Saya masih ingat perdebatan pada masa-masa awal diterapkannya kebijakan beribadah dari rumah karena pandemi Covid-19 di Indonesia, begitu keras, kadang-kadang saling menghakimi, mungkin lebih mengerikan dari virus Corona itu sendiri. Pada waktu itu, ada kubu yang tidak setuju dengan kebijakan pengalihan ibadah gereja ke rumah, dengan alasan yang paling banyak adalah bahwa dengan "iman" kita bisa mengalahkan virus Corona, hanya orang yang imannya lemah yang takut beribadah di gedung gereja. Sementara, ada juga kubu yang setuju dengan pengalihan ibadah gereja ke rumah, dengan alasan yang paling banyak adalah bahwa beriman saja tidak cukup, tetapi harus diiringi dengan sikap yang bijak. Dan, kita tahu bersama, perang ayat pun terjadi, masing-masing kubu mengutip (dan mencomot) ayat-ayat Alkitab untuk membenarkan sikap dan pandangannya, sekaligus menyerang dan atau melemahkan sikap dan pandangan orang lain. Bagi saya, perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang lumrah, hal yang justru perlu dipelihara dengan baik, sehingga melaluinya kita dapat saling belajar dan saling menghargai. Pertanyaan penting yang perlu kita renungkan dari dinamika seperti itu adalah apakah sikap dan pandangan saya sungguh-sungguh lahir dari refleksi mendalam akan nilai-nilai kehidupan yang mestinya diwartakan dan dihidupi oleh gereja di dunia ini? Apakah perbedaan dan bahkan pertentangan seperti itu dapat menolong saya dan sesama saya untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik di dunia ini?
Kita sudah mengalami dan melewati masa-masa sulit karena pandemi Covid-19 ini selama beberapa bulan. Begitu banyak kisah yang mau kita bagikan, kisah yang akan kita ceritakan bagi anak-cucu kita, bahwa kita pernah mengalami masa-masa "menggelisahkan" itu, bahwa si kecil "Corona" telah menghantui kehidupan kita selama beberapa bulan, dan mungkin saja selama beberapa tahun ke depan. Pandemi ini belum selesai, sampai hari ini belum ditemukan vaksin yang cocok untuk meredam virus Corona, tetapi tidak mungkin kita berada di rumah untuk waktu yang lebih lama lagi, tidak mungkin kita tidak beraktivitas kembali, tidak mungkin negara (dan gereja) membiayai secara gratis kehidupan seluruh warganya ... kita harus realistis ... kalau tidak, bukan virus Corona yang akan membunuh kita, melainkan kelaparan. Itulah sebabnya kita - mau tidak mau - harus menjalani kehidupan kita kembali, harus beraktivitas kembali, tentu dengan tatanan kehidupan yang baru, atau dikenal dengan istilah asing "the new normal".
Pertanyaannya ialah bagaimana kita menjalani kehidupan dengan tatanan yang baru itu, sementara bahaya virus Corona masih terus mengancam kita? Ada berbagai hal yang perlu kita siapkan dan biasakan untuk itu, mulai dari kebersihan diri dan lingkungan, jaga jarak, dll (baca: Kita Bisa kalau Kita Disiplin). Beberapa minggu terakhir dimunculkan kembali istilah "iman" dan "imun", keduanya diklaim dapat menolong kita untuk menghadapi virus Corona sambil tetapi beraktivitas dengan tatanan yang baru. Bagi saya, ini menarik, sebab tidak ada lagi upaya mempertentangkan keduanya, justru melaluinya ada semacam kesadaran dan atau pengakuan bahwa keduanya (iman dan imun) dapat "bekerja sama" untuk melawan virus Corona. Keduanya sama-sama menyangkut diri kita dari dalam (internal), yaitu sejauh mana kekuatan internal kita dipelihara dan ditingkatkan untuk melawan virus Corona dengan tetap beraktivitas seperti biasa. Secara umum, saya setuju dengan pandangan ini, bahwa untuk menghadapi pandemi Covid-19 sambil tetap menjalani kehidupan (new) normal, dibutuhkan "iman" dan "imun" yang mumpuni.
