa pun yang kita miliki, (seharusnya) adalah anugerah Tuhan, dan itu semua (seharusnya) diberikan supaya kita dapat menjadi berkat bagi sekitar kita, terutama bagi mereka yang membutuhkan (those who are in need). Doa harapan kita adalah bahwa TUHAN yang penuh dengan keadilan, kebenaran, dan damai sejahtera, menyertai kita sepanjang tahun ini bahkan sepanjang hidup kita.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...