Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
15 Lalu berfirmanlah Allah kepada Nuh:
16 “Keluarlah dari bahtera itu, engkau bersama-sama dengan isterimu serta anak-anakmu dan isteri anak-anakmu;
17 segala binatang yang bersama-sama dengan engkau, segala yang hidup: burung-burung, hewan dan segala binatang melata yang merayap di bumi, suruhlah keluar bersama-sama dengan engkau, supaya semuanya itu berkeriapan di bumi serta berkembang biak dan bertambah banyak di bumi.”
18 Lalu keluarlah Nuh bersama-sama dengan anak-anaknya dan isterinya dan isteri anak-anaknya.
19 Segala binatang liar, segala binatang melata dan segala burung, semuanya yang bergerak di bumi, masing-masing menurut jenisnya, keluarlah juga dari bahtera itu.
20 Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu.
21 Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya: “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.
22 Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.”
Teks khotbah hari ini merupakan kelanjutan dari narasi tentang air bah. Dalam narasi air bah itu diceritakan suatu peristiwa besar dimana TUHAN Allah menghukum manusia karena: “kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5), “penuh dengan kekerasan dan menjalankan kehidupan yang rusak di bumi” (Kej. 6:11-12). Allah pun menghukum makhluk hidup itu dengan air bah, kecuali Nuh dan keluarganya, yang di antara orang-orang sezamannya, “hidup dengan benar dan tidak bercela serta bergaul dengan Allah.” Ketika Allah memberi perintah untuk membuat sebuah bahtera dengan segala persyaratannya itu (Kej. 6:13-21), Nuh pun tanpa basa-basi dan tanpa membantah: “melakukan semua perintah TUHAN itu, tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya” (Kej. 6:22). Pada pasal 7 kitab Kejadian dikisahkanlah peristiwa air bah itu, suatu peristiwa yang menghancurkan seluruh makhluk hidup, kecuali Nuh dan keluarganya, beserta makhluk hidup lainnya yang bersama-sama dengan dia dalam bahtera itu.
Pada teks khotbah hari ini, TUHAN Allah memberikan perintah lagi kepada Nuh, tetapi kali ini bukan lagi untuk membuat bahtera atau masuk ke dalam bahtera, melainkan untuk keluar dari bahtera itu, karena air sudah kering, tidak lagi mengancam kehidupan bumi. Sama seperti ketaatan (folo’ö) yang telah ditunjukkan Nuh atas perintah TUHAN sebelum air bah datang, sekarang pun Nuh mengikuti segala yang diperintahkan TUHAN kepadanya untuk keluar dari bahtera (ay. 18-19). Dia sungguh-sungguh mengikuti perintah TUHAN tanpa ragu, tanpa bantahan, bahkan mungkin tanpa pertanyaan. Dia tahu bahwa apa pun yang diperintahkan TUHAN selalu benar dan baik, dan tanggung jawabnya adalah mengikuti perintah itu. Pada ayat 20 diceritakan bagaimana Nuh menyembah TUHAN yang telah menyelamatkan dan memulihkannya dengan pendirian mezbah dan pemberian persembahan korban bakaran bagi TUHAN. Ayat 21-22 menegaskan janji TUHAN Allah untuk tidak lagi mengutuk bumi dan membinasakan segala yang hidup di atasnya.
Kalau sebelumnya Nuh digambarkan sebagai seorang yang benar dan tidak bercela serta bergaul dengan Allah, itu tidak berarti bahwa dia adalah sosok yang sempurna dan suci. Nuh sebenarnya tidak sesempurna dan sesuci yang biasa kita bayangkan, dia bukanlah manusia tanpa cacat dalam perbuatan. Sebab, pada pasal berikutnya (pasal 9), diceritakan bahwa “Nuh menjadi petani dengan membuat kebun anggur, tetapi kemudian dia mabuk sampai telanjang dalam kemahnya (Kej. 9:20-21). Namun demikian, tanggapannya atas perintah TUHAN kepadanya, baik sebelum peristiwa air bah maupun setelahnya, sungguh luar biasa, dapat menjadi contoh yang baik bagi kita tentang ketaatan pada perintah TUHAN. Tanggapan Nuh kepada TUHAN dalam teks khotbah hari ini yang patut kita tiru adalah: (1) ia menaati Allah; (2) dia menyembah Tuhan.
