Tuesday, July 5, 2016

Setia karena Cinta, Cinta karena Setia (Kidung Agung 8:6-7)



Bahan Renungan Kebaktian Pagi Rapat Pendeta BNKP Tahun 2016
Kamis, 30 Juni 2016
Pdt. Alokasih Gulo[1]

Pengantar Kitab
Kitab Kidung Agung terkenal dengan ungkapan-ungkapan romantisnya yang kadang-kadang terkesan seperti “kumpulan gombalan orang-orang yang sedang jatuh cinta”. Alhasil, kitab ini pun sangat jarang dikhotbahkan, membacanya saja pun kadang-kadang membuat kita tersenyum bahkan tertawa sendiri, kedengarannya aneh (asing), terasa risi untuk membicarakannya, padahal kalau mau jujur, dalam aksinya tidaklah aneh, sangat familier, dan kalau mau jujur lagi kita sulit hidup tanpa kehadirannya.

Nampaknya, penulis kitab ini tahu persis bahwa manusia tidak mungkin bertahan hidup tanpa cinta, sebab cinta merupakan kebutuhan esensial manusia. Oleh karena itu, bagi penulis kitab Kidung Agung “cinta” itu bukanlah sesuatu yang tidak boleh disentuh, bukan sesuatu yang tidak boleh diucapkan/dibicarakan, dan bukan sesuatu yang tidak boleh “dirasakan/dialami”. Tidak ada yang salah dengan “cinta” itu, justru menurut penulisnya “cinta” itu manusiawi sekaligus ilahi.

Penjelasan Teks
Teks ini berbicara mengenai kesetiaan di dalam cinta. Melaluinya terungkap suatu kerinduan mendalam yang menunjukkan kesetiaan sang penulis: “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu” (ay.6). Pada zaman kuno, segel atau meterai atau tanda pernikahan sudah biasa dipergunakan. Ada tanda pernikahan dengan memakai kalung (bnd. Kej. 38:18), yang tentunya berada “dekat dengan hati” (bnd. ungkapan awal di ayat 6 “taruhlah aku seperti meterai pada hatimu), ada juga cincin meterai pada tangan kanan (bnd. Yer. 22:24), dan kitab Kidung Agung menunjukkan bahwa ada tanda pernikahan yang dikenakan pada lengan. Inilah ekspresi kerinduan sang penulis untuk segera bersanding dengan kekasihnya, sebab bagi penulis tidak ada satu pun yang dapat memisahkan atau menghentikan cintanya itu.

Namun, kita tidak boleh terbuai begitu saja pada untaian kata-kata romantis yang begitu menggelora dalam kitab ini, sebab kita bisa saja terjerumus dalam pemahaman harfiah atau rohaniah yang justru mereduksi makna dari cinta itu sendiri. Dengan kata-kata romantisnya penulis kitab ini mengajak kita untuk melihat sesuatu di dalam “cinta” itu, sesuatu yang mungkin terlewatkan dalam pikiran kita (karena sudah terlalu sering mendiskusikannya), terlewatkan dalam perasaan kita (karena sudah terlalu biasa menikmati/mengalaminya), dan terlewatkan dari kesadaran/tindakan kita (karena sudah terlalu sering berkhotbah tentang cinta-kasih). Dengan penggambaran yang bersifat superlatif, penulis hendak menegaskan bahwa di dalam cinta ada kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang tidak bisa dibendung oleh si-apa pun juga. Hal ini menunjukkan kesetiaan yang luar biasa, kesungguhan dan keteguhan dalam mencintai.

