Rancangan Khotbah Minggu, 12 September 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
31 Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.
32 Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia.
33 Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
34 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.
35 Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.
36 Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya.
37 Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?
38 Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.”
Teks ini berbicara tentang beberapa paradoks yang ditampilkan oleh Yesus sehubungan dengan hal mengikut Dia. Paradoks-paradoks tersebut dimulai dengan teguran kerasnya kepada Petrus yang tidak menerima pernyataan Yesus bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan penolakan. Pada awalnya Petrus dengan tepat mengidentifikasi Yesus sebagai Mesias (8:29), suatu hal yang juga diperkenalkan oleh Markus sejak awal tulisannya(1:1). Yesus memang tidak langsung mengonfirmasi pengenalan Petrus akan Mesias itu, Dia malah melarang mereka dengan keras untuk tidak memberitahukan hal tersebut kepada siapapun (8:30). Mengapa? Entahlah!
Kalau membaca dengan cermat teks khotbah hari ini, tampaknya larangan Yesus tersebut dapat diartikan sebagai cara-Nya untuk mengajar para murid dan pengikut-Nya untuk tidak terburu-buru menghubungkan-Nya dengan pemahaman politis Yahudi tetang Mesias. Yesus adalah Mesias, tetapi kemesiasan-Nya tidak untuk memenuhi hasrat politis bangsa Yahudi, tetapi untuk menggenapi nubuat tentang Mesias yang harus menderita. Paradoks sebenarnya sudah mulai dari pernyataan Yesus ini: pada satu sisi Dia menegaskan bahwa diri-Nya adalah Anak Manusia, yang dalam pemahaman PL (secara khusus kitab Daniel 7:13-14) disebut memiliki kemuliaan dan kekuasaan, tetapi pada sisi lain Yesus memberitahukan penderitaan dan penolakan yang harus dialami oleh Anak Manusia tersebut.
Pernyataan Yesus tersebut sulit dipahami dan diterima oleh akal sehat manusia. Bagaimana mungkin Anak Manusia yang mulia dan berkuasa akan mengalami penderitaan dan penolakan seperti itu? Kebingungan seperti inilah yang dialami oleh Petrus sehingga dia ‘menarik Yesus ke samping dan menegor Dia’ (8:32). Sama seperti kita, Petrus ternyata sulit memahami dan menerima pernyataan Yesus itu, sebab berfokus pada hal-hal yang dipikirkan oleh (akal) manusia. Dalam kemarahan Yesus kepada Petrus tersirat pesan bahwa hanya pikiran yang ilahi yang mampu memahami dan menerima pernyataan Yesus tentang Mesias yang menderita. Hikmat manusia terbatas, tetapi hikmat Tuhan mampu membimbing manusia untuk memahami dan menerima hal-hal yang kadang-kadang membuat kita bingung.
Setelah itu, muncullah semacam syarat mengikut Yesus yang juga membingungkan, yaitu menyangkal diri dan memikul salib. Menyangkal diri (Yun. aparneomai) berarti melupakan diri sendiri, kehilangan pandangan terhadap diri dan kepentingannya sendiri. Ini jelas sulit, bertentangan dengan permintaan dua murid Yesus (Yohanes dan Yakobus) yang berorientasi pada kesenangan, kenyamanan, hormat, dan kemuliaan bagi diri mereka (duduk di sebelah Yesus). Memikul salib berarti siap menanggung apa yang seharusnya tidak ditanggungnya, dan Yesus sudah memberikan teladan dengan melakukan itu. Yesus pun menegaskan konsekuensi dari keputusan manusia untuk mengikut Dia. Kehilangan nyawa dapat saja menjadi konsekuensi dari mengikut Yesus, tetapi justru dengan kehilangan nyawa seperti itulah seseorang beroleh keselamatan. Sama seperti pernyataan sebelumnya, pernyataan Yesus tentang hal mengikut Dia ini masih sukar dipahami, dan semakin sulit dengan pernyataan-Nya di ayat 36-37 “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Kata-kata ini justru mendorong kita untuk ‘mementingkan’ nyawa daripada memperoleh seluruh dunia, tetapi pada pernyataan sebelumnya Yesus malah menegaskan bahwa “siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” (8:35). Kalau melihat teks ini dari persepsi manusia, maka ada kesan Yesus menyampaikan pesan yang plin plan, tidak jelas, dan membingungkan. Tetapi sekarang mari kita pahami secara sederhana pernyataan Yesus yang agak pardoks ini. Memperoleh seluruh dunia itu hebat, tetapi jangan sampai kehilangan nyawa hanya untuk memperolehnya. Nyawa lebih penting daripada memperoleh seluruh dunia. Namun demikian, nyawa pun bukanlah segala-galanya, keselamatanlah yang lebih utama, dan itu hanya ada di dalam Yesus. Kalau pada akhirnya kita kehilangan nyawa (dan karenanya kehilangan seluruh dunia) karena Yesus dan Injil, kita justru telah menyelamatkan nyawa kita (dan dunia). Yesus sudah melakukan-Nya, walaupun harus mengalami penderitaan dan penolakan. Masih sulit memahami maksud perkataan Yesus? Mintalah hikmat-Nya, sebab akal manusia saja tidak akan mampu memahami dan menerimanya.
Pernyataan-pernyataan Yesus pada teks khotbah ini tentu saja kontras dengan pemahaman dan nilai-nilai yang dianut oleh manusia. Para murid pernah berdebat tentang siapa yang terbesar di antara mereka, tetapi sebaliknya Yesus meminta mereka untuk menjadi yang terkecil menurut ukuran dunia (lih. 9:35-36). Ketika Yakobus dan Yohanes meminta tempat di sebelah Yesus (kehormatan dan kemuliaan), Dia justru meminta mereka mereka untuk ambil bagian dalam penderitaan dan penolakan yang dialami-Nya.
Tentu saja nilai-nilai ilahi yang ditawarkan oleh Yesus seringkali sulit kita pahami dan terima. Bukankah kita bekerja untuk kelangsungan hidup di dunia ini? Bukankah perjuangan kita mendapatkan kehormatan dan kemuliaan merupakan sesuatu yang lumrah? Bukankah persaingan kita di dunia ini merupakan sesuatu yang harus terjadi apalagi di era digital ini? Lalu, mengapa Yesus seolah-olah mengabaikan semua itu?
Sebenarnya, Yesus mau kalau kita hidup di dunia ini tidak hanya membawa dan menghadirkan nilai-nilai yang manusiawi tersebut. Dia mau kita menghadirkan nilai-nilai ilahi, sama seperti yang pernah Dia tunjukkan selama berada di dunia. Dengan hikmat Tuhan, kita harus memahami nilai-nilai ilahi itu, bahwa kita siap mempertaruhkan nyawa sendiri demi orang lain. Yesus tidak menganjurkan penderitaan yang tidak jelas, Yesus mengaitkannya dengan Injil.
Harus kita akui bahwa banyak hal, banyak situasi, dan banyak peristiwa yang sulit kita pahami dalam hidup ini. Kita mungkin saja mempertanyakan maksud Allah atas berbagai bencana yang kita alami sampai hari ini, secara khusus pendemi Covid-19 yang terus menghantui hidup kita. Hanya hikmat yang dari Tuhan yang dapat menolong kita untuk memahami dan menerima situasi seperti ini. Oleh sebab itu, tetaplah di dalam hikmat Tuhan, sebab dengan hikmat-Nya kita dapat menjalani kehidupan kita dengan bijaksana, sehingga kita dapat tinggal dengan aman, terlindung dari pada kedahsyatan malapetaka (Amsal 1:33).
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?