Dewasa ini, ketaatan merupakan sesuatu yang sulit ditemukan dalam diri manusia. Mirip dengan bangsa Israel dulu, manusia saat ini cenderung memberontak, melawan, membantah, dan atau mempertanyakan apa pun yang tidak sesuai dengan keinginannya. Oleh sebab itu, pertanyaan releksi bagi kita adalah, antara lain: Bagaimanakah saya selama ini menanggapi perintah Tuhan? Apakah selama ini menanggapi perintah TUHAN seperti Nuh yang tidak membantah dan tidak menolak? Atau saya justru akan mengikuti perintah TUHAN kalau sesuai selera saya, sesuai keinginan saya, sesuai pemahaman saya, sesuai pengetahuan saya, sesuai pikiran dan perasaan saya? Ketika Tuhan memanggil kita untuk melakukan sesuatu, apakah kita langsung melakukan apa yang Dia katakan? Jangan-jangan kita sering lambat untuk patuh kepada Tuhan. Mungkin juga kita taat dengan mencoba membuatnya sedikit lebih mudah bagi diri kita sendiri, tidak sepenuhnya mengikuti apa yang disampaikan Tuhan dengan berbagai alasan. Bukankah Tuhan telah memulihkan kita dengan berbagai cara, tetapi mengapa kita sering tidak menanggapinya dengan ketaatan dan penyembahan yang tulus? Mengapa kita kadang-kadang hitung-hitungan dalam menaati dan menyembah Tuhan?
Kita telah dibenarkan melalui darah Yesus Kristus yang tercurah, dan sekarang kita perlu hidup dengan benar. Kita bukan lagi penguasa atas hidup kita sendiri, kita adalah utusan Tuhan di dunia ini. Dialah sang Guru, dan kita adalah hamba-hamba-Nya (khotbah Minggu lalu, kita adalah hamba-hamba Kristus). Dia adalah Bapa, kita adalah anak. Dia adalah Imam Besar, kita adalah bagian dari imamat kudus-Nya. Satu-satunya tanggapan kita terhadap perintah-Nya adalah melakukan apa yang Dia katakan, sama seperti Nuh. Ciri khas orang yang telah mengalami pemulihan dari Allah adalah dengan sepenuh dan setulus hati menunjukkan hidup yang taat kepada Allah itu sendiri.
Ketaatan kepada Tuhan sebagai respons kita atas kasih karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita, juga akan terlihat pada bagaimana kita menyembah Dia. Secara teologis, Tuhan sangat layak menerima ketaatan dan pujian kita. Jika kita mau beribadah kepada-Nya sambil kita taat, kita akan dipenuhi dengan sukacita luar biasa. Orang yang sudah merasakan atau mengalami pemulihan dari Allah, akan mampu menyembah Tuhan dengan apa pun yang dia miliki.
Bagaimana reaksi Tuhan saat kita menyembah Dia seperti ini? Alkitab menceritakan kepada kita bahwa persembahan Nuh berkenan kepada Tuhan dan membuat Dia berkata bahwa Dia tidak akan pernah lagi membanjiri bumi. Artinya, Tuhan pada prinsipnya merancang dan melakukan kebaikan bagi bumi dan segala makhluk yang hidup di atasnya, dan kebaikan itu akan terus dilakukan-Nya. Jadi, bukankah sesuatu yang luar biasa apabila kita bisa menyenangkan Bapa surgawi, walaupun kita sadar bahwa tidak mungkin kita menyenangkan Dia secara sempurna? Tuhan tidak membutuhkan apa pun—Dialah Tuhan! Tidak ada sesuatu pun yang dapat kita berikan kepada-Nya yang belum Dia berikan kepada kita. Namun kita mempunyai kesempatan untuk memberikan sukacita kepada-Nya! Kita dapat melakukan ini melalui ketaatan dan penyembahan.
Tidak ada alasan untuk tidak taat dan menyembah Tuhan. Tidak ada alasan juga bagi kita untuk tidak bekerja, termasuk alasan kedatangan Tuhan kembali. Tuhan berfirman: “Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam” (ay. 22). Mari kita menikmati pemulihan dari Allah sambil menunjukkan ketaatan dan penyembahan kita kepada-Nya. Mari kita menikmati pemulihan dari Kristus Yesus sambil hidup berpadanan dengan Injil Kristus.
Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus (Filipi 1:27a)
Terimakasih pak Pdt. Sangat menginspirasi
ReplyDelete