Sunday, September 13, 2015

Beribadah kepada TUHAN atau Tidak Beribadah kepada-Nya adalah Pilihan Manusia (Yosua 24:1-2a, 14-18)



Bahan Khotbah Minggu, 23 Agustus 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si [1]

24:1   Kemudian Yosua mengumpulkan semua suku orang Israel di Sikhem. Dipanggilnya para tua-tua orang Israel, para kepalanya, para hakimnya dan para pengatur pasukannya, lalu mereka berdiri di hadapan Allah.
24:2   Berkatalah Yosua kepada seluruh bangsa itu: “Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain.
24:14 Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN.
24:15 Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!”
24:16 Lalu bangsa itu menjawab: “Jauhlah dari pada kami meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada allah lain!
24:17 Sebab TUHAN, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dan nenek moyang kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara semua bangsa yang kita lalui,
24:18 TUHAN menghalau semua bangsa dan orang Amori, penduduk negeri ini, dari depan kita. Kamipun akan beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah kita.”

Peristiwa percakapan (fahuhosa) Yosua kepada bangsa Israel di pasal 24 ini sangat penting bagi Israel. Sama seperti yang pernah dilakukan Musa, sebelum berpisah dengan bangsa Israel Yosua juga mengumpulkan bangsa Israel, mengisahkan secara ringkas kembali pengalaman mereka sejak zaman leluhur mereka, terutama pengalaman kehidupan beriman mereka, baik pengalaman beribadah kepada ilah-ilah lain maupun beribadah kepada TUHAN Allah Israel. Yosua mengingatkan mereka bahwa dulu leluhur mereka beribadah kepada allah lain, tetapi Allah sendiri menyatakan diri-Nya kepada Abraham dan membawanya keluar dari tanah Ur menuju Kanaan, sehingga Abraham pun menjadi orang yang percaya/beribadah kepada TUHAN Allah.

Di sini Yosua hendak mengajak bangsa Israel itu untuk melihat fakta atau pengalaman empiris mereka, dan pada akhirnya mereka harus membuat keputusan atau pilihan, yang menurut mereka baik. Yosua menawarkan untuk memilih Allah atau ilah-ilah lain; Yosua tidak hanya memberi pilihan untuk beribadah kepada TUHAN Allah, tetapi juga memberikan pilihan alternatif. Yosua memang sengaja menawarkan pilihan seperti ini, sebab dia sendiri sudah sangat mengenal karakter bangsanya, sangat mudah tergoda atau terpengaruh pada kepercayaan lain. Yosua juga sudah tahu bahwa bangsa Israel ini merupakan bangsa yang sulit/susah diatur atau diarahkan, suka melawan/memberontak, namanya saja bangsa yang tegar tengkuk. Jadi, Yosua memberi mereka pilihan tadi, memberi mereka kesempatan untuk memilih apa yang menurut mereka baik, tidak ada paksaan, sangat demokratis, pilihan bebas, tetapi tentu dengan konsekuensi masing-masing. Dan, sebelum orang banyak itu menyatakan pilihannya, Yosua sendiri menyatakan komitmennya: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN” (ay. 15c).

Sebagai seorang pemimpin, tidak ada keraguan dalam diri Yosua untuk menentukan dan menyatakan pilihannya; pilihan imannya itu tidak didasarkan pada pilihan atau pendapat kebanyakan orang; keputusannya untuk beribadah kepada TUHAN merupakan pilihan bebasnya, berangkat dari suatu refleksi mendalam akan pengalaman perjalanan kehidupannya bersama Allah. Dia tahu bagaimana kehidupan orang-orang yang beribadah kepada TUHAN, demikian juga kehidupan mereka yang beribadah kepada ilah-ilah lain. Dia sudah merasakan dan mengalami Allah yang besar itu, terutama sejak dari Mesir, diteruskan selama perjalanan di padang gurung hingga mereka sampai di tanah Kanaan. Pada akhirnya, Yosua menegaskan bahwa apa pun yang terjadi, dia dan keluarganya memilih untuk mengikut dan beribadah kepada TUHAN Allah Israel.

Pernyataan komitmen Yosua ini sebenarnya hendak mengajak bangsa Israel untuk tidak salah memilih, atau jangan memilih asal-asalan, böi ha börö manö höngöhöngö zato, harus memilih karena sadar akan pilihannya itu, bukan karena ikut-ikutan orang lain, bukan juga karena “menjaga perasaan” orang lain. Dia menekankan bahwa keberadaan Israel di tanah Kanaan itu adalah karena TUHAN saja, dan sebab itu Yosua memilih untuk menyerahkan seluruh kehidupannya hanya untuk TUHAN.

Perlu dicatat juga, bahwa Yosua dengan tegas menawarkan hanya dia pilihan tadi, tidak ada pilihan “abu-abu” atau pilihan “ragu-ragu”. Mereka tidak bisa memilih dua-duanya sekaligus; tidak ada ruang juga untuk memilih keduanya secara bergantian atau antri. Artinya, tidak ada ruang dan kesempatan untuk kompromi atau membagi kesetiaan/ketaatan.


Cerita orangtua dulu:
Seorang anak yang baru saja menangkap capung, dengan penuh semangat datang dan bertanya kepada kakeknya: “Kek, saya baru saja menangkap capung, dan sekarang berada dalam genggamanku. Di manakah terletak capung yang mati? Apakah di tanganku yang kiri atau kanan?” Sang kakek tidak langsung menjawab, sehingga anak tadi mengulang kembali pertanyaannya. Tidak lama kemudian sang kakek menjawab: “Anakku, capung itu ada di tanganmu; jadi baik hidup maupun mati, dia tetap ada di tanganmu”.

Kehidupan ini adalah pilihan. Pilihan untuk beribadah kepada Tuhan sepenuh hati ada di tangan kita; pilihan untuk beribadah kepada ilah-ilah lain juga ada di tangan kita. Kita sendiri yang lebih berperan untuk memilih, entah menjadi orang baik atau pun orang jahat. Namun, perlu diingat, bahwa apa pun pilihan kita, konsekuensinya tentu menyesuaikan dengan pilihan kita tersebut.

Hidup penuh dengan berbagai pilihan: pilihan baik atau pilihan jahat. Seburuk-buruknya “kebaikan” tetap baik, dan sebagus-bagusnya “kejahatan” tetap jahat. Gofu hewisa ia wa’abagabaga zi lö sökhi ha sambalö si lö sökhi döinia. Gofu hewisa göi wa lö bagabaga zi sökhi ha sambalö si sökhi döinia.

Mau menjadi manusia yang berguna? Itu pilihanmu! Mau menjadi orang yang taat kepada Tuhan? Itu pilihanmu! Demikian sebaliknya!


[1] Bahan Khotbah Minggu, 23 Agustus 2015, di BNKP Jemaat Bo’usö, Pdt. Alokasih Gulo.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...