Oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Pada tanggal 7 Mei 2020 yang lalu,
Presiden Jokowi mendorong masyarakat Indonesia untuk hidup berdamai dengan
Covid-19, paling tidak untuk beberapa waktu ke depan sampai ditemukannya vaksin
yang efektif (baca: Presiden: Hidup Berdamai dengan Covid-19)
Terlepas dari pro-kontra tanggapan
masyarakat atas pernyataan presiden tersebut, kita memang harus realistis
menghadapi pandemi Covid-19. Kita
harus realistis bahwa pandemi Covid-19
ini nyata dan telah menimbulkan berbagai dampak “buruk” yang luar biasa bagi kehidupan umat
manusia di seluruh dunia. Kita harus menerima
kenyataan bahwa sampai hari ini, belum ada obat dan atau vaksin yang ampuh
untuk virus Corona, walaupun para ilmuwan sudah dan terus berupaya keras
menemukan vaksin dimaksud. Badan kesehatan dunia sendiri (WHO) malah mengatakan
bahwa virus Corona tidak akan hilang meskipun nanti akan ada vaksinnya (baca: WHO: Virus Corona tidak akan hilang).
Dengan pernyataan ini, WHO hendak mengajak kita untuk lebih realistis dalam
menghadapi pandemi Covid-19. Beberapa virus yang sudah lama muncul pun sampai
sekarang belum ada vaksinnya, antara lain: virus Ebola, SARS, dan HIV. Oleh
sebab itu, kita harus bersiap menerima kenyataan kalau kemudian vaksin virus
Corona ini mungkin saja tidak akan ditemukan dalam waktu yang cepat. Tentu, Presiden
Jokowi tahu situasi ini, dan beliau mengajak kita untuk hidup berdamai dengan
Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan. Melalui pernyataannya tersebut, presiden
hendak mengajak kita semua untuk melakukan penyesuaian baru dalam kehidupan, kita
harus bersiap menjalani the new normal
sesuai dengan situasi atau konteks kehidupan saat ini.
Hidup berdamai dengan Covid-19
tidak berarti kita menyerah, duduk diam di rumah sambil menunggu uluran tangan “dewa
penolong” dari gereja (dana diakonia) atau dari pemerintah (bansos). Hidup berdamai
dengan Covid-19 justru mendorong kita untuk terus memperjuangkan kehidupan di
tengah-tengah ancaman virus Corona. Kalau sebelumnya kita sudah begitu nyaman
dengan beribadat di gedung-gedung gereja, beberapa gereja malah beribadat di
gedung mewah dengan mendatangkan ribuan jemaat, sekarang the new normal-nya adalah beribadat secara virtual dengan
memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi. Mau tidak mau, gereja harus
menyesuaikan dirinya dengan situasi ini. Kalau pun nanti kita akan beribadat
di gedung gereja, maka haruslah memenuhi standar kesehatan untuk mencegah
penularan virus Corona. Dan, tampaknya, siaran langsung ibadat akan menjadi new normal dari kehidupan bergereja,
terutama untuk menjangkau generasi muda serta mereka yang tidak bisa datang ke
gedung gereja karena berbagai faktor. Maka, kita harus menyiapkan program dan
anggaran yang cukup signifikan untuk new
normal peribadatan seperti ini. Dengan model ini, ada kesempatan yang lebih
luas bagi generasi muda untuk berkarya di dalam dan melalui peribadatan, dan
gereja harus peka dan bersedia menerima realitas tersebut.
Hidup berdamai dengan Covid-19
tidak berarti kita cukup beribadat tanpa aksi nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Pandemi Covid-19 justru telah mendorong munculnya new normal untuk saling peduli: peduli
terhadap kesehatan orang lain, peduli terhadap keadaan ekonomi orang lain, peduli
terhadap anggota keluarga, dan tentunya peduli terhadap diri sendiri. Berbagai
aksi diakonia gereja yang sudah dilakukan sampai hari ini patut diapresiasi. Namun
demikian, kita harus sadar bahwa tidak mungkin gereja (bahkan pemerintah) terus
menerus menyediakan kebutuhan sehari-hari kita untuk jangka waktu yang lama. Sambil
tetap menggerakkan diakonia karitatif, gereja harus melangkah lebih progresif dalam
pemberdayaan ekonomi jemaat, ikut bersama pemerintah dalam penciptaan lapangan
kerja, memfasilitasi pelatihan-pelatihan khusus bagi jemaat yang ada kaitannya dengan
perbaikan kehidupan ekonomi. Kita harus sadar bahwa dalam beberapa bulan bahkan
beberapa tahun ke depan, banyak orang yang mengalami goncangan kehidupan
ekonomi, angka kemiskinan akan naik drastis, belum lagi angka kelahiran yang
mungkin saja cukup tinggi dengan segala konsekuensi ekonominya. Gereja harus
mampu membaca dan memanfaatkan momentum yang ada, misalnya trend pemakaian
masker, peningkatan pemakaian sabun dan hand-sanitizer serta cairan
desinfektan. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang baru bagi kita. Hidup berdamai
dengan Covid-19 berarti kita harus siap menghadapi berbagai konsekuensi yang
muncul karena pandemi Covid-19 ini, kita harus menyesuaikan diri dengan situasi
baru ini.
Hidup berdamai dengan Covid-19
berarti berupaya menyesuaikan diri dengan tantangan dan peluang baru yang
muncul karena pandemi ini. Kita tidak menyerah begitu saja, kita juga tidak
terlalu optimis (over-confidence) dan
gegabah. Kita realistis bahwa saat ini dan untuk beberapa tahun ke depan, kita
hidup bersama dengan situasi baru yang menuntut daya tahan (imunitas) hidup
yang kuat, the new normal yang menuntut
kreatifitas, fleksibilitas, dan soliditas kita semua. Dalam konteks seperti inilah gereja hadir dan melayani sepenuh hati.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?