Oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Pada tulisan sebelumnya saya
sudah membahas sekilas tentang hidup berdamai dengan Covid-19 (baca: Berdamai dengan Covid-19). Pernyataan Presiden Jokowi untuk berdamai dengan
virus Corona memang terbuka untuk ditafsirkan dengan bebas, bahkan mantan
wapres Jusuf Kalla sendiri mengkritiknya dengan mengajukan pertanyaan: “Kalau
kita hanya ingin damai, tapi virusnya enggak, bagaimana?” (baca: Berdamai dengan Covid-19? Ini kata JK). Pihak pemerintah sendiri sudah mengklarifikasi
pernyataan presiden tersebut, dengan menegaskan bahwa berdamai berarti tidak menyerah,
berdamai berarti kita harus beradaptasi untuk mengubah pola hidup kita dengan
menjalankan protokol kesehatan yang ketat, benar, disiplin (baca: Beradaptasi dengan Pola Hidup Baru). Harus diakui memang bahwa pola komunikasi publik
pemerintahan Jokowi cukup buruk, seringkali menimbulkan polemik bahkan
kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga sebaliknya, penduduk
negeri +62 memang suka meributkan hal-hal yang sepele, bahkan setelah
diklarifikasi pun tetap saja meributkannya.
Ada yang menduga bahwa
pernyataan Presiden Jokowi untuk berdamai dengan Covid-19 merupakan pertanda
bahwa kemungkinan besar Indonesia akan menerapkan semacam kekebalan
kelompok/kawanan, atau dalam bahasa medis dikenal dengan istilah herd immunity. Konsep inti dari herd immunity adalah bahwa ketika
kekebalan mayoritas populasi terbentuk, biasanya 70% - 80%, maka pandemi virus
bukan lagi ancaman. Secara sederhana, herd
immunity dapat diartikan sebagai kekebalan alami, yang biasanya diterapkan
karena berbagai faktor, antara lain vaksin yang kemungkinan besar tidak akan
ada dalam waktu cepat, pertimbangan ekonomi, dll.
Kalau herd immunity diterapkan, maka akan terjadi semacam “seleksi alam”,
mereka yang memiliki imunitas tubuh kuat akan “selamat”, sementara orang-orang
yang masuk kategori rentan terhadap berbagai penyakit, atau imunitas tubuhnya
lemah, akan “mati”. Sisi positif misalnya adalah akan muncul generasi yang
“kebal” terhadap virus Corona bahkan mungkin juga virus yang lain, kehidupan
dapat berjalan normal kembali, dengan demikian kita terhindar dari persoalan
ekonomi yang begitu terasa selama masa pandemi ini, apalagi negara tidak
mungkin selamanya menyediakan BLT atau berbagai bansos lainnya, kita pun sudah
mulai jenuh berlama-lama “diam” di rumah. Namun, hal yang mungkin tak
terhindarkan adalah jumlah yang akan terpapar Covid-19 dalam jumlah cukup
besar, dan bahkan akan ada kematian banyak orang, yang akan berimplikasi pada
kewalahan tim medis untuk menanganinya.
Saya bukan ahli di bidang
medis, bukan juga ahli epidemi, jadi saya tidak akan menjelaskan banyak hal
tentang herd immunity, itu di luar kapasitas saya. Saya
sendiri cari di google, baca misalnya: Apa itu Herd Immunity?; WHO tidak menganjurkan Herd Immunity; tentang Herd Immunity.
Dugaan bahwa kemungkinan
Indonesia akan menerapkan herd immunity ini
memang cukup beralasan, apalagi pemerintah (walaupun ragu-ragu dan terkesan
plin-plan) sepertinya memberi kelonggaran penerapan PSBB, tidak lagi terlalu
mempersoalkan kerumunan orang, mulai membuka pusat-pusat perbelanjaan,
mengizinkan perjalanan dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Dan, seperti
biasanya – walaupun pemerintah belum mengungkapkannya secara eksplisit –
penduduk di negeri +62 sudah duluan meributkan “rencana” penerapan herd immunity ini, bahkan WHO sendiri
tidak menganjurkannya. Keributan seperti ini bagus juga sih, supaya pemerintah tidak gegabah mengambil keputusan, sebab ini
menyangkut nyawa manusia, keselamatan dan atau kematian jutaan umat manusia.
