Saturday, June 10, 2017

Dewasa dalam Beriman dan Kehidupan Bersama (2 Korintus 13:11-13)



Rancangan Khotbah Minggu, 11 Juni 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

13:11  Akhirnya, saudara-saudaraku, bersukacitalah, usahakanlah dirimu supaya sempurna. Terimalah segala nasihatku! Sehati sepikirlah kamu, dan hiduplah dalam damai sejahtera; maka Allah, sumber kasih dan damai sejahtera akan menyertai kamu!
13:12  Berilah salam seorang kepada yang lain dengan cium yang kudus. Salam dari semua orang kudus kepada kamu.
13:13  Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian.

Kita harus melihat teks ini dalam konteks besar surat 2 Korintus. Hubungan antara jemaat Korintus dan Paulus lumayan rumit – pada satu sisi mereka memiliki kedekatan spiritual yang luar biasa, namun pada sisi lain mereka juga memiliki hubungan yang sangat menyakitkan, perselisihan yang bahkan menyerang pribadi Paulus. Dalam 2 Korintus ini digambarkan bahwa hubungan mereka tersebut antara saling percaya dan saling menuduh, terutama ketika Paulus mengecam jemaat Korintus yang telah menjadi mangsa guru-guru palsu. Hal itulah yang terungkap pada surat 2 Korintus pasal 10 sampai pasal 13.

Namun, bagian akhir dari surat 2 Korintus ini cukup mengejutkan apabila dilihat dari hubungan mereka yang rumit tadi. Paulus tetap meminta jemaat untuk bersukacita. Biasanya, nasihat untuk bersukacita itu hanya disampaikan ketika jemaat sedang mengalami penganiayaan atau berada dalam penderitaan, namun tidak demikian halnya dengan nasihat Paulus di bagian akhir suratnya ini. Ternyata, selain dalam penganiayaan atau penderitaan, nasihat untuk tetap bersukacita juga disampaikan oleh Paulus ketika mereka berada di tengah-tengah perselisihan dalam jemaat dan masyarakat (lih. juga 2 Kor. 1:24; 2:3; 6:10; 7:4, 13). Artinya, sekalipun mereka sedang berselisih, namun sukacita mereka harus tetap ada; jangan sampai perselisihan itu menghilangkan sukacita mereka.

Nasihat ini terdengar sederhana atau sudah umum, namun ketika diperhadapkan dengan konteks perselisihan akan menjadi menarik. Sebab, pertanyaannya ialah siapakah yang merasa senang, bersukacita, atau bahagia ketika sedang berselisih dengan orang lain? Tidak ada bukan? Itulah sebabnya nasihat Paulus ini menarik, yaitu supaya sukacita kita tidak hilang sekalipun kita sedang berada dalam hubungan yang kurang baik dengan orang lain, sekalipun hubungan kita dengan seseorang (istri, suami, pacar, orangtua, mertua, menantu, rekan kerja, dll) berada dalam status “rumit” (kompleks). Dalam faktanya, manusia tidak bisa menghindari perselisihan, percekcokan, bahkan perpecahan, namun bagi Paulus, orang percaya harus tetap bersukacita.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan demikian kita bersukacita karena telah berselisih? Atau, kita bersukacita kalau ada orang lain sedang berselisih atau konflik? Tidak, bukan itu yang dimaksudkan oleh Paulus. Paulus sendiri justru menasihati kita untuk berusaha sempurna (Yun. καταρτιζεσθε, mengatur/menata dengan baik), sehati sepikir dan hidup dalam damai sejahtera, BUKAN DALAM KEKACAUAN DAN PERSELISIHAN. Jadi, perselisihan mestinya tidak boleh terjadi, namun Paulus realistis, dia menyadari bahwa ada saatnya perselisihan tidak bisa dihindari, dan dia sendiri pernah mengalaminya. Dalam konteks yang seperti inilah Paulus menasihati orang-orang percaya untuk tetap bersukacita, sebab sukacita dapat menolong kita untuk saling “berdamai”.

