Rancangan Khotbah Minggu, 06 September 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
1 Ketika hari mulai siang, semua imam kepala
dan tua-tua bangsa Yahudi berkumpul dan mengambil keputusan untuk membunuh
Yesus.
2 Mereka membelenggu Dia, lalu membawa-Nya dan
menyerahkan-Nya kepada Pilatus, wali negeri itu.
3 Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia,
melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia
mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan
tua-tua,
4 dan berkata: “Aku telah berdosa karena
menyerahkan darah orang yang tak bersalah.” Tetapi jawab mereka: “Apa urusan kami
dengan itu? Itu urusanmu sendiri!”
5 Maka iapun melemparkan uang perak itu ke
dalam Bait Suci, lalu pergi dari situ dan menggantung diri.
6
Imam-imam kepala mengambil uang perak
itu dan berkata: “Tidak diperbolehkan memasukkan uang ini ke dalam peti persembahan,
sebab ini uang darah.”
7 Sesudah berunding mereka membeli dengan uang
itu tanah yang disebut Tanah Tukang Periuk untuk dijadikan tempat pekuburan
orang asing.
8
Itulah sebabnya tanah itu sampai pada
hari ini disebut Tanah Darah.
9 Dengan demikian genaplah firman yang disampaikan
oleh nabi Yeremia: “Mereka menerima tiga puluh uang perak, yaitu harga yang
ditetapkan untuk seorang menurut penilaian yang berlaku di antara orang Israel,
10 dan mereka memberikan uang itu untuk tanah
tukang periuk, seperti yang dipesankan Tuhan kepadaku.”
(sumber gambar: happytobecatholic)
Kisah ini merupakan salah satu teks yang cukup populer di kalangan orang Kristen sehubungan dengan pengkhianatan Yudas kepada Yesus. Banyak orang yang menyalahkan, menghakimi, dan bahkan mengutuki Yudas karena pengkhianatannya kepada Yesus. Yudas disalahkan terus menerus, dan di-bully sampai hari ini, dan kematiannya dengan cara menggantung diri pun dianggap sepadan dengan perbuatannya. Bagaimana dengan para imam kepala yang sebenarnya diceritakan juga dalam teks ini? Hmm, seringkali terlewatkan dalam pembicaraan, sebab orang-orang sudah terlanjur “benci” dengan Yudas yang berkhianat. Kita hampir lupa bahwa peristiwa pengkhianatan dan penghukuman Yesus penuh dengan trik dan intrik politik yang dibalut dengan bungkusan agama.
Oleh sebab
itu, mari kita membaca dan menelusuri teks ini secara proposional dan
seobjektif mungkin. Pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk membela Yudas secara
buta, seperti yang dilakukan sebagian orang dengan mengatakan bahwa “kita
mestinya bersyukur atas pengkhianatan itu, sebab tanpanya Yesus tidak akan
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, dan dengan demikian kisah kematian dan
kebangkitan Yesus tidak akan pernah terjadi”. Pandangan seperti ini terkesan
menarik dan menantang, tetapi mengabaikan fakta hukum lain (yang akan kita
lihat nanti di teks ini) bahwa sebenarnya Yesus dapat saja membebaskan diri
dari tuntutan hukuman mati tersebut apabila Dia mau menggunakan kesaksian Yudas
yang menyesal telah mengkhianatinya. Tetapi, Yesus tidak memanfaatkan
kesempatan itu, sebab dengan atau tanpa Yudas pun, Dia harus menjalani semuanya
itu.
Ayat 1 dan
2 memberi informasi kepada kita bagaimana pengadilan agama Yahudi, dhi para imam kepala dan tua-tua bangsa
Yahudi, mengambil keputusan untuk membunuh Yesus. Tetapi, pengadilan mereka
tersebut ibarat “singa yang ompong”, galak namun tidak mampu menggigit apalagi
membunuh. Mengapa? Karena keputusan mereka tersebut tidak bisa dieksekusi sebelum
diputuskan oleh pengadilan pemerintahan Romawi yang masih menguasai mereka pada
waktu itu. Itulah sebabnya mereka membawa Yesus kepada Pilatus, wali negeri
yang membawahi daerah Palestina, di dalamnya termasuk negeri Yudea. Mereka datang
kepada Pilatus, dan membawa Yesus dengan tuduhan politis bahwa Yesus hendak
menjadi raja (politis), dan tuduhan ini dapat mengganggu kenyamanan para
penguasa politik pada waktu itu, dan Pilatus tidak mau kalau kedudukannya digoyang
walaupun dia tahu Yesus tidak bersalah. Sementara, para imam kepala dan tua-tua
Yahudi merasa bahwa kehadiran Yesus telah mengganggu “kekuasaan” mereka selama
ini secara khusus di tengah-tengah komunitas orang Yahudi. Dia pun dianggap telah
mengolok-olok nama Tuhan, tidak menghargai tradisi agama Yahudi, dan oleh sebab
itu Yesus harus disingkirkan dengan cara apa pun. Di sini bertemu dua pihak
yang tidak mau terganggu dengan kehadiran Yesus, yaitu para pemimpin agama
(para imam kepala dan tua-tua Yahudi), dan pemimpin pemerintahan (yang diwakili
oleh Pilatus). Jadi, penuh dengan trik dan intrik politik, tetapi dibungkus
dengan dalil agama.
