Sunday, September 20, 2015

Ketika Allah Membalikkan Situasi Hidup Manusia (Mazmur 107:33-43)



Bahan Khotbah Minggu, 20 September 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

107:33  Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang,
107:34  tanah yang subur menjadi padang asin, oleh sebab kejahatan orang-orang yang diam di dalamnya.
107:35  Dibuat-Nya padang gurun menjadi kolam air, dan tanah kering menjadi pancaran-pancaran air.
107:36  Ditempatkan-Nya di sana orang-orang lapar, dan mereka mendirikan kota tempat kediaman;
107:37  mereka menabur di ladang-ladang dan membuat kebun-kebun anggur, yang mengeluarkan buah-buahan sebagai hasil.
107:38  Diberkati-Nya mereka sehingga mereka bertambah banyak dengan sangat, dan hewan-hewan mereka tidak dibuat-Nya berkurang.
107:39  Tetapi mereka menjadi berkurang dan membungkuk oleh sebab tekanan celaka dan duka.
107:40  Ditumpahkan-Nya kehinaan ke atas orang-orang terkemuka, dan dibuat-Nya mereka mengembara di padang tandus yang tiada jalan;
107:41   tetapi orang miskin dibentengi-Nya terhadap penindasan, dan dibuat-Nya kaum-kaum mereka seperti kawanan domba banyaknya.
107:42  Orang-orang benar melihatnya, lalu bersukacita, tetapi segala kecurangan tutup mulut.
107:43  Siapa yang mempunyai hikmat? Biarlah ia berpegang pada semuanya ini, dan memperhatikan segala kemurahan TUHAN.

Perubahan-perubahan mengejutkan seringkali terjadi dalam kehidupan manusia.  Kita kadang-kadang melihat banyak orang yang tiba-tiba “naik daun”, tetapi tiba-tiba juga “jatuh” sedemikian rupa. Kita kadang-kadang terheran-heran melihat ada orang yang entah bagaimana “mendadak kaya” tetapi secara mengejutkan pula “jatuh miskin”. Kekayaan duniawi memang tidak pasti. Allah memiliki banyak cara untuk memiskinkan manusia, atau sebaliknya membuat orang miskin menjadi kaya. Allah memiliki banyak cara untuk membalikkan keadaan manusia, dan hal ini memberi pembelajaran bagi manusia, pembelajaran bagi orang benar untuk tetap bersukacita di dalam Tuhan, dan pembelajaran bagi orang-orang yang menyangkal Tuhan bahwa mereka tidak berdaya berhadapan dengan Allah. Allah dapat mengambil semua pemberian-Nya yang telah disalahgunakan oleh orang-orang berdosa, dan mereka tidak dapat berkata apa-apa, tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini kiranya mendorong kita untuk sepenuhnya percaya akan kebaikan Tuhan. Seseorang yang benar-benar bijak akan memperkaya hatinya dengan mazmur yang mencerahkan ini, dan pada akhirnya menyadari kelemahan dan kemalangan manusia, sekaligus mampu melihat adanya kekuatan dan cinta kasih Allah, dan itu semua bukan karena kebaikan manusia, melainkan karena kemurahan-Nya.

Teks ini menegaskan bahwa Allah memiliki kuasa untuk membalikkan keadaan manusia bahkan keadaan alam, dan manusia sendiri yang bertanggung jawab atas pembalikkan ini. Artinya, Allah sebenarnya tidak membalikkan keadaan manusia tanpa alasan yang kuat, Allah tidak pernah semena-mena memiskinkan manusia atau mengangkat tinggi orang yang tadinya direndahkan. Pasti ada alasan kuat sehingga Tuhan berbuat seperti itu, dan alasan yang paling mendasar adalah tingkah laku manusia yang semakin tidak bertanggung jawab dalam mengelola kehidupan. Tanah “mengering” karena kejahatan manusia (ay. 33-34). Manusia sudah menjadi tidak  bertanggung jawab memelihara lingkungan, dan kita sudah menyaksikan bahkan mengalami sendiri hal ini. Satu hari kemarin (19/09/2015) kota Gunungsitoli, bahkan beberapa tempat di kepulauan Nias, diselimuti kabut asap akibat pembakaran hutan di Riau, Palembang, dan beberapa tempat lain di daratan Sumatera. Kita sudah merasakan sendiri akibat asap kabut itu kemarin, sampai tidak ada pesawat yang berani mendarat di Binaka. Menurut informasi di media massa, kebakaran hutan tersebut 99 % sengaja dilakukan oleh manusia. Demikian juga banjir yang seringkali melanda kota Gunungsitoli beberapa tahun terakhir kalau hujan deras walaupun hanya beberapa jam saja; penumpukkan sampah yang kita buang sembarangan telah membuat parit tersumbat, dan air hujan tidak bisa mengalir dengan baik, akhirnya banjir melanda kota kita. Jadi, kalau kita bertanya mengapa Allah membiarkan semua malapetaka ini terjadi? Seharusnya terlebih dahulu kita bertanya pada diri sendiri: “Mengapa saya ... tidak mengelola kehidupan ini dengan baik untuk mencegah terjadinya malapetaka?” Menurut pemazmur, kalau manusia melihat dunia ini sebagai milik Allah, maka ia pasti bijak mendiami dan memperlakukan dunia (alam) di mana dia berada; sebaliknya kalau manusia melihat dunia ini bukan sebagai milik Allah, maka dia akan mendiami dan memperlakukan alam itu tanpa rasa hormat. Orang bijak mampu menempatkan diri di dunia ini dengan lebih baik, lebih terhormat, dan mampu mengelola kehidupan dengan lebih bertanggung jawab.

