Khotbah Minggu, 07 Juni 2020
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo
26 Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di
laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas
segala binatang melata yang merayap di bumi.”
27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka.
28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman
kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
29 Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan
kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala
pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.
30 Tetapi kepada segala binatang di bumi dan
segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa,
Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” Dan jadilah
demikian.
31 Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya
itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.
Nas
khotbah pada hari ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pasal 1 hingga
awal pasal 2 (Kej. 1:1 – 2:1-4a). Pada bagian ini, dituliskan narasi tentang
bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Narasi ini
dimulai dengan gambaran alam semesta yang kacau balau (belum berbentuk dan
kosong) dan masih dikuasai oleh kegelapan, tetapi kemudian ditata sedemikian
rupa oleh Allah Sang Pencipta sehingga menjadi teratur dan sungguh amat baik.
Pekerjaan menciptakan (baca: menata) yang dilakukan oleh Allah diceritakan
dengan ringkas hari demi hari (hari pertama hingga hari keenam), terpola dengan
sistematis dan indah.
Apa
artinya?
Penulis/editor
kisah ini hendak memperlihatkan keajaiban,
keagungan Allah melalui penataan alam
semesta yang dilakukan-Nya. Walaupun sebelumnya alam semesta begitu kacau dan
gelap, tetapi Allah kini telah membuat semuanya menjadi teratur dan indah. Walaupun
sebelumnya alam semesta begitu kacau dan gelap, tetapi kini Allah memunculkan
kehidupan yang begitu teratur dan indah. Sungguh suatu karya/pekerjaan yang
penuh dengan kebijaksanaan, suatu karya yang penuh dengan kedamaian.
Nah,
kalau dalam nas khotbah pada hari ini disebutkan bahwa Allah menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa-Nya, itu artinya manusia dijadikan oleh Allah dalam roh
(semangat) keajaiban, keagungan, dan kebijaksanaan-Nya yang mendatangkan
keteraturan, keindahan, dan kedamaian bagi alam semesta. Dengan kata lain,
Allah menghadirkan manusia di alam semesta dengan maksud supaya manusia itu merefleksikan
keajaiban, keagungan, dan kebijaksanaan ilahi. Dalam refleksi seperti ini,
manusia dapat menjadi “mitra” Allah yang mendatangkan keteraturan, keindahan, dan
kedamaian di alam semesta.
Implikasinya
ialah manusia (diminta untuk) beranak cucu dan bertambah banyak, serta memenuhi
bumi, menaklukkan dan menguasainya, dalam kerangka mendatangkan keteraturan,
keindahan, dan kedamaian, bukan justru menjadi sumber kekacauan dan kegelapan. Hal
ini semakin dipertegas oleh penekanan di ayat 27 bahwa baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Semangat
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tercermin di ayat ini, dan itu
merupakan suatu keindahan yang patut disyukuri. Penegasan senada muncul juga di
ayat 29, di mana manusia hanya diperbolehkan memakan segala tumbuh-tumbuhan
yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji, dan
bukan daging binatang/ternak apa pun. Artinya, manusia tidak diperkenankan
menumpahkan darah binatang/ternak sekalipun, sebab manusia itu dijadikan oleh
Allah untuk mendatangkan kedamaian, bukan kekacauan, bukan pertumpahan darah. (Lalu,
mengapa kita sekarang makan daging binatang/ternak? Jangan kuatir, kita tidak
berdosa untuk itu, bacalah Kejadian 9:3).
Akhirnya,
Allah sendiri melihat segala yang dijadikan-Nya, termasuk manusia, sungguh amat
baik. Keteraturan, keindahan, dan kedamaian memang amat baik, demikianlah karya
Allah yang begitu ajaib dan agung serta penuh dengan kebijaksanaan. Keagungan Allah
ini digaungkan juga oleh pemazmur di kitab Mazmur 8, termasuk keajaiban Allah
atas manusia, dari makhluk biasa menjadi hampir seperti Allah (Mzm. 8:4-5).
Bagaimana
dengan dunia kita saat ini? Dengan cepat kita dapat mengatakan bahwa dunia di
mana kita berada sedang merintih kesakitan, bukan saja karena pandemi Covid-19
melainkan karena ulah manusia yang merusak alam semesta beserta kehidupan yang
ada di atasnya.