Ada tiga (3) gambaran cinta dimaksud:
(1)  Kuat seperti maut, gigih seperti dunia orang mati.[2]
Dalam dunia kuno, maut dianggap memiliki kekuatan yang tidak terbendung, dan hanya dapat dikalahkan oleh kekuatan Allah. Agak aneh memang penulis menggambarkan “cinta” (ungkapan yang bersifat positif) dengan “maut/kematian” (ungkapan yang bersifat negatif). Namun, penulis kitab ini melihat bahwa dengan kemampuannya sendiri manusia tidak dapat menolak kedatangan dan kekuatan “maut/kematian”, dan bahwa “dunia orang mati” itu tidak kompromistis, tidak setengah hati, dan tidak perlu diragukan lagi. Demikianlah gambaran “cinta” itu, tidak dapat dibendung, dilawan, dikalahkan, atau ditolak oleh manusia, kekuatannya tidak perlu diragukan lagi, dan dengan penuh kesetiaan dia dapat “mendatangi” manusia kapan dan di mana saja. Kekuatan cinta seperti ini memberikan suatu dorongan yang sangat besar (kegairahan gigih) untuk dapat meraih impiannya, dia akan berusaha dengan sekuat tenaga - tentu dengan segala risikonya - untuk dapat bersanding dengan sang kekasih. Cinta yang kuat seperti ini hanya dapat ditunjukkan oleh orang-orang yang memiliki kesetiaan mendalam terhadap apa yang dicintainya itu.

(2)  Menyala seperti nyala api, nyala api TUHAN, tidak dapat dipadamkan.
Melanjutkan penggambaran kekuatan cinta yang seperti “maut/dunia orang mati” yang tidak dapat dibendung dan tidak kompromistis itu, penulis menegaskan bahwa nyala cinta itu pun tidak bisa dipadamkan, juga tidak kompromi (sama seperti nyala api yang melalap apa saja yang dapat dijangkaunya). Nyala api yang dahsyat itu tidak dapat dipadamkan, bahkan sungai-sungai dengan airnya yang banyak pun tidak akan dapat memadamkannya. Demikianlah nyala cinta yang sejati, tidak dapat dipadamkan, tidak pernah pudar/mati (selalu menyala), dan sekali lagi tidak kompromistis. Cinta sejati itu tetap menyala dan panas walaupun banyak upaya untuk memadamkan dan mendinginkannya, tidak akan pudar walaupun mengalami berbagai proses dan menempuh perjalanan yang begitu panjang.

(3)  Tidak dapat dibeli dengan segala harta benda.
Sama seperti fenomena zaman sekarang, pada zaman dulu juga terjadi praktik jual-beli cinta, atau berbagai pengkhianatan karena uang, materi, harta benda, atau apa pun yang dapat disamakan dengan itu. Tidak dipungkiri lagi bahwa banyak orang yang dibutakan oleh berbagai harta benda tersebut, bahkan ada yang “memperjualbelikan Tuhan, agama, jabatan, harga diri, dll” demi mendapatkan keuntungan sesaat. Namun, bagi penulis kitab Kidung Agung ini, cinta sejati tidak dapat dibeli dengan segala harta benda. Hal ini bukan karena dia tidak butuh segala harta tadi, tetapi karena baginya “kesetiaan” adalah “harga mati” yang tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat dikompromikan dengan si-apa pun.

Renungan
Apakah engkau cinta Tuhan?
Sejenak, saya teringat pertanyaan Tuhan Yesus yang diajukan sebanyak tiga kali kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku ... ?” (lih. Yoh. 21:15a, 16a, 17a). Walaupun sempat ada kesedihan di hati Petrus di pertanyaan ketiga, namun semuanya dia menjawab: “Benar Tuhan, ... aku mengasihi Engkau” (Yoh. 21:15b, 16b, 17c). Untuk melihat sejauh mana cinta-kasih Petrus itu ke depan, maka Yesus berpesan: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh. 21:15c, 16c, 17d). Pesan ini cukup singkat, jelas, dan sederhana!

Apakah engkau cinta Tuhan?
O... tentu, cinta banget malah ...!

Sebagai pendeta, apakah engkau cinta Tuhan?
Pertanyaan macam apa itu ...!!?? Ya iyalah ... pendeta itu pasti cinta Tuhan ...!!! Saya ini sudah menempuh pendidikan teologi, sudah menempuh berbagai lokakarya dan pelatihan, sudah melayani di beberapa tempat, sudah banyak berkhotbah, sudah banyak membaptis anak, sudah melayani perjamuan kudus, ... masih banyak lagi.

