Friday, May 22, 2020

Sudah siap Menjalani Kehidupan the New Normal?


Oleh: Pdt. Alokasih Gulo


Pada tulisan sebelumnya saya sudah membahas sekilas tentang hidup berdamai dengan Covid-19 (baca: Berdamai dengan Covid-19). Pernyataan Presiden Jokowi untuk berdamai dengan virus Corona memang terbuka untuk ditafsirkan dengan bebas, bahkan mantan wapres Jusuf Kalla sendiri mengkritiknya dengan mengajukan pertanyaan: “Kalau kita hanya ingin damai, tapi virusnya enggak, bagaimana?” (baca: Berdamai dengan Covid-19? Ini kata JK). Pihak pemerintah sendiri sudah mengklarifikasi pernyataan presiden tersebut, dengan menegaskan bahwa berdamai berarti tidak menyerah, berdamai berarti kita harus beradaptasi untuk mengubah pola hidup kita dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat, benar, disiplin (baca: Beradaptasi dengan Pola Hidup Baru). Harus diakui memang bahwa pola komunikasi publik pemerintahan Jokowi cukup buruk, seringkali menimbulkan polemik bahkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga sebaliknya, penduduk negeri +62 memang suka meributkan hal-hal yang sepele, bahkan setelah diklarifikasi pun tetap saja meributkannya.

Ada yang menduga bahwa pernyataan Presiden Jokowi untuk berdamai dengan Covid-19 merupakan pertanda bahwa kemungkinan besar Indonesia akan menerapkan semacam kekebalan kelompok/kawanan, atau dalam bahasa medis dikenal dengan istilah herd immunity. Konsep inti dari herd immunity adalah bahwa ketika kekebalan mayoritas populasi terbentuk, biasanya 70% - 80%, maka pandemi virus bukan lagi ancaman. Secara sederhana, herd immunity dapat diartikan sebagai kekebalan alami, yang biasanya diterapkan karena berbagai faktor, antara lain vaksin yang kemungkinan besar tidak akan ada dalam waktu cepat, pertimbangan ekonomi, dll.

Kalau herd immunity diterapkan, maka akan terjadi semacam “seleksi alam”, mereka yang memiliki imunitas tubuh kuat akan “selamat”, sementara orang-orang yang masuk kategori rentan terhadap berbagai penyakit, atau imunitas tubuhnya lemah, akan “mati”. Sisi positif misalnya adalah akan muncul generasi yang “kebal” terhadap virus Corona bahkan mungkin juga virus yang lain, kehidupan dapat berjalan normal kembali, dengan demikian kita terhindar dari persoalan ekonomi yang begitu terasa selama masa pandemi ini, apalagi negara tidak mungkin selamanya menyediakan BLT atau berbagai bansos lainnya, kita pun sudah mulai jenuh berlama-lama “diam” di rumah. Namun, hal yang mungkin tak terhindarkan adalah jumlah yang akan terpapar Covid-19 dalam jumlah cukup besar, dan bahkan akan ada kematian banyak orang, yang akan berimplikasi pada kewalahan tim medis untuk menanganinya.

Saya bukan ahli di bidang medis, bukan juga ahli epidemi, jadi saya tidak akan menjelaskan banyak hal tentang herd immunity, itu di luar kapasitas saya. Saya sendiri cari di google, baca misalnya: Apa itu Herd Immunity?; WHO tidak menganjurkan Herd Immunity; tentang Herd Immunity.

Dugaan bahwa kemungkinan Indonesia akan menerapkan herd immunity ini memang cukup beralasan, apalagi pemerintah (walaupun ragu-ragu dan terkesan plin-plan) sepertinya memberi kelonggaran penerapan PSBB, tidak lagi terlalu mempersoalkan kerumunan orang, mulai membuka pusat-pusat perbelanjaan, mengizinkan perjalanan dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Dan, seperti biasanya – walaupun pemerintah belum mengungkapkannya secara eksplisit – penduduk di negeri +62 sudah duluan meributkan “rencana” penerapan herd immunity ini, bahkan WHO sendiri tidak menganjurkannya. Keributan seperti ini bagus juga sih, supaya pemerintah tidak gegabah mengambil keputusan, sebab ini menyangkut nyawa manusia, keselamatan dan atau kematian jutaan umat manusia.

