Bahan Khotbah Minggu, 26 Juli 2015
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]
4:42 Datanglah seseorang dari Baal-Salisa dengan membawa bagi abdi Allah roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru dalam sebuah kantong. Lalu berkatalah Elisa: “Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan.”
4:43 Tetapi pelayannya itu berkata: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” Jawabnya: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan, sebab beginilah firman TUHAN: Orang akan makan, bahkan akan ada sisanya.”
4:44 Lalu dihidangkannyalah di depan mereka, maka makanlah mereka dan ada sisanya, sesuai dengan firman TUHAN.
Situasi bangsa Israel pada zaman para raja sangat tidak menggembirakan. Pasca pemerintahan raja Daud dan Salomo kondisi mereka semakin parah, seringkali masuk ke dalam kemerosotan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama rohani dan moral, baik bangsa Israel Utara maupun Israel Selatan (Yehuda). Akibatnya adalah kedua bangsa itu mengalami berbagai kesulitan hidup, antara lain penyakit, kelaparan, dan kematian. Pihak yang paling merasakan dampak buruk dari kemerosotan ini adalah rakyat kecil. Pada akhirnya nanti, kedua bangsa itu mengalami kehancuran, yaitu Israel Utara dibuang oleh Allah ke negeri Asyur pada tahun 722 SZB dan Yehuda dibuang ke Babel tahun 586 SZB. Kota Samaria dan bahkan Yerusalem pun dihancurleburkan oleh bangsa-bangsa lain tersebut.
Dalam situasi hidup yang mengalami kemerosotan dan kesulitan itu maka tidak mengherankan kalau pada akhirnya mereka menjadi tawar hati, dan mungkin saja meragukan penyertaan Allah sebagaimana telah dijanjikan kepada leluhur mereka. Dengan kata lain, kesulitan-kesulitan hidup yang silih berganti telah membuat bangsa itu menjadi pesimis dan kehilangan pengharapan, seolah-olah Tuhan tidak berdaya lagi menolong mereka. Saya kira, kita pun kalau terlalu sering berada dalam situasi sulit lama-lama akan menjadi pesimis dan bahkan tidak percaya lagi pada janji-janji Allah. Ternyata, TUHAN Allah tahu persis apa yang sedang dialami oleh bangsa Israel, sangat memahami situasi dan keputusasaan mereka menghadapi realitas kehidupan yang penuh dengan kesulitan. Oleh karenanya Tuhan tidak membiarkan umat-Nya terus menerus berada dalam situasi seperti itu, Dia beberapa kali menyatakan kepada mereka bahwa Dia pasti dan selalu hadir di tengah-tengah kesulitan. Maka, pada zaman ini Tuhan Allah menunjukkan beberapa mukjizat-Nya melalui nabi Elisa, salah satunya adalah sebagaimana diberitakan dalam teks renungan kita pada hari ini, dimana Allah membuat kebutuhan (makanan) yang tadinya sangat kurang menjadi berlipatganda (berlimpah-limpah).
Mengikuti hukum Musa, hulu hasil dari segala yang tumbuh di tanah yang dipersembahkan kepada TUHAN merupakan bagian dari hamba TUHAN (Bil. 18:13a; bnd. Ul. 18:4). Itulah yang dilakukan oleh seseorang yang datang kepada Elisa dengan membawa roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru (ay. 42). Secara matematis, roti ini hanya cukup untuk kebutuhan 20 orang saja (20 %), sedangkan mereka yang hadir dan membutuhkan adalah 100 orang, masih kurang 80 roti lagi (80 %), sangat tidak seimbang. Maka, sangatlah wajar kalau pelayan Elisa tidak berani menghidangkan roti itu bagi mereka: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” (ay. 43a). Bandingkan misalnya kalau kita diberi tugas atau tanggung jawab untuk membagi atau menghidangkan makanan bagi banyak orang sedangkan persediaan makanan itu sangat terbatas. Nampaknya, kita pun tidak berani menghidangkannya, tidak mau ambil risiko! So wehede ba khöda: “abölö sökhi lö u’a moroi abua ndra’o tahitahi”. Itulah perhitungan dan pertimbangan manusia, itulah biasanya perhitungan dan pertimbangan bapak/ibu/sdra/sdri dan saya sendiri!