Tetapi, mengapa engkau masih mencari pekerjaan lain, atau malah secara sembunyi-sembunyi sudah bekerja di instansi lain?
Ah ... itu hanya iseng saja, cari pengalaman!

Mengapa engkau menjelek-jelekkan gereja BNKP yang Kepalanya adalah Yesus padahal engkau sendiri melayani dan menikmati hasil pelayananmu itu di BNKP?
Saya tidak menjelek-jelekkan BNKP, saya hanya menyuarakan suara kenabian saja!

Mengapa engkau tidak tinggal di tengah-tengah jemaat yang telah dipercayakan Tuhan kepadamu untuk digembalakan?
Kan tidak ada rumah dinas, perlengkapan rumah dinasnya tidak memadai, jaringan telkomsel/internet sulit, tidak mungkin saya meninggalkan keluarga saya ..., lagi pula saya kan selalu memantau mereka lewat telepon, SMS, medsos ... sekali-dua kali dalam seminggu saya memantau mereka di lapangan.

Mengapa engkau lebih banyak duduk-duduk di kantor dan menghabiskan banyak waktu untuk internetan, online/offline games, merumpi, padahal engkau menggunakan fasilitas BNKP?
Ah ... mau tahu aja ... itu kan hanya buang suntuk saja, sekadar refreshing ... biasalah J

Apakah engkau cinta Tuhan?
Hmmm ... gimana ya ... saya sih terus belajar untuk mencintai-Nya ..., semoga komitmen awal saya untuk memenuhi panggilan Tuhan dalam pelayanan terus menguat, terus menyala, dan tetap bertahan.

Komitmen dalam pelayanan itu muncul dan berkembang apabila sudah “jatuh cinta” dengan pelayanan itu sendiri, tentunya sudah “jatuh cinta” dengan Pemilik pelayanan itu. Kalau pun misalnya ada di antara kita mengklaim bahwa dia sangat mencintai BNKP atas dasar cinta Tuhan, tetapi tidak diiringi dengan komitmen yang kuat, tidak disertai dengan kesungguhan dalam menggembalakan domba-domba Tuhan, minim kreatifitas (di jemaat, resort, dan unit pelayanan), dan tidak dapat menjadi agen transformasi di tengah-tengah jemaat dan masyarakat, maka cintanya itu patut diragukan.

Baiklah, kita mungkin mengklaim bahwa atas dasar cinta Tuhan kita sungguh-sungguh mencintai pelayanan yang telah dipercayakan kepada kita di BNKP. Itu sesuatu yang mengagumkan! Tetapi tunggu dulu! Kalau ternyata pelayanan kita tidak lagi menggelora seperti sebelumnya, dari waktu ke waktu kita melayani dengan pamrih, dan kadang-kadang bersungut-sungut, maka cinta kita itu belumlah kuat, masih di permukaan sehingga akan sangat mudah dihanyutkan oleh arus kehidupan yang begitu deras. Sesungguhnya, di dalam cinta sejati ada kesetiaan, ada keteguhan hati, ada keterpautan hati dengan Tuhan dan pelayanan-Nya, dan keterpautan itu tidak mudah dipisahkan, tidak mudah digoyah, tidak mudah dibendung, dan tidak mudah dipadamkan oleh si-apa pun juga. Jadi, komitmen yang didasari oleh cinta yang sejati dalam pelayanan, ditandai dengan kesungguhan, kreativitas, dan transformasi yang dihadirkannya melalui pelayanannya itu. Karena itu, melayanilah karena cinta, dan gembalakanlah domba-domba Tuhan dengan penuh kesetiaan dan cinta-kasih.



[1] Bahan renungan pada kebaktian pagi Rapat Pendeta BNKP, Kamis, 30 Juni 2016, oleh Pdt. Alokasih Gulo.
[2] Penggambaran cinta yang kuat seperti “maut” atau “dunia orang mati” dapat dijumpai pada teks-teks Ugarit, mis: “cinta para dewa sangat kuat seperti maut”.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...