Bahan Khotbah Minggu, 10 Maret 2013
Pdt. Alokasih Gulo, S.Th, M.Si
Teks ini harus dipahami dalam konteks keseluruhan pasal 15. Pada ayat 1 dan 2 dikatakan bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut kepada Yesus karena ternyata Dia menerima orang-orang berdosa dan malah makan bersama dengan orang-orang berdosa itu. Lalu Yesus menanggapi mereka dengan tiga perumpamaan, yaitu ttg upaya yang penuh keberanian dalam mencari domba yang hilang dan sukacita setelah menemukannya, keuletan dalam mencari dirham yang hilang dan sukacita setelah menemukannya, dan dalam teks kita ttg ayah yang mengampuni anaknya yang “telah hilang” dan sukacita besar setelah menemukannya. Jadi, perumpamaan-perumpamaan ini memberi penekanan pada betapa pentingnya orang-orang yang hilang (“berdosa”) bagi Tuhan Yesus, dan karenanya bagi para murid juga. Pentingnya orang-orang yang hilang ini (terutama para pemungut cukai dan orang-orang berdosa) digambarkan melalui upaya (Allah) mencari mereka dan sukacita yang ada setelah mereka ditemukan. Pada saat yang sama, perumpamaan-perumpamaan ini hendak memberi penghiburan dan pengharapan kepada mereka yang hilang (yang disingkirkan oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat) bahwa mereka itu penting bagi Tuhan. Secara khusus dalam teks khotbah hari ini, isu utama yang hendak diangkat adalah tentang betapa pentingnya “penyesalan dosa dan pertobatan di hadapan Allah, dan Allah sendiri sangat mau mengampuni”. Dalam konteks seperti itulah teks ini dipahami.
Pertama-tama, harus kita sadari bahwa penekanan utama teks ini lebih pada sang ayah dan reaksinya baru kemudian pada anaknya yang berbalik kepadanya itu. Hal ini juga nampak pada respon sang ayah pada kemarahan anaknya yang sulung. Karenanya, teks ini lebih baik ditempatkan di bawah topik “Perumpamaan ttg Ayah yang Mengampuni” (dan bukan ttg Anak yang Hilang, atau Ono Selungu, LAI).
Perumpamaan ini memang menarik, dan dalam batas tertentudapat dipahami secara alegoris. Sang ayah menggambarkan Allah, anak bungsu mewakili mereka yang hilang (lih. ay. 1), dan anak sulung menggambarkan orang-orang dan para pemimpin yang suka mencari pembenaran diri (lih. ay. 2) atau mereka yang menganggap diri telah melayani Allah, paling layak di hadapan Allah tetapi memperlakukan dengan “kasar” (tidak manusiawi) dan menutup pintu pengampunan bagi yang orang berdosa. Perumpamaan ini diceritakan sedemikian rupa untuk menggambarkan hubungan orangtua-anak sekaligus rivalitas (persaingan) yang terjadi di antara anak (dhisulung dan bungsu); dan intinya adalah bahwa orang-orang yang hilang harus menyesali dosa-dosanya dan bertobat di hadapan Tuhan, dan Allah sendiri sangat mau untuk mengampuni. Berita sukacita seperti inilah yang hendak disampaikan oleh Yesus melalui perumpamaannya ini. Allah itu Pengampun dan Pengasih yang tiada taranya!
Perumpamaan ini dimulai dengan permintaan anak bungsu untuk mendapatkan bagiannya (hak) dari harta sang Ayah. Salam konteks Yahudi, anak yang bungsu berhak mendapatkan sebanyak setengah dari apa yang diterima oleh yang sulung (lih. Ul. 21:17). Selain itu, dalam tradisi Yahudi, kuranglah tepat membagi harta terlalu dini; namun perumpamaan ini mengisahkan betapa sang ayah bermurah hati memenuhi permintaan anaknya. Hal ini menggambarkan kebebasan yang diberikan oleh Allah bagi manusia untuk menjalani kehidupannya sendiri. Dan, sebagaimana kita baca dalam teks ini, setelah permintaannya dipenuhi, anak bungsu memboroskan semua bagian yang telah didapatkannya itu (ay. 13), dan akibatnya adalah bahwa dia sendiri mengalami penderitaan yang paling hina (ay. 14-16). Setelah itu, dia merenungkan kehidupannya yang sudah jatuh sedemikian rupa (ay. 17), dan dari refleksi ini dia bertekad untuk “kembali” kepada sang ayah dengan suatu pengakuan yang luar biasa: “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa”(ay. 18-21).
