Saturday, June 11, 2022

Tuhan kita Mulia dan Agung – Solakhömi ba Salawa Yehowa andrö (Mazmur 8:1-10)

Khotbah Minggu, 12 Juni 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur Daud.
2 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.
3 Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.
4 Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan:
5 apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?
6 Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
7 Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:
8 kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;
9 burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.
10 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!


Mazmur 8 pada satu sisi merupakan himne pujian yang ditujukan kepada Tuhan, tetapi pada sisi lain berbicara tentang manusia, baik menyangkut kekuasaan yang dimilikinya maupun menyangkut hubungannya dengan ciptaan lainnya. Secara sederhana pemazmur menegaskan bahwa kekuasaan atau kedaulatan manusia (atas ciptaan lainnya) hanya dapat dipahami dengan baik dan atau harus ditempatkan dalam terang kedaulatan ilahi, Sumber kekuasaan/kedaulatan yang sesungguhnya.

Pujian kepada TUHAN dalam teks ini hendak menyatakan bahwa TUHAN itu sungguh mulia, agung, dan penuh kuasa. Pemazmur menegaskan bahwa TUHAN (Yahweh) adalah Tuhan, Penguasa. Kata-kata yang menegaskan ketuhanan dan kedaulatan TUHAN merupakan kata-kata yang biasa digunakan untuk seorang raja (lih. 1Raj. 1:11, 43, 47). Pujian dan penegasan ini sekaligus merupakan pengakuan akan kekuasaan Allah atas seluruh ciptaan, dan tidak ada satu pun musuh yang dapat bertahan di hadapan-Nya. Wilayah kekuasaan TUHAN meliputi seluruh bumi, dan bahwa seluruh ciptaan berada di bawah kedaulatan-Nya.

Frasa “dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu …” (ay. 3) agak sulit dipahami. Namun demikian, frasa ini sepertinya hendak menunjukkan kekuatan Tuhan yang mengatasi “musuh dan pendendam”, yaitu segala kekuatan kekacauan yang pernah Tuhan kalahkan dalam penciptaan. Kata-kata pemazmur ini mengingatkan kita pada kisah penciptaan langit dan bumi dalam Kejadian 1. Pada kisah penciptaan tersebut, Tuhan Allah mengubah kekacaubalauan (yang dibahasakan dengan kalimat “bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya”) menjadi suatu keteraturan yang begitu indah, sehingga “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej. 1:31).

Ekspresi pemazmur dalam teks ini mencerminkan kekaguman atas karya Allah yang luar biasa. Pada ayat 4 pemazmur menggambarkan langit dengan ungkapan yang indah sebagai “buatan jari TUHAN”, serta bulan dan bintang-bintang ditempatkan sedemikian rupa oleh TUHAN sehingga menghasilkan suatu tatanan kosmos yang luar biasa. Mengagumi keajaiban penciptaan alam semesta hanya mungkin muncul dari dalam diri orang yang sungguh-sungguh menghayati keindahan karya Allah dalam hidupnya. Semakin kita dekat dengan TUHAN, semakin kita melihat dan menikmati kemuliaan dan keagungan karya-karya-Nya. Alam semesta diciptakan sedemikian rupa dalam tatanan yang begitu indah: bulan dan bintang-bintang dengan cahayanya yang lembut pada malam hari, matahari dengan cahayanya yang terang pada siang hari, bumi (lautan dan daratan) dengan segala isinya yang melimpah. Sungguh, Tuhan kita mulia dan agung!

Kemuliaan dan keagungan TUHAN semakin nyata dengan pemberian “kekuasaan” bagi manusia yang diciptakan-Nya. Tetapi ada kesadaran yang amat dalam di sini, bahwa manusia sebenarnya tidak “pantas” menerima sebagian dari kekuasaan ilahi itu. Hal ini terungkap melalui pertanyaan-pertanyaan di ayat 5: “apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Pertanyaan seperti ini terungkap juga di Mazmur 144:3 “Ya TUHAN, apakah manusia itu, sehingga Engkau memperhatikannya, dan anak manusia, sehingga Engkau memperhitungkannya?” Pemazmur pun dengan singkat memperjelas seperti apakah manusia itu: “Manusia sama seperti angin, hari-harinya seperti bayang-bayang yang lewat” (Mzm. 144:4). Kata-kata ini mengingatkan kita akan kefanaan manusia, kerapuhan kita sebagai manusia. Hanya orang yang sadar akan kefanaan dan kerapuhannya yang mampu mengisi hidupnya dengan sesuatu yang “kekal”, sesuatu yang bisa menolong dirinya mendekatkan diri dengan Allah yang kekal. Persoalannya ialah banyak manusia yang mengisi hidupnya dengan banyak hal yang sebenarnya “fana” seolah-olah dia tidak akan berlalu, sehingga dia lupa untuk mengabdikan dirinya untuk TUHAN.

