Friday, May 15, 2020

Hidup Berdamai dengan Covid-19


Oleh: Pdt. Alokasih Gulo

Pada tanggal 7 Mei 2020 yang lalu, Presiden Jokowi mendorong masyarakat Indonesia untuk hidup berdamai dengan Covid-19, paling tidak untuk beberapa waktu ke depan sampai ditemukannya vaksin yang efektif (baca: Presiden: Hidup Berdamai dengan Covid-19)

Terlepas dari pro-kontra tanggapan masyarakat atas pernyataan presiden tersebut, kita memang harus realistis menghadapi pandemi Covid-19. Kita harus realistis bahwa pandemi Covid-19 ini nyata dan telah menimbulkan berbagai dampak “buruk” yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Kita harus menerima kenyataan bahwa sampai hari ini, belum ada obat dan atau vaksin yang ampuh untuk virus Corona, walaupun para ilmuwan sudah dan terus berupaya keras menemukan vaksin dimaksud. Badan kesehatan dunia sendiri (WHO) malah mengatakan bahwa virus Corona tidak akan hilang meskipun nanti akan ada vaksinnya (baca: WHO: Virus Corona tidak akan hilang). Dengan pernyataan ini, WHO hendak mengajak kita untuk lebih realistis dalam menghadapi pandemi Covid-19. Beberapa virus yang sudah lama muncul pun sampai sekarang belum ada vaksinnya, antara lain: virus Ebola, SARS, dan HIV. Oleh sebab itu, kita harus bersiap menerima kenyataan kalau kemudian vaksin virus Corona ini mungkin saja tidak akan ditemukan dalam waktu yang cepat. Tentu, Presiden Jokowi tahu situasi ini, dan beliau mengajak kita untuk hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan. Melalui pernyataannya tersebut, presiden hendak mengajak kita semua untuk melakukan penyesuaian baru dalam kehidupan, kita harus bersiap menjalani the new normal sesuai dengan situasi atau konteks kehidupan saat ini.

Hidup berdamai dengan Covid-19 tidak berarti kita menyerah, duduk diam di rumah sambil menunggu uluran tangan “dewa penolong” dari gereja (dana diakonia) atau dari pemerintah (bansos). Hidup berdamai dengan Covid-19 justru mendorong kita untuk terus memperjuangkan kehidupan di tengah-tengah ancaman virus Corona. Kalau sebelumnya kita sudah begitu nyaman dengan beribadat di gedung-gedung gereja, beberapa gereja malah beribadat di gedung mewah dengan mendatangkan ribuan jemaat, sekarang the new normal-nya adalah beribadat secara virtual dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi. Mau tidak mau, gereja harus menyesuaikan dirinya dengan situasi ini. Kalau pun nanti kita akan beribadat di gedung gereja, maka haruslah memenuhi standar kesehatan untuk mencegah penularan virus Corona. Dan, tampaknya, siaran langsung ibadat akan menjadi new normal dari kehidupan bergereja, terutama untuk menjangkau generasi muda serta mereka yang tidak bisa datang ke gedung gereja karena berbagai faktor. Maka, kita harus menyiapkan program dan anggaran yang cukup signifikan untuk new normal peribadatan seperti ini. Dengan model ini, ada kesempatan yang lebih luas bagi generasi muda untuk berkarya di dalam dan melalui peribadatan, dan gereja harus peka dan bersedia menerima realitas tersebut.

Hidup berdamai dengan Covid-19 tidak berarti kita cukup beribadat tanpa aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pandemi Covid-19 justru telah mendorong munculnya new normal untuk saling peduli: peduli terhadap kesehatan orang lain, peduli terhadap keadaan ekonomi orang lain, peduli terhadap anggota keluarga, dan tentunya peduli terhadap diri sendiri. Berbagai aksi diakonia gereja yang sudah dilakukan sampai hari ini patut diapresiasi. Namun demikian, kita harus sadar bahwa tidak mungkin gereja (bahkan pemerintah) terus menerus menyediakan kebutuhan sehari-hari kita untuk jangka waktu yang lama. Sambil tetap menggerakkan diakonia karitatif, gereja harus melangkah lebih progresif dalam pemberdayaan ekonomi jemaat, ikut bersama pemerintah dalam penciptaan lapangan kerja, memfasilitasi pelatihan-pelatihan khusus bagi jemaat yang ada kaitannya dengan perbaikan kehidupan ekonomi. Kita harus sadar bahwa dalam beberapa bulan bahkan beberapa tahun ke depan, banyak orang yang mengalami goncangan kehidupan ekonomi, angka kemiskinan akan naik drastis, belum lagi angka kelahiran yang mungkin saja cukup tinggi dengan segala konsekuensi ekonominya. Gereja harus mampu membaca dan memanfaatkan momentum yang ada, misalnya trend pemakaian masker, peningkatan pemakaian sabun dan hand-sanitizer serta cairan desinfektan. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang baru bagi kita. Hidup berdamai dengan Covid-19 berarti kita harus siap menghadapi berbagai konsekuensi yang muncul karena pandemi Covid-19 ini, kita harus menyesuaikan diri dengan situasi baru ini.

Hidup berdamai dengan Covid-19 berarti berupaya menyesuaikan diri dengan tantangan dan peluang baru yang muncul karena pandemi ini. Kita tidak menyerah begitu saja, kita juga tidak terlalu optimis (over-confidence) dan gegabah. Kita realistis bahwa saat ini dan untuk beberapa tahun ke depan, kita hidup bersama dengan situasi baru yang menuntut daya tahan (imunitas) hidup yang kuat, the new normal yang menuntut kreatifitas, fleksibilitas, dan soliditas kita semua. Dalam konteks seperti inilah gereja hadir dan melayani sepenuh hati.


No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...