Tetapi, Allah tidak hanya bisa mendatangkan malapetaka bagi manusia sebagai ganjaran atas perbuatan manusia yang tidak bijak. Pada sisi lain Allah juga dapat mencurahkan kebaikan-Nya di atas gurun sehingga ada kelimpahanair, Ia mengenyangkan orang-orang lapar, membuat tanah mereka menjadi subur, dan memberkati manusia (ay. 35-38). Namun, pertanyaannya adalah apa yang manusia lakukan dengan kekayaan atau dengan segala sesuatu yang sudah diberikan oleh Allah kepadanya? Kalau mau jujur, kita seringkali menyalahgunakan berkat-berkat Tuhan dalam kehidupan kita; kita sering menggunakan pemberian Tuhan hanya untuk kepentingan kita sendiri, dan tidak peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita seringkali menggunakan pemberian Tuhan untuk memuaskan keinginan daging kita, bahkan kadang-kadang menggunakan pemberian Allah itu untuk menjatuhkan sesama kita. Implikasinya adalah bahwa penindasan, bencana, dan kesedihan sesungguhnya lebih sebagai hasil dari kegagalan moral manusia.

Ayat 40 dan 41 menegaskan pembalikkan keadaan manusia tersebut oleh Allah. Orang-orang yang tadinya terkemuka kini dibuat-Nya hina dan mengembara di padang tandus yang tiada jalan; sebaliknya orang-orang yang tadinya miskin kini dibentengi-Nya terhadap penindasan dan dibuat-Nya mereka seperti kawanan domba banyaknya. Kepada jemaat di Korintus Paulus berkata: “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1 Kor. 1:25). Menurut ukuran manusia, tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak juga orang yang berpengaruh, dan tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi Tuhan justru memilih orang-orang yang dianggap bodoh oleh dunia untuk membuat malu mereka yang tadinya dianggap hebat oleh dunia ini; Allah memilih orang-orang yang dianggap lemah oleh dunia untuk membuat malu mereka yang tadinya dianggap kuat oleh dunia.

Sdra/i yang terkasih, kehadiran Allah pada satu sisi menjadi sukacita besar bagi orang-orang yang takut akan Dia, namun akan menjadi malapetaka bagi mereka yang hidup terpisah dari Tuhan.  Sama seperti dua orang anak yang sama-sama menantikan kepulangan orangtua mereka dari kantor atau dari tempat pekerjaan mereka; anak yang satu akan sangat gembira ketika orangtuanya pulang ke rumah karena telah berlaku baik di rumah, namun anak yang satu akan menjadi takut karena telah berbuat yang salah ketika orangtuanya pergi. Ketika Tuhan datang, orang-orang yang telah hidup dengan bijak dan bertanggung jawab akan bersuka cita (bnd. ay. 42), sebab mereka percaya bahwa Tuhan akan membalikkan keadaan mereka menjadi lebih baik. Sebaliknya, orang-orang yang selalu berbuat curang (bnd. ay. 42), orang-orang yang menjalani kehidupan mereka dengan tidak bijak dan tidak bertanggung jawab, akan merasa gemetaran ketika Tuhan datang, sebab Tuhan akan membalikkan keadaan mereka menjadi buruk, menjadi hina, menjadi miskin, menjadi tandus, seperti sungai-sungai menjadi padang gurun, pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang, dan tanah yang subur menjadi padang asin.

Sdra/i yang dikasihi Tuhan, ketika Allah membalikkan keadaan hidup kita, apa yang mestinya kita lakukan? Ketika Allah membuat hidup kita lebih baik, apa yang seharusnya kita lakukan? Mengucap syukur bukan? Kita mestinya menjalani kehidupan yang lebih baik itu dalam takut akan Tuhan, dan mengelola kehidupan yang diberikan oleh Tuhan itu dengan lebih bijak dan bertanggung jawab. Sebaliknya, kalau Tuhan membalikkan keadaan kita menjadi lebih buruk, maka seharusnya hal itu menjadi pembelajaran penting bagi kita bahwa Tuhanlah yang berkuasa dalam kehidupan kita. Karena itu, jalanilah kehidupan dengan bijak, kelolalah kehidupan dengan bertanggung jawab, dan mengucap syukurlah dalam segala hal.

Möi ba dödöu wa’atuatua, ba tobali omasiö dödöu wa’aboto ba dödö andrö (Amaedola 2:10).


[1] Bahan Khotbah Minggu, 20 September 2015, di Kebaktian Siang BNKP Jemaat Denninger, oleh Pdt. Alokasih Gulö, M.Si

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...