Di sinilah
kemudian Yudas melihat bahwa Yesus akan dihukum mati, dan bahwa Yesus tidak
berniat membebaskan diri-Nya dengan kekuasaan yang Dia miliki. Seandainya Yesus
menggunakan kekuasaan ilahi-Nya untuk membebaskan diri, maka ceritanya akan
berbeda. Yesus bebas, dan uang tiga puluh perak tetap dikantongi oleh Yudas …
aman deh. Tetapi, dugaan Yudas salah,
ternyata Yesus “membiarkan” diri-Nya ditangkap begitu saja bahkan dijatuhi
hukuman mati tanpa pembelaan diri. Muncullah penyesalan dalam diri Yudas karena
telah menyerahkan orang yang tidak bersalah untuk dihukum mati. Itulah yang
diungkapkan di ayat 3 dan 4, kesadaran dan penyesalan Yudas atas kesalahan yang
telah dilakukannya.
Yudas sadar
akan kesalahannya, tahu bahwa uang yang diterimanya merupakan uang darah orang
yang tidak bersalah, lalu dia hendak mengembalikan uang itu kepada sumbernya,
yaitu imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi. Sebenarnya, kesadaran Yudas bahwa
Yesus tidak bersalah, apalagi dengan niatnya mengembalikan uang 30 perak
tersebut, dapat menjadi kesaksian dan bukti penting di pengadilan untuk
membebaskan Yesus. Dalam hukum Yahudi (dan Romawi), masih diberi kesempatan
untuk mengajukan saksi dan bukti yang meringankan hukuman tersangka, apabila
diajukan sebelum pengambilan keputusan di pengadilan. Para imam kepala sadar
bahwa kesaksian Yudas dapat saja membebaskan Yesus dari tuntutan hukuman mati,
dan mereka tidak menginginkan hal tersebut. Itulah sebabnya mereka tidak peduli
dengan niat baik Yudas yang menyesal dan mengembalikan “uang darah” tersebut, dengan
berkata: “Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!”
Bayangkan,
tadinya mereka begitu “mesra” karena punya kepentingan yang sama walaupun
dengan motif yang berbeda, kepentingan tersebut adalah menangkap Yesus. Tetapi,
sekarang, setelah kepentingan tercapai, selesailah “kemesraan” tersebut, dan
para pemimpin agama seakan tidak kenal dengan Yudas, tidak peduli sama sekali dengan
penyesalan Yudas. Yudas, dulu disayang, kini dibenci. Mereka seolah berkata: “Urusan kami telah aman, Yesus sudah
di tangan kami, tinggal menunggu keputusan akhir untuk menghukum mati Dia. Pengakuan
dan penyesalanmu bahwa Yesus tidak bersalah, itu bukan urusan kami lagi,
kerjasama kita sudah selesai. Urus dirimu sendiri, dan biarkan kami mengurus
urusan kami dengan Yesus. Tentang uang darah tersebut, ya, terserah engkau, itu
urusanmu”. Jadi, dari sini sebenarnya sudah mulai terlihat betapa para pemimpin
agama tidak peduli lagi dengan fakta bahwa Yesus tidak bersalah, serta tidak
peduli lagi dengan penyesalan dan niat baik Yudas. Keangkuhan dan
ketidakpedulian telah menutup hati nurani mereka untuk berempati dengan orang
yang sadar akan kesalahannya, dan kedengkian mereka terhadap Yesus telah
membutakan mereka untuk melihat dengan jernih kebenaran yang sesungguhnya. Ironis
memang!