Tetapi, lihatlah betapa Elisa sangat yakin akan pertolongan Allah. Dia berkata: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan, sebab beginilah firman TUHAN: Orang akan makan, bahkan akan ada sisanya” (ay. 43b). Melalui perkataan ini, Elisa hendak menantang sekaligus mengajak kita semua untuk berani melihat bahwa Allah selalu mampu menyediakan kebutuhan umat-Nya, bahkan dalam situasi-situasi yang nampaknya hampir tidak ada jalan keluar. Ini masalah keyakinan, keyakinan bahwa walaupun hidup penuh kesulitan namun tidak selalu buruk seperti yang biasa kita bayangkan atau takutkan. Demikianlah orang yang selalu optimis, yakin bahwa Tuhan pasti menjawab setiap persoalan yang dihadapi. Itulah yang ditegaskan di ayat 44, yaitu bahwa kebutuhan 100 orang tadi terpenuhi bahkan ada sisanya. Luar biasa bukan? Allah selalu punya cara sendiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah Allah sumber segala berkat, dan bahwa di dalam Tuhan ada kelimpahan hidup. Dalam 2 Korintus 9:8, rasul Paulus mengatakan: “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan”.
Dalam ketaatan yang nampaknya sederhana, dalam keyakinan yang nampaknya masih diliputi keragu-raguan, dalam keberanian yang nampaknya dipaksakan, Allah justru membuktikan bahwa Dia mampu melipatgandakan kebutuhan yang tadinya sangat terbatas, sehingga persembahan yang dibawa oleh seseorang dari Baal-Salisa tadi; dua puluh roti jelai dan gandum baru dalam sebuah kantong pada akhirnya dapat mencukupkan kebutuhan seratus orang bahkan masih ada sisanya (ay. 43-44; bnd. Mat. 14:16-21; 15:32-38). Melalui peristiwa ini, bangsa Israel kembali melihat kemampuan Allah menyediakan makanan bagi umat-Nya, tidak seperti Baal yang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka juga belajar bahwa berkat Allah jauh lebih banyak dibanding apa yang dipersembahkan manusia kepada-Nya.
Sdra/sdri, kita tentu pernah berada dalam kesulitan, bahkan kesulitan itu kadang-kadang menghalangi kita untuk berani menghadapi kehidupan, menghambat kita untuk melangkah maju. Kita kadang-kadang berada dalam situasi dilematis, maju kena – mundur kena, sehingga kita pun pada akhirnya bimbang dan tidak berani mengambil risiko. Kita juga pernah mengalami kekurangan dalam berbagai hal, terutama kekurangan kebutuhan sehari-hari. Demikian juga, kita pernah menghadapi sakit penyakit, baik oleh diri sendiri, maupun anggota keluarga kita. Masih banyak lagi, yang pada intinya hendak menegaskan bahwa hidup tidak pernah lepas dari berbagai kesulitan. Namun, di tengah-tengah kesulitan itu Allah pasti hadir dan memberi kita kelimpahan. Dalam Mazmur 34:11 TUHAN Allah menyakinkan kita: “Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik” (Ba nono zingo ambö gö ba olofo, ba ba zangalui Yehowa ba lö ambö fefu gofu hadia).
Merasa kurang merupakan salah satu penyakit manusia, termasuk orang-orang Kristen. Ada banyak contoh di sekitar kita tentang orang-orang yang selalu “merasa kurang”, dan kadang-kadang berjalan bukan pada jalan Tuhan karena merasa jalan Tuhan terlalu “ribet”, terlalu panjang, dan banyak proses yang harus ditempuh. Kita sedang hidup di era serba “instant”, serba cepat, siap saji. Akibatnya banyak orang yang menempuh jalan pintas hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dan tidak bisa melihat bahwa sesungguhnya Allah mampu menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, bahkan mampu melipatgandakan kebutuhan manusia itu. TUHAN menjaga semua orang yang mengasihi-Nya (Mazmur 145:20a)
[1] Bahan Khotbah Minggu, 26 Juli 2015, di Jemaat BNKP Gloria Resort 2, oleh Pdt. Alokasih Gulö, M.Si
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?