Dengan "iman", kita memiliki semangat "ilahi" untuk mampu menjalani kehidupan di tengah-tengah kesulitan dan ancaman karena pandemi Covid-19, dan dengan "iman" kita berani menghadapi tantangan sesulit apa pun sebab kita percaya bahwa Tuhan selalu menolong dan menyertai kita. Kita memiliki dasar alkitabiah untuk itu, Tuhan, melalui Rasul Paulus, telah berfirman bahwa "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya" (1 Kor. 10:13). Kata-kata ini dapat menjadi penghiburan sekaligus penguatan bagi kita untuk terus menjalani kehidupan walaupun saat ini kita sedang dihantam oleh badai kehidupan yang luar biasa, pandemi Covid-19. Namun demikian, kita sebaiknya terus menerus berefleksi secara jernih dan mendalam atas kehidupan ber-iman kita, supaya "iman" kita secara "permanen" tahan banting dan terbuka bagi perubahan-perubahan yang bisa dipastikan akan terjadi dengan sangat cepat. Di sinilah dibutuhkan "iman" yang berakal sehat dan dihidupi dengan kerendahan hati. Dengan "iman" yang seperti ini, kita akan mampu bertahan hidup di tengah-tengah kesulitan dan bahaya yang setiap saat mengancam kita, dengan "iman" yang seperti ini kita lebih berhati-hati menjalani kehidupan tanpa menjadi paranoid, dan dengan "iman" yang seperti ini kita dapat membedakan mana "bahaya/ancaman" yang dapat dihindari atau dapat diantisipasi, dan mana "bahaya/ancaman" yang - mau tidak mau - harus dihadapi walaupun dengan risiko yang mungkin saja menyedihkan. Ketika Tuhan Yesus menghadapi masa-masa sulit menjelang penangkapan dan penyaliban-Nya, Dia "berupaya" untuk "menghindar" dari jalan salib itu, "... Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki" (Matius 26:39). Namun, kemudian Yesus tahu bahwa Dia tidak mungkin menghindarinya, dan Dia pun pada akhirnya berkata: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" (Matius 26:42). Jadi, kita diberi kesempatan untuk "menghindari" atau mengantisipasi bahaya/ancaman, tetapi ada saatnya juga kita tidak bisa melarikan diri dari padanya. Iman yang dibutuhkan adalah iman yang mampu membaca situasi yang dihadapinya dengan akal sehat.
Tetapi, iman yang biasa saja tidak cukup! Kita membutuhkan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih "ragawi", sebab virus Corona menyerang "raga" kita, dan sesuatu itu tidak bertentangan dengan iman, inilah yang tadi disebutkan dengan istilah "imun". Kita tahu bersama, bahwa virus Corona lebih banyak dan lebih mudah menyerang serta "membunuh" orang-orang dengan imun tubuh yang lemah, walaupun dalam beberapa kasus tidak selalu begitu. Dengan kata lain, kita harus tetap menjaga supaya imun tubuh kita tetap dalam kondisi yang baik/kuat, sehingga ancaman virus Corona tidak terlalu cepat dan mudah "menyerang" serta "membunuh" kita. Pada satu sisi "imun" tubuh berkaitan dengan kekebalan tubuh kita dari dalam, tetapi pada sisi lain ada kaitannya dengan "makanan/minuman" yang kita konsumsi. Secara alamiah, masing-masing kita memiliki daya tahan tubuh (imun) yang berbeda-beda, ada yang kuat ada juga yang lemah, tetapi dapat ditingkatkan dengan berbagai makanan/minuman yang memiliki vitamin/gizi yang baik, termasuk istirahat yang cukup. Jadi, kita masing-masing sebaiknya menjaga supaya imun tubuh kita tetap terjaga dengan baik dengan mengkonsumsi makanan/minuman yang sehat serta istirahat yang cukup. Alam mampu menyediakan kita berbagai bahan yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk imun tubuh kita, pertanyaannya ialah apakah kita sudah mengelola alam ciptaan Tuhan ini dengan baik? Kalau kita memiliki tanah di sekitar rumah, apalagi kalau memiliki tanah yang luas, mengapa tidak dikelola dengan baik untuk berbagai jenis sayuran dan buah-buahan? Bukankah hal itu jauh lebih sehat dan menyenangkan? Dan, tentang istirahat yang cukup, tanah saja harus diistirahatkan pada tahun ke-7, demikianlah firman Allah kepada bangsa Israel (lih. Imamat 25:2). Bukankah Tuhan telah menetapkan hari ke-7 sebagai hari sabat, hari perhentian? Lalu, mengapa masih banyak orang yang kemudian "diperbudak" oleh pekerjaannya, dan di era digital ini "diperbudak" oleh misalnya media sosial serta berbagai jenis game online? Tubuh kita butuh istirahat yang cukup, dan itu akan membantu kita menjaga imun tubuh dengan baik. Bekerjalah selagi masih siang, dan ingatlah bahwa ada saatnya kita harus berhenti/beristirahat (bnd. Yoh. 9:4).
Dengan demikian, apakah iman dan imun dibutuhkan untuk menghadapi pandemi Covid-19 sambil menjalani kehidupan new normal? Ya ... tergantung refleksi kita masing-masing ... dan tulisan ini hanyalah semacam pemantik bagi kita untuk berefleksi secara jernih dan mendalam. Tuhan Yesus memberkati kita semua.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?