Tuesday, May 5, 2020

KEBEBASAN DAN ORANG LAIN


Oleh: Pdt. Otoriteit Dachi, S.Th., M.Si.


Informasi tentang Artikel
Asli dari artikel ini ditulis oleh Bapak Pdt. Otoriteit Dachi, S.Th., M.Si., sekitar tahun 2002 yang lalu, lebih dikenal dengan panggilan Bapak Pdt. Ritter Dachi. Pada saat itu beliau adalah dosen STT BNKP Sundermann dan diminta untuk menyampaikan ceramah pada seminar kampus yang pada waktu itu bertempat di aula PLPI BNKP Gunungsitoli. Pada awal bulan Mei tahun 2020, saya menemukan paper ini ketika sedang merapikan buku-buku dan makalah-makalah di rumah dinas pendeta/dosen di STT BNKP Sundermann. Menurut saya, tulisan Bapak Ritter Dachi ini cukup menarik di tengah-tengah situasi sulit saat ini karena pandemi Covid-19, dimana pemerintah RI dan para pemimpin agama (gereja) meminta masyarakat/jemaat untuk melakukan “social/physical distancing” (pembatasan sosial atau interaksi fisik). Dengan kata lain, kebebasan gerak kita sebagai manusia, termasuk kebebasan beribadah di rumah ibadah, dipertaruhkan dengan kebijakan tersebut. Kebijakan ini menuai pro-kontra, banyak orang yang begitu yakin dengan imannya sehingga tidak mau dibatasi oleh pemerintah atau pemimpin agama, katanya mereka tidak takut virus Corona. Mereka ini tidak memahami akibat buruk yang bisa saja terjadi karena “kebebasan” mereka yang tidak mau dibatasi itu.

Sementara itu, muncul semacam gelombang kebingungan di tengah-tengah masyarakat/jemaat, terutama ketika melihat para pimpinan pemerintah dan agama, yang justru tidak begitu menaati kebijakan yang mereka buat sendiri, dengan alasan pembagian sembako atau penyaluran bansos, atau malah pertemuan fisik para pejabat atas nama “penanggulangan pandemi Covid-19”, padahal sudah ada aplikasi online yang memungkinkan mereka mengadakan pertemuan secara virtual. Benar bahwa mungkin saja para pimpinan ini menjaga jarak, atau memakai masker dan mencuci tangan, tetapi tindakan tersebut justru menimbulkan pertanyaan kaum awam: “mengapa mereka bebas melakukan pertemuan, sementara kami tidak dibebaskan bahkan pertemuan ibadah kami di gereja dibubarkan?” Kaum awam dalam segala keterbatasan pemahamannya, ditambah dengan tekanan hidup yang luar biasa, tidak “peduli” dengan protokoler kesehatan yang katanya diikuti oleh para pengambil kebijakan itu. Masyarakat biasa tahunya “pemerintah dan rohaniwan telah melakukan pertemuan, mereka bebas kita tidak”. Jadi, pokok “kebebasan” akan menjadi sorotan dalam artikel ini. Saya sendiri hanya akan menyelipkan beberapa catatan sederhana yang sangat sedikit pada tulisan bapak Dachi ini untuk sebisa mungkin menyesuaikan dengan konteks sekarang. Sebagai informasi bagi pembaca, Bapak Pdt. Ritter Dachi telah memberikan izin kepada saya untuk memosting membagikan (share) artikelnya ini. Beliau mengatakan: “Memori yg telah lama hilang pak Oka ingatkan kembali ... kalau dianggap layak silahkan dimuat ...”. Terima kasih pak Dachi. Selamat membaca.

Pengantar
Sebuah wacana yang menarik adalah bagaimana sesusungguhnya tata pergaulan itu diwujudkan agar tercipta harmoni dalam kehidupan bersama. Kehidupan bersama hanya berjalan dengan baik apabila ada tata nilai saling menerima, saling menghargai dan saling memberi tempat. Dalam dirinya manusia adalah dia yang berada dan tidak pernah dapat menjadi orang lain. Kehadiran suatu pribadi tidak dimaksudkan menghilangkan diri orang lain di sekitar kita. Sebab dengan beradanya diri-diri di sekitar kita, diri kita memperoleh tempat yang sesungguhnya. Bagaimana seharusnya setiap diri memperoleh tempat menurut porsi yang sesungguhnya dalam tatanan kehidupan bersama, makalah ini sekadar mengantar kita ke arah itu. Sebab merupakan tindakan yang kurang etis apabila saya melakukan segalanya untuk mengarahkan dan yang sekaligus membutakan opini setiap diri yang ada di sini. Mengingat materinya yang amat sederhana maka kebebasan yang dimaksud saya soroti dari dua sudut (negatif & positif) menurut pemahaman para filsuf dan etikus sepanjang sejarah. Baru setelah itu saya mambuat refleksi.