Penyesuaian diri dengan
tantangan dan peluang baru dari the new
normal akibat pandemi Covid-19 merupakan penekanan penting dari berdamai
dengan Covid-19. Pertanyaannya ialah seperti apakah kehidupan kita di era the new normal, atau kehidupan dengan
tatanan yang baru karena pandemi Covid-19 ini? Apakah pemerintah akan
menerapkan kebijakan herd immunity,
atau masih kuat membiayai kehidupan masyarakat melalui penyaluran BLT, bansos,
dll? Ini tampaknya sulit dipastikan, pemerintah masih terus melakukan
kajian-kajian dengan mempertimbangkan berbagai aspek, sambil melihat dinamika yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Tetapi, katakanlah, kita akan
menjalani kehidupan the new normal, dan
tampaknya hal ini tidak bisa dihindari, sudah siapkah kita untuk itu? Banyak orang
yang salah paham dengan the new normal,
menurut mereka kita kembali menjalani kehidupan kita dengan normal, sama
seperti sebelumnya, tidak ada yang perlu ditakuti, kuatkan saja doa, Tuhan
pasti menolong. Memang benar bahwa kita harus kembali menjalani kehidupan kita
dengan normal, tetapi jangan gegabah, kehidupan normal yang dimaksud tidak sama
dengan sebelum pandemi Covid-19. Memang benar bahwa kita tidak perlu takut,
kita harus kuat berdoa, dan Tuhan pasti menolong, tetapi ingatlah peristiwa lebih
seratus tahun yang lalu (tahun 1918), saat pandemi virus flu Spanyol. Korban
yang paling banyak pada pandemi virus flu Spanyol terjadi pada gelombang kedua
(dan ketiga), bukan pada gelombang pertama. Setelah mulai mereda, orang-orang
kembali beraktivitas seperti biasa, seperti sebelum pandemi virus flu Spanyol,
akibatnya terjadilah gelombang kedua (dan ketiga) dari pandemi tersebut, dan
korbannya jauh lebih parah (baca: Gelombang Kedua Flu Spanyol).
Apabila kita menjalani kembali kehidupan normal kita, yang kita anggap sebagai the new normal itu, dengan mengulangi
kesalahan yang sama ketika pandemi flu Spanyol tersebut, maka yakinlah jumlah
orang yang terpapar dan mati karena virus Corona akan jauh lebih besar.
Lalu, seperti apakah kita
dalam menjalani kehidupan the new normal
ke depan ini? Menurut saya, beberapa pola hidup penting harus berubah, sesuai
dengan tantangan yang muncul karena pandemi Covid-19 ini. Gereja pun jangan
merasa “kebal” terhadap virus ini, jangan terlalu percaya diri bahwa Tuhan
melindungi umat-Nya di gereja. Ingatlah bahwa doa yang diserukan kepada Tuhan
harus kita hidupi, bukan sekadar kata-kata. Kita memohon Tuhan untuk melindungi
umat-Nya, tetapi kita sendiri tidak melakukan tindakan preventif untuk
melindungi jemaat. Inilah salah satu contoh doa yang tidak dihidupi.
Oleh sebab itu, acara-acara
yang tidak begitu penting, batalkanlah, atau paling tidak tunda dulu. Kalau bisa
dilaksanakan secara virtual, mengapa tidak memilih itu? Acara-acara yang
penting, tetapi bisa ditunda, tundalah, atau bisa dilaksanakan secara virtual,
maka lakukanlah dengan menggunakan teknologi komunikasi (youtube live streaming, aplikasi
zoom, aplikasi google meet, dll). Acara-acara penting tetapi bukan sesuatu yang
substansial, tunda atau batalkanlah. Usahakanlah supaya tidak ada kerumunan
orang dalam jumlah besar, usahakanlah jaga jarak, jangan sok sehat.