Penyesuaian diri dengan tantangan dan peluang baru dari the new normal akibat pandemi Covid-19 merupakan penekanan penting dari berdamai dengan Covid-19. Pertanyaannya ialah seperti apakah kehidupan kita di era the new normal, atau kehidupan dengan tatanan yang baru karena pandemi Covid-19 ini? Apakah pemerintah akan menerapkan kebijakan herd immunity, atau masih kuat membiayai kehidupan masyarakat melalui penyaluran BLT, bansos, dll? Ini tampaknya sulit dipastikan, pemerintah masih terus melakukan kajian-kajian dengan mempertimbangkan berbagai aspek, sambil melihat dinamika yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Tetapi, katakanlah, kita akan menjalani kehidupan the new normal, dan tampaknya hal ini tidak bisa dihindari, sudah siapkah kita untuk itu? Banyak orang yang salah paham dengan the new normal, menurut mereka kita kembali menjalani kehidupan kita dengan normal, sama seperti sebelumnya, tidak ada yang perlu ditakuti, kuatkan saja doa, Tuhan pasti menolong. Memang benar bahwa kita harus kembali menjalani kehidupan kita dengan normal, tetapi jangan gegabah, kehidupan normal yang dimaksud tidak sama dengan sebelum pandemi Covid-19. Memang benar bahwa kita tidak perlu takut, kita harus kuat berdoa, dan Tuhan pasti menolong, tetapi ingatlah peristiwa lebih seratus tahun yang lalu (tahun 1918), saat pandemi virus flu Spanyol. Korban yang paling banyak pada pandemi virus flu Spanyol terjadi pada gelombang kedua (dan ketiga), bukan pada gelombang pertama. Setelah mulai mereda, orang-orang kembali beraktivitas seperti biasa, seperti sebelum pandemi virus flu Spanyol, akibatnya terjadilah gelombang kedua (dan ketiga) dari pandemi tersebut, dan korbannya jauh lebih parah (baca: Gelombang Kedua Flu Spanyol). Apabila kita menjalani kembali kehidupan normal kita, yang kita anggap sebagai the new normal itu, dengan mengulangi kesalahan yang sama ketika pandemi flu Spanyol tersebut, maka yakinlah jumlah orang yang terpapar dan mati karena virus Corona akan jauh lebih besar.

Lalu, seperti apakah kita dalam menjalani kehidupan the new normal ke depan ini? Menurut saya, beberapa pola hidup penting harus berubah, sesuai dengan tantangan yang muncul karena pandemi Covid-19 ini. Gereja pun jangan merasa “kebal” terhadap virus ini, jangan terlalu percaya diri bahwa Tuhan melindungi umat-Nya di gereja. Ingatlah bahwa doa yang diserukan kepada Tuhan harus kita hidupi, bukan sekadar kata-kata. Kita memohon Tuhan untuk melindungi umat-Nya, tetapi kita sendiri tidak melakukan tindakan preventif untuk melindungi jemaat. Inilah salah satu contoh doa yang tidak dihidupi.

Oleh sebab itu, acara-acara yang tidak begitu penting, batalkanlah, atau paling tidak tunda dulu. Kalau bisa dilaksanakan secara virtual, mengapa tidak memilih itu? Acara-acara yang penting, tetapi bisa ditunda, tundalah, atau bisa dilaksanakan secara virtual, maka lakukanlah dengan menggunakan teknologi komunikasi (youtube live streaming, aplikasi zoom, aplikasi google meet, dll). Acara-acara penting tetapi bukan sesuatu yang substansial, tunda atau batalkanlah. Usahakanlah supaya tidak ada kerumunan orang dalam jumlah besar, usahakanlah jaga jarak, jangan sok sehat.