Yudas pun
mengalami tekanan yang luar biasa, penyesalan dan niat baiknya tidak disambut
dengan baik oleh para pemimpin agama. Yudas dibiarkan begitu saja untuk
menanggung beban psikologis yang luar biasa karena telah mengkhianati orang yang
tidak bersalah. Dia pun melemparkan uang itu ke dalam Bait Suci. Tindakan Yudas ini tampaknya sengaja ditampilkan, sebab pada waktu itu tidak mudah memasuki Bait Suci, apalagi membawa uang darah. Yudas tahu bahwa uang darah itu seharusnya tidak boleh dibawa ke Bait Suci, tetapi hal itu terpaksa dilakukannya. Yudas tahu bahwa uang darah itu tidak kudus (menurut hukum agama Yahudi), sementara Bait Suci adalah kudus. Yudas mengekspresikan kekecewaannya terhadap institusi agama pada waktu itu dengan melemparkan "yang tidak kudus" (uang darah) ke Bait Suci yang kudus itu. Ini adalah tindakan perlawanan terhadap institusi keagamaan yang malah tidak peka terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya, bentuk perlawanan terhadap para pemimpin agama yang malah menghukum mati orang yang tidak bersalah. Dalam kekecewaan, pemberontakan, dan frustrasi yang luar biasa itu, akhirnya Yudas malah menggantung diri, penyesalannya menggiring dia
pada pembunuhan diri sendiri, niat baiknya setelah mengkhianati Yesus justru berakhir
tragis bagi dirinya sendiri. Dan, di sepanjang abad pun, Yudas di-bully, dihakimi tanpa ampun sebagai pengkhianat
yang tak tahu diri, dan dianggap patut mendapat kematian yang seperti itu. Sementara,
tindakan para pemimpin agama, dhi
imam-imam kepala, dianggap biasa, padahal sesungguhnya mereka adalah the men behind the gun, pihak yang
berada di balik pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas, tetapi dengan mudahnya
menganggap urusan mereka dengan Yudas telah selesai. Begitu mudah bagi mereka,
tetapi menjadi ke-malang-an bagi orang lain. Ironis memang!
Para imam
kepala tahu bahwa uang yang mereka berikan itu adalah uang darah, sadar bahwa
mereka telah menyuap Yudas untuk mengkhianati Yesus, tetapi sama sekali tidak
ada perasaan bersalah, tidak ada penyesalan, bahkan dengan angkuhnya mereka
tidak peduli dengan penyesalan Yudas dengan mengatakan bahwa itu bukan urusan
mereka lagi. Apakah para imam kepala ini memang tidak peduli sama sekali dengan
permintaan Yudas? Tidak juga! Mereka tahu bahwa uang darah itu “salah” sehingga
tidak patut dimasukkan ke dalam peti persembahan. Mereka tidak peduli dengan
urusan Yudas, tetapi peduli dengan uang yang dilemparkan Yudas ke dalam Bait
Suci. Orangnya ditolak, tetapi uangnya dimanfaatkan, hehehehe. Lalu, apakah
mereka menyesal seperti Yudas? Tidak! Mereka menggunakan uang darah itu untuk
membeli tanah tempat pekuburan orang asing. Perhatikanlah bagaimana perkataan
imam-imam kepala tersebut setelah melihat Yudas melemparkan uang darah itu ke
dalam Bait Suci: “Tidak diperbolehkan memasukkan uang ini ke dalam peti persembahan,
sebab ini uang darah” (ay. 6). Sangat rohani! Perkataan mereka ini sebenarnya
menegaskan bahwa Yesus tidak bersalah, dan uang tersebut tidak “patut”
diberikan sebagai persembahan di Bait Suci, sayang sekali mereka tidak merasa
bersalah atas tindakan mereka terhadap Yesus (dan Yudas). Para pemimpin agama atau
rohaniwan memang terlalu sulit untuk “merasa bersalah” apalagi untuk
menyesalinya, hehehehe.
Mereka pun
menggunakan uang darah (orang yang tidak bersalah) tersebut untuk membeli Tanah
Tukang Periuk dengan maksud dijadikan sebagai tempat pekuburan orang asing (ay.