Namun demikian, di sini, di Mazmur 8, tanpa mengabaikan kefanaan dan kerapuhan manusia, pemazmur menemukan kemuliaan dan keagungan TUHAN yang begitu menakjubkan, yaitu bahwa Allah yang menetapkan tatanan langit sebenarnya amat peduli terhadap manusia, untuk kita, untuk saya. Itulah maksud dari pertanyaan pemazmur di ayat 5. Berefleksi dari Kejadian 1:26-27, bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, pemazmur menyatakan bahwa manusia, hanyalah manusia biasa, dibuat sedikit kurang dari ilahi (ayat 6a). Kita menyandang gambar dan rupa Allah di dunia. Seperti Allah Tuhan kita, kita “dimahkotai” dengan “kemuliaan dan kehormatan” (ayat 6b). Dengan kata lain, dalam hubungan kita dengan dunia, kita mencerminkan karakter Tuhan sebagai Yang Berdaulat.

Tuhan telah memberi kita “kekuasaan” atas dunia ciptaan-Nya, dan meletakkan segala sesuatu di bawah kaki kita (ayat 7). Jangkauan kekuasaan kita, seperti milik Tuhan, mencakup segalanya, dari hewan peliharaan hingga hewan liar, burung, dan makhluk laut (ayat 8-9). Kita dibuat untuk berbagi dalam pemerintahan Tuhan atas dunia, untuk melayani sebagai perwakilan dari kekuasaan Tuhan sendiri. Namun demikian, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kekuasaan atau kedaulatan manusia (atas ciptaan lainnya) harus ditempatkan dalam terang kedaulatan ilahi, Sumber kekuasaan/kedaulatan yang sesungguhnya. Tuhanlah yang sesungguhnya berdaulat atas seluruh ciptaan, dan manusia diberi semacam kepercayaan untuk berkuasa atas ciptaan-ciptaan itu. Tuhan telah menyediakan segala sesuatu bagi kita, Dia pun menginginkan kebaikan kita, dan memampukan kita untuk mencerminkan citra Allah dalam tata kelola yang benar dari sesama makhluk di alam semesta ini. Jadi, tidak ada kekuasaan dan kedaulatan mutlak dari manusia; kedaulatan yang mutlak itu hanya milik Allah.

Dunia yang ada di kaki kita (ay. 7) bukan untuk kita injak-injak semena-mena. Kita justru ditugaskan untuk merawat, memelihara, dan mengelolanya untuk kebaikan semua, sama seperti Allah pada mulanya menciptakan dengan amat baik. Dalam kekuasaan kita atas ciptaan lainnya, kita harus mengingat perjanjian dan perintah Tuhan, dan tidak mencari kebaikan kita sendiri dengan mengorbankan dunia sekitar kita. Menjadi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah berarti bertanggung jawab atas sesama makhluk, dan kita harus mengambil tanggung jawab itu dengan sangat serius.

Selain itu, Mazmur 8 pada satu sisi mengakui kekuasaan kita, tetapi pada sisi lain mengingatkan kita akan kerendahan hati kita. Kita masing-masing masih menjadi manusia normal yang terpesona menatap bintang-bintang dengan takjub. Kita menyandang gambar dan rupa Allah, tetapi kita bukanlah Tuhan; kita masih dan tetap manusia biasa. Oleh sebab itu, kita harus menyadari adanya keterbatasan kita dalam menjalankan tanggung jawab kita atas ciptaan Tuhan di dunia ini. Kita juga diingatkan bahwa kita adalah bagian dari ciptaan yang dikaruniakan Allah kepada kita kekuasaan. Kita tidak berdiri terpisah dari sesama makhluk, tetapi kita berdiri bersama mereka.

Semua makhluk, termasuk manusia, hidup dalam ketergantungan satu sama lain. Semakin kita memiliki kekuasaan atas ciptaan, kita juga bergantung pada ciptaan lain tersebut untuk kesejahteraan kita. Kedaulatan kita tidak pernah bisa berarti bahwa kita menempatkan diri kita di atas ciptaan lain. Sebagai “tuan” atas ciptaan lain, kita sebenarnya adalah pelayannya. Dengan menyadari dan menerapkan kekuasaan dan kedaulatan seperti ini, maka kemuliaan dan keagungan Tuhan semakin nyata dalam diri kita dan siptaan lainnya.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...