Sehubungan
dengan pandemi Covid-19, Uskup gereja Katolik Roma, Romo Ignatius Kardinal
Suharyo, mengatakan bahwa secara kolektif kita telah berbuat dosa terhadap alam
semesta. Menurutnya, dalam bahasa iman, wabah muncul karena dosa ekologis, yaitu
dosa yang dilakukan oleh manusia dengan merusak tatanan dan harmoni alam. Perusakan
ini membuat alam tidak seimbang lagi, dan akibatnya sangat luas dan beragam,
antara lain pemanasan global, perubahan iklim, polusi yang mengotori semua
elemen alam semesta, dan munculnya berbagai penyakit baru, termasuk Covid-19. Ketidakseimbangan
alam semesta tersebut membuat tubuh manusia tidak seimbang pula, akibatnya imunitas
melemah sehingga membuat kita menjadi lebih rentan (rapuh) terhadap wabah. Seharusnya,
alam memiliki caranya sendiri untuk meredam wabah, tetapi nafsu, keserakahan
dan kesombongan manusia yang merusak alam justru membuat wabah tidak
terbendung. Kita sudah jenuh berdiam, belajar, bekerja, dan beribadah di rumah,
akhirnya kita nekat keluar rumah, tentu dengan pola atau tatanan kehidupan yang
baru (new normal).
Paus
Fransisikus mengatakan bahwa dengan keserakahannya, manusia hendak menggantikan
tempat Allah, dan dengan demikian membangkitkan pemberontakan alam. Artinya,
manusia sepertinya tidak puas kalau dirinya diciptakan segambar dan serupa
dengan Allah, manusia mau menjadi Allah. Kita semua terlibat di dalam dosa
terhadap harmoni alam yang telah diciptakan oleh Allah dengan amat baik pada
mulanya. Itulah dosa ekologis yang kita lakukan. Dengan pandemi Covid-19 ini,
kita diberi peringatan keras bahwa kita telah mengingkari jati diri kita sebagai
citra Allah yang seharusnya bertugas untuk menjaga harmoni alam, untuk menata
dan mengatur alam supaya indah dan penuh kedamaian, bukan justru merusaknya.
Pada
mulanya, manusia diciptakan untuk merefleksikan keajaiban, keagungan, dan
kebijaksanaan Allah dengan mendatangkan keteraturan, keindahan, dan kedamaian di
bumi atau pun di alam semesta, untuk menciptakan harmoni alam semesta. Tetapi apa
yang terjadi dewasa ini? Dengan sengaja, banyak orang yang justru mendatangkan
kekacauan di mana-mana, malah ada yang mendatangkan kekacauan itu atas nama
agama. Banyak orang yang merusak alam semesta dengan berbagai cara, sampai kita
kehilangan keindahannya. Baru-baru ini ribuan babi mati di Nias, sayang sekali
banyak masyarakat kita yang membuangnya di sungai, di laut, termasuk di
sepanjang pantai Laowömaru-Gunungsitoli. Kita seolah-olah tidak memikirkan
dampak buruk yang terjadi karena pembuangan babi-babi mati tersebut.
Bagaimana
dengan kedamaian? Wah, manusia justru menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Karena pandemi
Covid-19, berbagai bantuan pemerintah (dan gereja) mengalir kepada masyarakat
kita, BLT (Bantuan Langsung Tunai), BST (Bantuan Sosial Tunai), BPNT (Bantuan
Pangan Non Tunai), program PKH, sembako, dll. Tetapi, bantuan-bantuan ini telah
banyak menimbulkan persoalan di tengah-tengah masyarakat kita, semoga saja
tidak akan terjadi pertumpahan darah.
Ini
semua menunjukkan betapa kita telah mengingkari jati diri kita sebagai gambar
dan rupa Allah yang seharusnya mendatangkan keteraturan atau harmoni,
keindahan, dan kedamaian dalam kehidupan kita di bumi ini. Oleh sebab itu,
marilah kita “bertobat”, kembali ke jati diri kita yang sebenarnya, kembali
menghadirkan kebaikan di bumi kita, sebab pada mulanya Allah melihat bahwa
segala yang dijadikan-Nya itu amat baik.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?