7). Tanah ini sebelumnya digunakan untuk pembuatan gerabah (alat-alat dapur
dari tanah liat), dan sekarang nilai tanahnya tidak lagi begitu berharga, nilai
jualnya kini menjadi murah. Tanah itulah yang dibeli oleh imam-imam kepala untuk
dijadikan sebagai tempat pekuburan orang asing. Sebenarnya, pekuburan tersebut
bukan hanya untuk orang asing, melainkan juga untuk orang miskin, dan masyarakat
kelas menengah ke atas dalam masyarakat Yahudi tentu sudah memiliki kuburan
sendiri. Sekilas, para imam kepala ini begitu baik membeli tanah pekuburan
untuk orang asing (dan orang miskin), begitu mulia. Tetapi, tunggu dulu! Uang yang
dipakai untuk membeli tanah itu sebenarnya adalah uang Yudas yang telah
dilemparkannya ke dalam Bait Suci, bukan uang mereka lagi. Tindakan para imam
kepala ini membeli tanah pekuburan dengan menggunakan uang Yudas
sungguh-sungguh politis. Mereka mencoba menampilkan diri sebagai orang yang
begitu peduli dengan orang asing dan orang miskin, padahal sesungguhnya tidak
demikian. Mereka hanya memanfaatkan orang lain, termasuk memanfaatkan diri
Yudas yang malang, untuk menaikkan popularitas mereka dengan membeli tanah
tersebut. Lebih jauh lagi, uang itu pun sesungguhnya adalah “harga” yang
dibayarkan kepada Yudas untuk mengkhianati Yesus, jadi uang darah Yesus. Jadi,
tanah pekuburan yang dibeli oleh para imam kepala untuk orang asing (dan orang
miskin) itu sebenarnya dibeli dengan uang darah Yesus. Sayang sekali, mereka
bangga dengan uang (darah) orang lain, ah
… beruntungnya menjadi pemimpin agama atau rohaniwan … ehhhhh 😆😆😇
Penegasan
bahwa tanah itu dibeli dengan uang darah Yesus disebutkan di ayat 9 dan 10,
dengan mengutip perkataan nabi Yeremia sebagaimana tertulis dalam kitab
Zakharia 11:12-13. Selain menyerahkan diri-Nya sebagai ganti manusia dalam
menanggung hukuman mati atas dosa-dosa manusia, uang darah Yesus pun masih
digunakan untuk orang-orang asing dan miskin. Hal ini mungkin tidak disadari
oleh para imam kepala dan tua-tua Yahudi, bahkan oleh Yudas sendiri, tetapi kita
percaya bahwa proses yang penuh dengan trik dan intrik politik di balik uang
darah Yesus ini merupakan bagian dari rencana besar Allah bagi keselamatan umat
manusia.
Catatan akhir sebagai bahan untuk refleksi:
Kita sudah
melihat bagaimana trik dan intrik politik yang terjadi di seputar pengkhianatan
dan penghukuman Yesus. Benar bahwa Yudas telah mengkhianati Yesus, dan dia
sudah mengambil keputusan atas dirinya sendiri walaupun sebenarnya begitu
buruk, bunuh diri, mati dalam tekanan psikologis yang luar biasa, mati tanpa
pendampingan para pemimpin agama atau rohaniwan pada waktu itu. Ironis memang, ketika
dalam masyarakat modern masih ada peristiwa yang seperti ini, bahkan beberapa
hari yang lalu ada orang yang bunuh diri di Jepang karena tidak tahan terhadap bully-an yang terus menerus dialaminya. Ini
adalah era saling mem-bully, apalagi
kalau kesalahan itu memang telah dilakukannya.
Tindakan Yudas
yang mengkhianati Yesus, apalagi dengan menerima suap 30 perak pada waktu itu,
memang patut disesali. Tetapi, marilah kita lihat sejenak bagaimana kita pun
seringkali “memperjualbelikan” kebenaran hanya demi uang, atau demi
popularitas, apalagi pada masa-masa menjelang pilkada ini. Yudas Iskariot
memang sudah mati dengan caranya sendiri, tetapi Yudas-Yudas zaman now terus bermunculan, termasuk di dalam
gereja. Lalu, bagaimana gereja menyikapi orang-orang yang – katakanlah – sudah bersalah
(berdosa) tetapi kemudian menyesali kesalahannya? Apakah gereja masih menjadi
komunitas bagi mereka yang hidupnya hancur (community
for the broken), atau telah menjadi lembaga penghakiman atas mereka yang
dianggap bersalah? Tindakan para imam kepala, yang merupakan para rohaniwan
pada waktu itu, kiranya menjadi pembelajaran bagi kita supaya menunjukkan kepedulian
kepada orang-orang yang mungkin saja tidak memiliki kepentingan dengan kita
lagi. Ini juga merupakan kritikan bagi kita supaya kita tidak memanfaatkan
orang lain demi kepentingan kita sendiri, supaya kita tidak menari-nari di atas
kemalangan orang lain.
Tema minggu
ini adalah “manusia tidak untuk diperjualbelikan”. Tema ini memang relevan
dengan masih adanya praktik jual beli manusia dalam berbagai bentuk, atau
perdagangan manusia (human trafficking).
Demikian juga dengan masih adanya fenomena PSK (Pekerja Seks Komersial),
memperjualbelikan diri karena berbagai faktor. Benar bahwa manusia tidak boleh
diperjualbelikan, tetapi apa yang sudah kita lakukan untuk mengatasinya selain
berkoar-koar di mimbar ketika khotbah, atau posting kritikan dan keprihatinan
di media sosial?
... mari berefleksi ..
Terimakasih pak buat renungan yang membuka wawasan lebih luas tentang Yudas🙏🙏. Melihat secara objektif dan tidak tenggelam pada tradisi yang terus mempersalahkan Yudas dengan buta.
ReplyDeleteTerima kasih sama-sama. Tuhan memberkati.
Delete