Sunday, September 13, 2015

(Jangan) Terbuai dalam Kenyamanan Semu (Wahyu 3:14-22)



Bahan Khotbah Minggu, 30 Agustus 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

Tema          : Tobali Howuhowu (Menjadi Berkat)
Sub Tema  : Ba wanörö-tödö 159 fakhe duria somuso dödö ba danö niha, Ya’ita Banua Niha Keriso ba Resort 15, yamo’ahonoa ba wamati, si tedou ba wamalua fa’omasi, ba tobali howuhowu ba gulidanö

3:14   “Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah:
3:15   Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!
3:16   Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.
3:17   Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang,
3:18   maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.
3:19   Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!
3:20   Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.
3:21   Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Akupun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya.
3:22   Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.”

Laodokia merupakan kota kaya/makmur di dunia pada waktu penulisan kitab Wahyu. Kota ini sangat terkenal sebagai pusat perbankan yang merupakan simbol dari kekayaan, pusat kerajinan pakaian jadi yang memproduksi kain wol hitam, dan pusat pendidikan (sekolah) di bidang perawatan/kesehatan (kedokteran) yang menghasilkan salep (obat) mata dan salep telinga. Walaupun kota ini pernah diluluhlantakkan oleh gempa dahsyat, namun telah dibangun kembali dan menjadi kota makmur pada zamannya. Tidak jauh dari kota Laodokia ini terdapat sumber mata air panas, tepatnya di kota Hierapolis, yang pada zaman itu mata air panas ini sangat bermanfaat bagi kesehatan (pengobatan penyakit tertentu). Demikian juga ada sumber mata air dingin di kota Kolose yang memberi kesegaran bagi mereka yang meminumnya. Mata air panas dari Hierapolis tersebut kemudian mengalir menuju kota Laodokia dengan menyusuri batu-batu, dan dalam perjalanannya air panas tadi kehilangan sebagian panasnya sehingga menjadi “suam-suam kuku”, dan otomatis efek obatnya sangat berkurang. Ketika air panas ini bercampur dengan air dingin dari kota Kolose, maka rasanya sangat tidak menyehatkan, tidak menyembuhkan, tidak mengenakkan, dan tidak menyegarkan. Orang lebih baik memuntahkannya daripada meminumnya. Di kota makmur dengan dua sumber mata air seperti inilah ada jemaat Kristen sebagaimana disebutkan dalam teks khotbah pada hari ini.

Sayang sekali, jemaat Kristen yang ada di kota ini ternyata tidak sejalan dengan kemakmuran yang mereka nikmati. Harusnya, semakin makmur semakin menunjukkan tingkah laku, pola hidup, dan atau pekerjaan yang membahagiakan Tuhan; tetapi yang terjadi justru sangat memprihatinkan dan sangat mengecewakan Tuhan. Mereka tidak mendapat pujian atau apresiasi apapun dari Tuhan sebagaimana enam jemaat sebelumnya. Tuhan menyebut mereka “tidak dingin – tidak panas”, alias “suam-suam kuku”. Sebutan untuk jemaat Laodokia ini sama seperti mata air yang tadi mengalir ke kota tersebut, suam-suam kuku, tidak dingin – tidak panas, tidak menyegarkan – tidak menyembuhkan. Itulah gambaran jemaat Laodokia, lebih tepatnya gambaran pekerjaan-pekerjaan mereka, sangat memuakkan, sangat menjijikkan, ogoro ita, anuzu dödöda, sehingga Tuhan mengatakan bahwa Ia akan memuntahkan mereka dari mulut-Nya, sebab tidak bermanfaat sama sekali.

Apa yang membuat jemaat ini menjadi “suam-suam kuku”? Di mana letak persoalan mereka? Ternyata, kemakmuran materi yang selama ini mereka nikmati telah melahirkan rasa nyaman, rasa tenang, rasa berkecukupan dan atau rasa aman semu/palsu bagi jemaat Laodokia, dengan anggapan bahwa “aku telah kaya, telah mapan, telah cantik, telah sehat ..., jadi apa lagi yang harus aku risaukan?” Sebagai pusat perbankan (keuangan) mereka sangat berkecukupan atau mapan dari segi kebutuhan materi sehingga mereka merasa tidak membutuhkan yang lain, tidak membutuhkan siapa pun lagi; sebagai pusat kerajinan pakaian jadi dengan kain wolnya, mereka kemudian menjadi “sombong”, terlalu bangga akan diri sendiri, terlalu kagum akan kecantikan atau ketampanan diri dengan pakaian wol mereka itu; sebagai pusat pendidikan (sekolah) di bidang perawatan/kesehatan (kedokteran) yang menghasilkan salep (obat) mata dan salep telinga, secara fisik mata dan telinga mereka sangat sehat, sehat dalam penglihatan dan sehat dalam pendengaran. Situasi “makmur” inilah yang membuat mereka terbuai dalam rasa “aman-aman” saja, terbuai dalam kenyamanan semu. Itulah sebabnya Tuhan menyebut pekerjaan mereka “tidak dingin – tidak panas, suam-suam kuku”. Kata-kata ini sepertinya hendak menunjukkan antara mata air dingin yang menyegarkan dari Kolose dan mata air panas yang berguna sebagai obat dari kota Hierapolis. Jadi, jemaat Laodokia tidak memberi kesembuhan bagi orang sakit (seperti mata air panas dari Hierapolis), dan tidak juga memberi kesegaran “rohani” (seperti air dingin dari Kolose).

