“Apa yang pernah ada
akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu
yang baru di bawah matahari”
(Pengkhotbah 1:9)
Pandemi Covid-19 telah memaksa kita untuk memasuki
babak baru dalam kehidupan di dunia ini, tidak peduli kita siap atau tidak. Secara
perlahan, kita memasuki era baru yang dikenal dengan istilah new normal, kenormalan baru, yaitu suatu
era dimana kita akan kembali ke kehidupan normal tetapi dengan tatanan yang
baru setelah beberapa bulan “terkurung” di rumah untuk meminimalkan penyebaran virus
corona. Saya tidak membahas lagi seperti apa kehidupan dengan kenormalan baru
itu, bisa dibaca di sini: Kita Bisa, Kalau Kita Disiplin.
Saya juga tidak membahas pro-kontra atas wacana the new normal (kenormalan
baru) tersebut, bacaan di sini mungkin bisa membantu: Sudah Siap Menjalani Kehidupan New Normal?
Saya yakin bahwa istilah “new normal”
(kenormalan baru) bukan lagi istilah yang terlalu asing bagi kita, masyarakat
kita secara perlahan mulai diperkenalkan dengan istilah tersebut dan bahkan
diajak untuk menghidupinya.
Dalam perenungan saya akhir-akhir ini, saya menemukan
bahwa kenormalan baru (new normal)
yang sedang kita masuki karena pandemi Covid-19 ternyata bukan sesuatu yang
baru sama sekali. Pola atau tatanan kehidupan normal baru tersebut lebih
sebagai “re-produksi” dari apa yang sebelumnya pernah ada, lebih sebagai “re-kreasi”
dari apa yang sebelumnya pernah kita lakukan. Mungkin inilah salah satu yang
pernah diungkapkan oleh Pengkhotbah ribuan tahun yang lalu, bahwa sebenarnya
tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari (Pengkhotbah 1:9); sesuatu yang
pernah ada, itulah yang akan ada lagi, dan sesuatu yang telah diperbuat, itulah
yang akan diperbuat lagi, demikian seterusnya.
Pembaca tulisan ini boleh saja tidak setuju dengan
pernyataan bahwa kenormalan baru (the new
normal) yang akan kita jalani bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Kalau
masih menganggap the new normal tersebut
merupakan sesuatu yang baru, pertanyaan saya adalah apanya yang baru? Bukankah pola
hidup yang perlu dikembangkan di era the
new normal tersebut pernah ada atau pernah dilakukan? Jadi, oleh karena
tidak ada sesuatu yang baru sama sekali di bawah matahari, mestinya kita tidak
terlalu terkejut apalagi tergagap menyikapi dan menjalaninya. Kita hanya
berupaya untuk kembali melatih diri menghidupi pola hidup sehat yang dari dulu
juga sudah diperkenalkan kepada kita. Di sinilah kemudian kita menyadari bahwa
siapa pun mesti mampu beradaptasi dengan segala situasi, dan sebenarnya Tuhan
telah menganugerahkan kita kemampuan untuk itu, kemampuan untuk berubah dan
beradaptasi untuk bertahan hidup. Kuncinya adalah kemauan untuk kembali
mendisiplinkan hidup yang mungkin selama ini sudah terlalu lama terlena dengan berbagai
kemudahan yang ada. Pada tulisan sebelumnya, saya pernah mengatakan bahwa “kita
bisa – kalau kita disiplin” (baca: Kita Bisa, Kalau Kita Disiplin).
Sekarang saya mau menunjukkan ketidakbaruan beberapa pola
hidup sehat yang sedang digaungkan saat ini untuk menghadapi pandemi Covid-19. Kita
mulai dengan pemakaian masker (kalau keluar rumah), yang sebenarnya bukan
sesuatu yang baru sama sekali. Bagi tenaga medis, pemakaian masker sudah
menjadi kewajiban terutama ketika menangani pasien tertentu, mis. pasien
penyakit dalam, pasien operasi, dll. Kita, sebagai masyarakat biasa
(non-medis), sebelumnya kadang-kadang memakai masker ketika membawa kendaraan
roda dua misalnya. Di kota-kota besar dengan tingkat polusi yang tinggi seperti
Jakarta, pemakaian masker ketika keluar rumah sudah merupakan tindakan yang
lumrah. Jadi, pemakaian masker bukanlah sesuatu yang baru sama sekali.