Sekarang kita lihat nasihat Paulus selanjutnya, supaya jemaat berusaha sempurna (maksudnya: supaya jemaat mengatur/menata segala sesuatu dengan baik), sehati sepikir dan hidup dalam damai sejahtera. Dengan kata-kata ini Paulus hendak menasihati jemaat untuk berusaha memulihkan hubungan mereka yang sempat retak karena berbagai-bagai perselisihan, dan tentunya memulihkan hubungan mereka dengan Tuhan. Karena itu, jemaat haruslah mencapai kesepakatan terutama untuk hal-hal yang prinsip dalam iman dan kehidupan, itulah maksud dari kata “sehati sepikir”. Artinya, dalam situasi jemaat yang “berselisih” itu, termasuk dengan Paulus sendiri, jangan sampai mengorbankan prinsip-prinsip utama dalam iman dan kehidupan jemaat; sebaliknya – sama seperti nasihat yang pertama tadi, tetap bersukacita sekalipun sedang berselisih – orang-orang percaya pun harus tetap sehati sepikir dalam mempertahankan dasar-dasar iman dan kehidupan mereka bersama sekalipun mereka sedang berselisih. Satu lagi, sebaiknya jemaat – sebisa mungkin – hidup berdamai satu dengan yang lain, tidak ada gunanya untuk terus menerus tinggal dalam perselisihan yang berkepanjangan. Pada akhirnya, kalau jemaat dapat melakukan ini semua, maka – demikian kata Paulus – mereka pun akan mendapatkan dalam damai sejahtera yang dari Allah.

Tidak dapat dipungkiri memang bahwa hubungan kita satu dengan yang lain terganggu karena berbagai faktor. Hampir tidak ada kehidupan bersama tanpa perselisihan, seperti ungkapan dalam bahasa Nias: “asala na gadulo ba helehele ba fatiti”. Namun, itu bukan berarti bahwa kita terus menerus hidup dalam situasi yang seperti itu, atau apakah ada di antara kita pada hari ini senang kalau sedang bermasalah dengan orang lain? Nampaknya tidak ada! Dalam konteks yang seperti ini kita harus mengedepankan prinsip iman dan kehidupan bersama, sekalipun mungkin kita (“harus”) berselisih, sekalipun mungkin percekcokan tidak dapat dihindari lagi. Di sini dibutuhkan orang-orang yang berhati dan berjiwa besar, yaitu orang-orang yang dapat menempatkan prinsip iman dan kehidupan bersama di atas “perselisihan” dengan segala macam faktor itu. Maka, amatlah menyedihkan kalau masih ada orang percaya (apalagi kalau hamba Tuhan atau pelayan gereja) menutup mata hatinya terhadap (kebaikan/kelebihan) orang lain hanya karena persoalan sepele (tidak suka, dislike). Amatlah memprihatinkan kalau masih ada orang percaya “rela” mengorbankan kehidupan bersama hanya karena perbedaan pendapat, perbedaan prinsip dan gaya hidup pribadi, atau karena perbedaan pilihan hidup dan pilihan lainnya. Karena itu, sebaiknya kita harus selalu memperbaiki dan memulihkan hubungan kita dengan orang lain dan Tuhan. Saya sering katakan kepada mahasiswa, “cara kita berelasi dengan orang lain sesungguhnya merupakan cerminan dari cara kita berelasi dengan diri sendiri dan dengan Tuhan”. Maka, menurut Paulus, kita haruslah sehati sepikir dan hidup dalam damai sejahtera (satu dengan yang lain).

Untuk menutup nasihatnya ini, Paulus mengajak orang-orang percaya untuk memberi salam seorang kepada yang lain dengan ciuman kudus (lih. juga Rom. 16:16; 1 Kor. 16:20; 1 Tes. 5:26). “Ciuman kudus” bukanlah hal yang aneh pada zaman Paulus, sudah menjadi tradisi mereka saling menyambut dengan ciuman (tetapi bukan ciuman di bibir ya). Hal itu terutama dilakukan dalam keluarga, menunjukkan persaudaraan yang erat; dan Paulus mengajak jemaat (yang sering dianggap sebagai keluarga Allah) untuk saling memberi ciuman kudus, dalam pengertian saling menyapa dan membangun hubungan persaudaraan yang tulus.

Tentu, orang-orang yang saling berselisih, dan belum dewasa menyikapi perselisihan, akan sangat sulit untuk bertegur sapa, jangankan “ciuman kudus” (seperti dipraktikkan oleh jemaat mula-mula), bersalaman saja pun dapat dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan. Di sinilah Paulus menasihati kita untuk berupaya membangun hubungan persaudaraan yang erat dan tulus, tetap mengedepankan nilai-nilai penting dalam iman dan kehidupan bersama, dan sikap ini hanya dapat ditunjukkan oleh orang-orang yang dewasa dalam iman. Pada akhirnya damai sejahtera dari Allah itu akan menyertai kehidupan kita.


[1] Khotbah Minggu, 11/06/2017, di BNKP Jemaat Orudua Balohili

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...