Pada ayat 20, inti dari perumpaan ini mulai diekspresikan: “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia”. Tindakan sang ayah ini sebenarnya telah “melawan” tata cara atau tradisi Timur Tengah, dimana tidak ada ayah yang akan menyambut anaknya yang telah “sesat” seperti anak bungsu ini. Namun, justru pada “pembelokkan” atau “keanehan” inilah Yesus biasanya menempatkan “poin/inti” dari pesan-Nya. Secara harafiah, sang ayah mengalungkan dirinya sendiri pada leher sang anak bungsu (ay. 20, Yun. epepesen epi ton trachlon). Artinya, sang ayah sangatlah senang, bersukacita, dan bersemangat menyambut kepulangan anaknya yang telah hilang; dia “menyerahkan” dirinya sendiri untuk menerima kembali anaknya yang bungsu itu. Dia malah tidak memperhitungkan dan mengingat-ingat lagi “kebobrokan” yang telah dilakukan oleh anaknya itu, sekalipun sang anak mengingatnya (lih. ay. 21). Sungguh suatu pengampunan yang luar biasa! Penyambutan dan sukacita sang ayah terhadap anaknya yang pulang merupakan pesan utama yang hendak disampaikan oleh perumpamaan ini (ay. 22-24). Pesan ini ditegaskan melalui kata-kata: “anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali”(ay. 24). Pesan yang sama juga diekspresikan kembali pada ayat 32 sebagai bagian dari tanggapan sang ayah terhadap keberatan anaknya yang sulung.
Seandainya Allah mengingat-ingat dosa kita, siapakah yang dapat bertahan? Siapakah yang berani mengatakan bahwa dia tidak memiliki dosa dan kesalahan? Siapakah yang berani mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan pengampunan dan kasih sayang Allah? Setiap saat kita terjerumus dalam berbagai dosa dan kesalahan, terjebak dalam berbagai keinginan yang menyusahkan Allah, dan menyusahkan orang lain, dan pada akhirnya menyusahkan diri sendiri. Kita harus menyadari hal itu, menyesali dan bertobat; Allah Mahapengampun, Dia mau menerima kita apa adanya ketika kita merendahkan diri di hadapan-Nya.
Pengampunan dan kasih sayang sang ayah memang tiada henti-hentinya. Setelah menunjukkan pengampunan dan kasih yang luar biasa kepada anaknya yang bungsu, dia kemudian menemui anaknya yang sulung, yang pada saat itu sedang marah, dan karenanya sang ayah berusaha menenangkannya. Anak sulung menyampaikan pembelaan dan keberatannya sebagaimana diungkapkan pada ayat 29-30. Keberatan anak sulung ini sangatlah serius --“Sayalah yang paling layak”. Dia hendak mengatakan kepada ayahnya: “Engkau tidak tahu berterima kasih ayah, ini tidak adil!” Nah, persoalan anak sulung ini adalah sikapnya yang suka membenarkan diri sendiri, dan hanya fokus pada dirinya. Itulah sebabnya dia tidak bersukacita ketika adiknya “pulang” ke rumah. Anak sulung ini terlalu dikuasai oleh “kebutuhan yang sangat egoistis” dengan mengatasnamakan prinsip keadilan dan kepatutan diperlakukan istimewa oleh sang ayah. Demikianlah para pemimpin Yahudi yang digambarkan oleh Yesus melalui perumpamaan ini.
Omuso dödönia na abu dödö nawönia ma na te’ala nawönia, ba abu dödönia na omuso dödö nawönia ma na to’ese wa’asökhi wa’auri nawönia. Ato niha lö i’ila mörö na ohahau dödö nawönia, na no so halöwö nawönia, na no isöndra gönia awönia.
Sang ayah berusaha menenangkan anak sulung. Dia menyatakan:“Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu” (ay. 31). Artinya, tidak ada alasan untuk “cemburu” dan “keberatan”; toh semua kan milikmu juga, sukacitamu juga! Bagi sang ayah, keadilan sesungguhnya adalah menerima kembali “yang hilang” dengan sukacita dan perayaan kegembiraan. Orang yang hilang haruslah disambut masuk ke dalam keluarga Allah dengan penuh sukacita. Yesus, nampaknya, keluar jalur, keluar dari tradisi selama ini dalam memperlakukan orang-orang yang hilang. Yesus menyampaikan pesan-Nya yang luar biasa, yaitu bahwa “transformasi” sangat diperlukan untuk saling menerima, saling mengampuni, dan saling bersukacita; karena Allah sendiri telah berusaha mencari yang hilang, mengampuni orang berdosa, dan Dia bersukacita karena yang hilang itu telah ditemukan, Dia bergembira karena yang sesat telah kembali kepada-Nya. Kalau Allah sendiri berkenan untuk itu, mengapa kita tidak???
Pernahkah kita menyadari betapa seringnya kita sulit menerima dan mengampuni sesama kita? Bukankah kita sering “ikut arus” masyarakat yang selalu “mengucilkan” mereka yang “dianggap” berdosa, seolah-olah kita ini lebih suci dari mereka? Bukankah kita sering mencari-cari alasan untuk membenarkan diri sendiri, dan menganggap diri sebagai orang yang paling layak di hadapan Allah, serta selalu menilai orang lain dengan ukuran keadilan/kepatutan dari perspektif kita sendiri? Kalau Allah sendiri berkenan mengampuni orang yang berdosa, berkenan mencari dan menerima mereka (dan kita) yang hilang, mengapa kita sulit melakukannya? Dalam kerangka inilah, kita perlu melakukan transformasi total, yang tentunya dimulai dari diri sendiri. Rasul Paulus mengatakan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru, yang lama sudah berlalu sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).
(Silakan kembangkan aplikasinya menurut perenungan dan konteks masing-masing.
Selamat melayani, Tuhan Memberkati.)
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?