Ibadah online masih baik untuk diteruskan, kalau pun ada ibadah manual, maka ikutilah protokoler kesehatan, beribadah beberapa kali dalam satu hari minggu untuk tetap menjaga jarak, tentu dengan mewajibkan jemaat cuci tangan, dan tetap membersihkan gereja misalnya penyemprotan desinfektan. Kalau ada warga yang baru datang dari luar, wajibkan untuk isolasi mandiri, jangan ikut kebaktian bersama dulu selama 14 hari. Sudah siapkah kita untuk the new normal seperti ini?

Kita sudah menjalani proses pembelajaran (pendidikan) dari rumah dalam beberapa bulan terakhir, kita sudah ada pengalaman untuk itu. Kalau memungkinkan, teruskanlah belajar dan ujian dari rumah, teknologi komunikasi sangat membantu kita. Kalau mau melakukan transformasi di bidang pendidikan di Indonesia, inilah saatnya, manfaatkanlah momen pandemi ini. Anak-anak kita tidak perlu belajar semua hal, tidak perlu mengetahui seluruh dunia, cukup mengenal dan memahami dirinya sendiri serta lingkungan sekitarnya, sementara dunia yang lebih luas hanyalah tambahan. Biarlah anak-anak kita belajar mandiri, belajar mengenal diri dan sesamanya, belajar mengenal dunia sekitarnya yang lebih dekat dengannya. Anak-anak kita tidak perlu dibebani dengan materi yang begitu banyak seperti selama ini, cukup dengan materi yang pokok, sebab yang paling penting bukan pada banyaknya materi melainkan pada kualitas dan relevansi materi yang diberikan.

Kalau pun kemudian proses pembelajaran harus manual, maka sama seperti ibadah tadi, tetap ikuti protokoler kesehatan, kasihan anak-anak kita yang termasuk kategori rentan terhadap berbagai penyakit. Bagaimana dengan acara pamitan atau wisuda? Sebenarnya, kalau kita mau jujur dan rendah hati, acara itu tidak begitu penting. Apakah kalau tidak pamitan kelulusan anak kita tidak sah? Tetap sah bukan? Apakah kalau tidak ada wisuda, kelulusan serta gelar kesarjanaan/magister/doktor kita ilegal? Tetap sah bukan? Pamitan penting, tetapi bisa dibatalkan, karena intinya sebenarnya adalah ijazah. Wisuda penting, tetapi bisa dibatalkan, karena intinya adalah penyerahan/penerimaan ijazah. Untuk apa pamitan/wisuda dengan foto-foto yang begitu wah, tetapi kemudian ada yang terpapar virus Corona? Jadi, jalanilah kehidupan secara sehat dan rasional. Sudah siapkah kita untuk menjalani the new normal seperti ini?

Kalau kita bisa belanja online, mengapa tidak dilakukan? Kalau pun harus manual, maka ikutilah protokoler kesehatan tadi, jangan ngeyel. Kalau penyaluran bantuan bisa dilakukan online (transfer), mengapa harus tunai (BLT) seperti sekarang ini? Jangan kuatir, singkatannya tetap BLT, Bantuan Langsung Transfer, hehehehe. Implikasinya adalah semua fasilitas-fasilitas umum/publik harus tetap dibersihkan dan harus memenuhi standar kesehatan ala Covid-19, kalau tidak, tutup saja fasilitas itu. Sudah siapkah kita dengan the new normal seperti ini?

Inilah beberapa hal yang saya katakan tadi bahwa pola hidup kita harus berubah sesuai dengan tuntutan kehidupan the new normal. Apakah Tuhan tidak mampu menolong umat-Nya? Tampaknya, Tuhan “kesal” juga dengan orang-orang yang ngeyel. Dia sudah memberikan kita akal budi dan kesempatan untuk kembali ke kehidupan normal dengan cara yang lebih sehat dan rasional, tetapi apabila kita tidak memilih itu, maka jangan salahkan Tuhan, itu murni kesalahan kita sendiri. Berimanlah dengan akal sehat!


No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...