Ibadah online masih baik untuk diteruskan, kalau pun ada ibadah manual,
maka ikutilah protokoler kesehatan, beribadah beberapa kali dalam satu hari minggu
untuk tetap menjaga jarak, tentu dengan mewajibkan jemaat cuci tangan, dan
tetap membersihkan gereja misalnya penyemprotan desinfektan. Kalau ada warga
yang baru datang dari luar, wajibkan untuk isolasi mandiri, jangan ikut
kebaktian bersama dulu selama 14 hari. Sudah siapkah kita untuk the new normal seperti ini?
Kita sudah menjalani proses
pembelajaran (pendidikan) dari rumah dalam beberapa bulan terakhir, kita sudah
ada pengalaman untuk itu. Kalau memungkinkan, teruskanlah belajar dan ujian
dari rumah, teknologi komunikasi sangat membantu kita. Kalau mau melakukan
transformasi di bidang pendidikan di Indonesia, inilah saatnya, manfaatkanlah
momen pandemi ini. Anak-anak kita tidak perlu belajar semua hal, tidak perlu
mengetahui seluruh dunia, cukup mengenal dan memahami dirinya sendiri serta
lingkungan sekitarnya, sementara dunia yang lebih luas hanyalah tambahan. Biarlah
anak-anak kita belajar mandiri, belajar mengenal diri dan sesamanya, belajar
mengenal dunia sekitarnya yang lebih dekat dengannya. Anak-anak kita tidak
perlu dibebani dengan materi yang begitu banyak seperti selama ini, cukup
dengan materi yang pokok, sebab yang paling penting bukan pada banyaknya materi
melainkan pada kualitas dan relevansi materi yang diberikan.
Kalau pun kemudian proses
pembelajaran harus manual, maka sama seperti ibadah tadi, tetap ikuti
protokoler kesehatan, kasihan anak-anak kita yang termasuk kategori rentan
terhadap berbagai penyakit. Bagaimana dengan acara pamitan atau wisuda? Sebenarnya,
kalau kita mau jujur dan rendah hati, acara itu tidak begitu penting. Apakah kalau
tidak pamitan kelulusan anak kita tidak sah? Tetap sah bukan? Apakah kalau
tidak ada wisuda, kelulusan serta gelar kesarjanaan/magister/doktor kita
ilegal? Tetap sah bukan? Pamitan penting, tetapi bisa dibatalkan, karena
intinya sebenarnya adalah ijazah. Wisuda penting, tetapi bisa dibatalkan,
karena intinya adalah penyerahan/penerimaan ijazah. Untuk apa pamitan/wisuda
dengan foto-foto yang begitu wah, tetapi kemudian ada yang terpapar virus
Corona? Jadi, jalanilah kehidupan secara sehat dan rasional. Sudah siapkah kita
untuk menjalani the new normal
seperti ini?
Kalau kita bisa belanja online, mengapa tidak dilakukan? Kalau pun
harus manual, maka ikutilah protokoler kesehatan tadi, jangan ngeyel. Kalau penyaluran
bantuan bisa dilakukan online (transfer),
mengapa harus tunai (BLT) seperti sekarang ini? Jangan kuatir, singkatannya
tetap BLT, Bantuan Langsung Transfer, hehehehe. Implikasinya adalah semua
fasilitas-fasilitas umum/publik harus tetap dibersihkan dan harus memenuhi
standar kesehatan ala Covid-19, kalau tidak, tutup saja fasilitas itu. Sudah siapkah
kita dengan the new normal seperti ini?
Inilah beberapa hal yang saya
katakan tadi bahwa pola hidup kita harus berubah sesuai dengan tuntutan kehidupan
the new normal. Apakah Tuhan tidak
mampu menolong umat-Nya? Tampaknya, Tuhan “kesal” juga dengan orang-orang yang
ngeyel. Dia sudah memberikan kita akal budi dan kesempatan untuk kembali ke
kehidupan normal dengan cara yang lebih sehat dan rasional, tetapi apabila kita
tidak memilih itu, maka jangan salahkan Tuhan, itu murni kesalahan kita sendiri. Berimanlah dengan akal sehat!
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?