Persoalan jemaat Laodokia ini nampaknya telah menjadi persoalan umat Kristen dewasa ini. Kita boleh memiliki segalanya, namun belum tentu memiliki “nilai/harga” apa-apa di mata Tuhan. Bisa jadi banyak orang Kristen yang katanya semakin makmur, namun justru sedang hidup dalam keprihatinan (melarat), malang, miskin, buta, dan telanjang (ay. 17). Koq, bisa? Karena kita sesungguhnya sangat “miskin secara rohani”. Itulah sebabnya Tuhan menasihati umat-Nya di ayat 18: “Aku menasihatkan engkau ...”. Apa artinya? Yaitu, bahwa kita ini perlu berbuat lebih lagi untuk mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga dari kekayaan materi, kecantikan, dan kesehatan fisik yang selama ini kita kejar dan banggakan itu. Orientasi kehidupan kita harus segera berubah, harus dapat memberi dampak penyembuhan bagi sekitar mereka (mata air panas), atau memberi dampak kesegaran bagi siapa pun yang berjumpa dengan mereka (mata air dingin). Itulah kekayaan kehidupan yang sesungguhnya, yang kadang-kadang disebut sebagai kekayaan spiritual; itulah emas, kain wol, dan salep kehidupan yang sesungguhnya, memberi dampak positif bagi kehidupan di sekitarnya, semakin meningkat dalam perbuatan kasih, dan menjadi berkat bagi dunia. Umat Tuhan harus segera berperilaku yang benar (pakaian putih, ay. 18), selalu memakai salep mata dan telinga akan Firman Tuhan yang memungkinkan kita melihat dan mendengarkan kehidupan dengan lebih sehat.

Manusia zaman sekarang berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan material, bahkan banyak yang saling menjegal dan membunuh hanya untuk mendapatkan kekayaan dimaksud. Gereja-gereja kita dapat saja terlihat kaya, kuat, dan megah, tetapi belum tentu memiliki kehidupan dan cinta yang tulus bagi Yesus Kristus. Jemaat-jemaat kita boleh saja penuh setiap kebaktian, apalagi kalau KKR, jumlah persembahan semakin meningkat, namun bisa jadi kita sedang menikmati kesuksesan rohani semu, yaitu kesuksesan yang nampaknya hebat tetapi di dalamnya keropos. Banyak orang Kristen yang terbuai dalam “kenyamanan, kecukupan, kemapanan, dan keamanan materi”, terbuai dalam berbagai kemudahan dan fasilitas yang selama ini dinikmati, namun semakin lama semakin lupa diri, semakin lama semakin lupa sesama, dan bahkan semakin lama semakin lupa Tuhan seolah-olah kita tidak lagi membutuhkan Allah. Untuk apa memiliki kekayaan/kecantikan/kesehatan fisik seperti yang kita ingingkan namun miskin/buruk/sakit secara spiritual? Untuk apa kita memiliki segalanya, namun tidak selalu mengobati, menyembuhkan, dan menyegarkan kehidupan di sekitar kita? Bukankah dengan demikian pekerjaan kita masih suam-suam kuku, dan karenanya Tuhan memuntahkan kita, membuang kita keluar dari dalam mulut-Nya? Hadia sa guna ba niha na isöndra harenia fefu hadia ia zi so ba gulidanö, ba na te’ala ia nosonia? (Mat. 16:26).

Di sinilah Tuhan mengingatkan kita untuk segera bertobat, merelakan hati untuk diarahkan oleh Tuhan, membuka pintu kehidupan untuk dimasuki oleh Tamu Agung – Tuhan kita Yesus Kristus. Walaupun kadang-kadang Tuhan menghajar kita dengan berbagai kesulitan, namun kedatangan dan panggilan-Nya bagi kita hari ini adalah berkat, supaya kita pun menjadi berkat bagi dunia, berkat bagi sesama, berkat dalam keluarga, berkat di tempat kerja, berkat di mana saja, dan pada akhirnya kita pun mendapatkan kemenangan bersama Tuhan.

Seorang pemuda yang selama di dunia sangat aktif dalam kegiatan gereja. Namun, dia menjadi tidak senang ketika di surga orang lain pun turut diselamatkan.


[1] Bahan khotbah Minggu, 30 Agustus 2015, Perayaan Misi dan Reformasi Resort 15 BNKP, Pdt. Alokasih Gulo, M.Si

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...