Kita pun dihimbau untuk sesering mungkin mencuci
tangan dengan sabun dan air mengalir, atau memakai hand-sanitizer, serta melakukan penyemprotan disinfektan di
lingkungan masing-masing. Inti dari himbauan ini adalah jagalah selalu
kebersihan diri dan lingkungan. Lha,
apa yang baru dengan ini? Sejak saya SD pun selalu ada himbauan “jagalah
kebersihan”, dan kalau mau lebih rohani “kebersihan adalah bagian dari iman”. Mungkin
ada yang mengatakan: “pemakaian hand-sanitizer
kan baru”. Lho, kalau baru sama sekali maka produk hand-sanitizer itu tidak pernah ada, faktanya kan kita sudah bisa
mendapatkannya, bahkan beberapa orang sudah biasa menggunakannya, jauh sebelum
pandemi Covid-19. “Tetapi kan pernah mengalami kelangkaan, sulit didapat, kalau
pun ada maka harganya tinggi”. Nah, ini terjadi lebih karena mental masyarakat
kita saja yang suka borong dan melakukan penimbunan barang-barang tertentu, ada
yang terlalu kuatir sehingga memborongnya, ada juga yang begitu tamak atau ingin
cepat kaya sehingga melakukan penimbunan dan akan dijual dengan harga yang
tinggi. Jadi, perihal kebersihan (baik mencuci tangan dan pemakaian hand-sanitizer) bukanlah sesuatu yang
baru sama sekali.
Bagaimana dengan jaga jarak? Jangankan manusia,
kendaraan saja dihimbau untuk jaga jarak. Tidak percaya? Silakan lihat foto
berikut:
Lagi
pula, kita tidak mungkin tidak jaga jarak dengan sesama kita, selalu harus ada
jarak – jarak aman dan nyaman, bahkan suami-istri pun tidak mungkin lengket
terus kayak perangko 😍😍. Tetapi kan, sekarang kita dihimbau jaga jarak
minimal 1 meter. Benar, kalau boleh jaraknya lebih dari 1 meter. Lalu, apa yang
baru dengan itu? Maksud inti dari himbauan untuk “jaga jarak” adalah supaya
kita terhindar dari saling menularkan Covid-19, karena kita tidak tahu siapa di
antara kita yang telah terpapar virus kecil tersebut. Sebelum pandemi Covid-19,
himbauan ini pun sudah ada, kita mesti menjaga jarak dengan orang-orang yang
mengidap penyakit menular, kalau di rumah sakit ada ruang isolasi untuk mereka
(jadi, isolasi atau karantina juga bukan sesuatu yang baru sama sekali). Dalam Alkitab
pun, diceritakan bahwa Yesus (dan murid-murid-Nya) pernah mengambil jarak dari
orang banyak, mengambil waktu khusus untuk diri-Nya sendiri (lih. Mrk. 9:2; 6:31).
Tidak ada yang baru sama sekali kan?
Tapi
kan ada pengukuran suhu tubuh! Hmmm, apa yang baru dengan itu? Mengukur suhu
tubuh adalah hal yang sudah biasa dilakukan sejak dulu, terutama ketika
anak-anak sedang kurang sehat, orang tua saja kalau demam, suhu tubuhnya
diukur. Artinya, tanpa pandemi Covid-19 pun pengukuran suhu tubuh sudah dan
terus dilakukan. Demikian juga dengan etika batuk/bersin (harus tutup mulut/hidung),
menghindari menyentuh wajah dengan sembarangan (lha, iya lah, masa tangan yang tidak
bersih pegang wajah???), menjaga kesehatan misalnya dengan suplemen
makanan/vitamin (lho, dari zaman tempoe doeloe juga ini penting). So, tidak ada yang baru sama sekali
bukan?
Lalu,
karena tidak ada yang baru sama sekali dengan the new normal tersebut, apakah kita boleh mengabaikannya? Nah, ini
merupakan pola pikir yang memprihatinkan. Ada orang yang mengabaikan protokol
kesehatan di era pandemi Covid-19 karena merasa memiliki kekebalan atau
imunitas tubuh yang kuat, tetapi mengabaikan kesehatan orang lain. Ironisnya,
ada juga orang yang mengabaikan protokol kesehatan tersebut dengan mencari legitimasi (pembenaran)
atas tindakannya itu melalui pencomotan ayat-ayat Alkitab tertentu, misalnya Markus 16:17-18. Seorang pendeta di Kamerun
(Afrika) meninggal dunia karena Covid-19 padahal sebelumnya dengan penuh
kepercayaan diri dia mengaku bisa menyembuhkan orang-orang yang terpapar virus
corona (baca: Pendeta Corona).
Karena
tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari seperti dikatakan oleh
Pengkhotbah, maka mestinya kita mudah beradaptasi dengan the new normal atau kenormalan baru dengan segala tatanan barunya
tersebut, toh kenormalan baru tersebut
lebih sebagai “pengulangan” (re-produksi, re-kreasi) dari kenormalan yang dulu
juga pernah ada atau pernah dilakukan. Sekarang, kita tinggal membiasakan diri kembali
untuk melakukan atau mengikuti protokol kesehatan di era pandemi Covid-19 ini. Orang
yang sudah terbiasa hidup dalam ketaatan dan kedisiplinan yang baik, tidak akan
mengalami kesulitan dari new
normal yang tidak baru sama sekali tersebut. Bagaimana dengan Anda?
Superrr... kiranya jadi berkat
ReplyDeleteSaohagolo renungannya..sangat mencerahkan
ReplyDeleteMenarik brother
ReplyDelete