Tuesday, June 2, 2020

The New Normal yang Tidak Baru Sama Sekali


“Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”
(Pengkhotbah 1:9)

Pandemi Covid-19 telah memaksa kita untuk memasuki babak baru dalam kehidupan di dunia ini, tidak peduli kita siap atau tidak. Secara perlahan, kita memasuki era baru yang dikenal dengan istilah new normal, kenormalan baru, yaitu suatu era dimana kita akan kembali ke kehidupan normal tetapi dengan tatanan yang baru setelah beberapa bulan “terkurung” di rumah untuk meminimalkan penyebaran virus corona. Saya tidak membahas lagi seperti apa kehidupan dengan kenormalan baru itu, bisa dibaca di sini: Kita Bisa, Kalau Kita Disiplin. Saya juga tidak membahas pro-kontra atas wacana the new normal (kenormalan baru) tersebut, bacaan di sini mungkin bisa membantu: Sudah Siap Menjalani Kehidupan New Normal? Saya yakin bahwa istilah “new normal” (kenormalan baru) bukan lagi istilah yang terlalu asing bagi kita, masyarakat kita secara perlahan mulai diperkenalkan dengan istilah tersebut dan bahkan diajak untuk menghidupinya.

Dalam perenungan saya akhir-akhir ini, saya menemukan bahwa kenormalan baru (new normal) yang sedang kita masuki karena pandemi Covid-19 ternyata bukan sesuatu yang baru sama sekali. Pola atau tatanan kehidupan normal baru tersebut lebih sebagai “re-produksi” dari apa yang sebelumnya pernah ada, lebih sebagai “re-kreasi” dari apa yang sebelumnya pernah kita lakukan. Mungkin inilah salah satu yang pernah diungkapkan oleh Pengkhotbah ribuan tahun yang lalu, bahwa sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari (Pengkhotbah 1:9); sesuatu yang pernah ada, itulah yang akan ada lagi, dan sesuatu yang telah diperbuat, itulah yang akan diperbuat lagi, demikian seterusnya.

Pembaca tulisan ini boleh saja tidak setuju dengan pernyataan bahwa kenormalan baru (the new normal) yang akan kita jalani bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Kalau masih menganggap the new normal tersebut merupakan sesuatu yang baru, pertanyaan saya adalah apanya yang baru? Bukankah pola hidup yang perlu dikembangkan di era the new normal tersebut pernah ada atau pernah dilakukan? Jadi, oleh karena tidak ada sesuatu yang baru sama sekali di bawah matahari, mestinya kita tidak terlalu terkejut apalagi tergagap menyikapi dan menjalaninya. Kita hanya berupaya untuk kembali melatih diri menghidupi pola hidup sehat yang dari dulu juga sudah diperkenalkan kepada kita. Di sinilah kemudian kita menyadari bahwa siapa pun mesti mampu beradaptasi dengan segala situasi, dan sebenarnya Tuhan telah menganugerahkan kita kemampuan untuk itu, kemampuan untuk berubah dan beradaptasi untuk bertahan hidup. Kuncinya adalah kemauan untuk kembali mendisiplinkan hidup yang mungkin selama ini sudah terlalu lama terlena dengan berbagai kemudahan yang ada. Pada tulisan sebelumnya, saya pernah mengatakan bahwa “kita bisa – kalau kita disiplin” (baca: Kita Bisa, Kalau Kita Disiplin).

Sekarang saya mau menunjukkan ketidakbaruan beberapa pola hidup sehat yang sedang digaungkan saat ini untuk menghadapi pandemi Covid-19. Kita mulai dengan pemakaian masker (kalau keluar rumah), yang sebenarnya bukan sesuatu yang baru sama sekali. Bagi tenaga medis, pemakaian masker sudah menjadi kewajiban terutama ketika menangani pasien tertentu, mis. pasien penyakit dalam, pasien operasi, dll. Kita, sebagai masyarakat biasa (non-medis), sebelumnya kadang-kadang memakai masker ketika membawa kendaraan roda dua misalnya. Di kota-kota besar dengan tingkat polusi yang tinggi seperti Jakarta, pemakaian masker ketika keluar rumah sudah merupakan tindakan yang lumrah. Jadi, pemakaian masker bukanlah sesuatu yang baru sama sekali.

Kita pun dihimbau untuk sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, atau memakai hand-sanitizer, serta melakukan penyemprotan disinfektan di lingkungan masing-masing. Inti dari himbauan ini adalah jagalah selalu kebersihan diri dan lingkungan. Lha, apa yang baru dengan ini? Sejak saya SD pun selalu ada himbauan “jagalah kebersihan”, dan kalau mau lebih rohani “kebersihan adalah bagian dari iman”. Mungkin ada yang mengatakan: “pemakaian hand-sanitizer kan baru”. Lho, kalau baru sama sekali maka produk hand-sanitizer itu tidak pernah ada, faktanya kan kita sudah bisa mendapatkannya, bahkan beberapa orang sudah biasa menggunakannya, jauh sebelum pandemi Covid-19. “Tetapi kan pernah mengalami kelangkaan, sulit didapat, kalau pun ada maka harganya tinggi”. Nah, ini terjadi lebih karena mental masyarakat kita saja yang suka borong dan melakukan penimbunan barang-barang tertentu, ada yang terlalu kuatir sehingga memborongnya, ada juga yang begitu tamak atau ingin cepat kaya sehingga melakukan penimbunan dan akan dijual dengan harga yang tinggi. Jadi, perihal kebersihan (baik mencuci tangan dan pemakaian hand-sanitizer) bukanlah sesuatu yang baru sama sekali.

Bagaimana dengan jaga jarak? Jangankan manusia, kendaraan saja dihimbau untuk jaga jarak. Tidak percaya? Silakan lihat foto berikut:

Lagi pula, kita tidak mungkin tidak jaga jarak dengan sesama kita, selalu harus ada jarak – jarak aman dan nyaman, bahkan suami-istri pun tidak mungkin lengket terus kayak perangko 😍😍. Tetapi kan, sekarang kita dihimbau jaga jarak minimal 1 meter. Benar, kalau boleh jaraknya lebih dari 1 meter. Lalu, apa yang baru dengan itu? Maksud inti dari himbauan untuk “jaga jarak” adalah supaya kita terhindar dari saling menularkan Covid-19, karena kita tidak tahu siapa di antara kita yang telah terpapar virus kecil tersebut. Sebelum pandemi Covid-19, himbauan ini pun sudah ada, kita mesti menjaga jarak dengan orang-orang yang mengidap penyakit menular, kalau di rumah sakit ada ruang isolasi untuk mereka (jadi, isolasi atau karantina juga bukan sesuatu yang baru sama sekali). Dalam Alkitab pun, diceritakan bahwa Yesus (dan murid-murid-Nya) pernah mengambil jarak dari orang banyak, mengambil waktu khusus untuk diri-Nya sendiri (lih. Mrk. 9:2; 6:31). Tidak ada yang baru sama sekali kan?

Tapi kan ada pengukuran suhu tubuh! Hmmm, apa yang baru dengan itu? Mengukur suhu tubuh adalah hal yang sudah biasa dilakukan sejak dulu, terutama ketika anak-anak sedang kurang sehat, orang tua saja kalau demam, suhu tubuhnya diukur. Artinya, tanpa pandemi Covid-19 pun pengukuran suhu tubuh sudah dan terus dilakukan. Demikian juga dengan etika batuk/bersin (harus tutup mulut/hidung), menghindari menyentuh wajah dengan sembarangan (lha, iya lah, masa tangan yang tidak bersih pegang wajah???), menjaga kesehatan misalnya dengan suplemen makanan/vitamin (lho, dari zaman tempoe doeloe juga ini penting). So, tidak ada yang baru sama sekali bukan?

Lalu, karena tidak ada yang baru sama sekali dengan the new normal tersebut, apakah kita boleh mengabaikannya? Nah, ini merupakan pola pikir yang memprihatinkan. Ada orang yang mengabaikan protokol kesehatan di era pandemi Covid-19 karena merasa memiliki kekebalan atau imunitas tubuh yang kuat, tetapi mengabaikan kesehatan orang lain. Ironisnya, ada juga orang yang mengabaikan protokol kesehatan tersebut dengan mencari legitimasi (pembenaran) atas tindakannya itu melalui pencomotan ayat-ayat Alkitab tertentu, misalnya Markus 16:17-18. Seorang pendeta di Kamerun (Afrika) meninggal dunia karena Covid-19 padahal sebelumnya dengan penuh kepercayaan diri dia mengaku bisa menyembuhkan orang-orang yang terpapar virus corona (baca: Pendeta Corona).

Karena tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari seperti dikatakan oleh Pengkhotbah, maka mestinya kita mudah beradaptasi dengan the new normal atau kenormalan baru dengan segala tatanan barunya tersebut, toh kenormalan baru tersebut lebih sebagai “pengulangan” (re-produksi, re-kreasi) dari kenormalan yang dulu juga pernah ada atau pernah dilakukan. Sekarang, kita tinggal membiasakan diri kembali untuk melakukan atau mengikuti protokol kesehatan di era pandemi Covid-19 ini. Orang yang sudah terbiasa hidup dalam ketaatan dan kedisiplinan yang baik, tidak akan mengalami kesulitan dari new normal yang tidak baru sama sekali tersebut. Bagaimana dengan Anda?

3 comments:

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...