Kebebasan Manusia
1.     Manusia bebas tapi terpisah (menurut Paul Sartre)
Keberadaan diri (eksistensi) manusia ditentukan oleh dua dimensi, yaitu:
Pertama, berada pada dirinya, artinya realitas objek-objek yang oleh Hegel sebut An-Sich-Sein, artinya benda-benda yang kita hadapi sejauh menyangkut kita merupakan realitas mati, tertutup, tanpa kesadaran, tanpa makna.
Kedua, berada bagi dirinya atau Fur-Sich-Sein, yakni ia menyadari diri sebagai yang lain dari objek-objeknya. “Aku tidak menyadari diri secara langsung, melainkan secara tidak langsung, yaitu dalam menyadari sesuatu yang lain. Begitu yang lain saya sadari sebagai yang lain, saya menyadari diri sebagai yang lain dari pada yang lain“. Dari latar belakang pemikiran filsafat seperti ini nyata adanya keterpisahan satu pribadi dengan pribadi yang lain juga dengan objek-objek yang lain di sekitar kita. Oleh Paul Sartre dalam bukunya “L’Existentialisme Est Un Humanisme” tahun 1946 mengatakan “Aku adalah kesadaran diri dan sebagai itu aku berlawanan total dengan alam objektif, bahkan dengan alam ada – En – Soi (lingkungan yang bebas). Aku hanya ada sebagai penyangkalan realitas, aku adalah yang bukan objek, aku tanpa realitas. Aku mempertahankan diri dengan meniadakan yang lain – ada – Pour – Soi atau dalam arti segala sesuatunya ditiadakan“.

Di sini dapat dikatakan bahwa kebebasan dan autentisitas adalah nilai satu-satunya yang tertinggi dan mulia. Dengan kebebasan orang bisa hidup secara autentik dan harkat kemanusiaannya dibangun. Manusia hanya mencapai eksistensi yang bermutu apabila ia tetap setia pada dirinya sendiri, bertindak berdasarkan keyakinannya dan bertanggung jawab terhadap segalanya. Manusia menyangkal diri apabila ia melemparkan tanggung jawabnya terhadap peranannya dalam dunia dan masyarakat pada faktor-faktor objektif di luarnya. Ini memang sedang dicari oleh manusia sekarang. Namun saya mau katakan, tidak betul bahwa kita dalam mengambil sikap terhadap dunia objektif, sama sekali bebas. Kebebasan seperti itu abstrak semata-mata. Secara konkret, lingkungan, pendidikan, tekanan dari luar dan struktur-struktur psikis dari dalam selalu sudah mengarahkan kita.

Masalah utama manusia adalah bahwa kebebasan selalu terancam oleh kebebasan orang lain. Begitu ada orang lain maka kebebasan kita berkurang (bayangkan jika anda sedang mengintip orang mandi lalu tiba-tiba dipergoki orang lain), bukankan saat itu kebebasan kita dirampas bahkan kita tunduk padanya? Terjadi sekali mungkin dapat dimaklumi, tapi bagaimana bila terjadi dan akan terjadi lagi dan seterusnya? Baginya hanya satu bahasa akhir “kebebasanku terampas”, dan bila bahasa akhir itu dilegalkan, maka apa gerangan yang akan terjadi? Yang terjadi pasti ini, sesamaku adalah lawan, sesamaku adalah korban.

2.     Manusia bebas tapi ironis (Richard Rorty)
Beberapa tokoh filsuf liberal secara khusus Richard Rorty membagi manusia dalam 2 kelompok:

  • Manusia ironis, memandang segala sesuatu bersifat kebetulan, baik kepercayaan maupun keinginan-keinginannya tidak memiliki kepastian. Pada prinsipnya kelompok ini dapat menerima kehadiran orang lain walaupun penerimaan itu dalam ketidakpastian, karena segala sesuatunya dapat berubah. Orang lain dapat menjadi sahabat boleh juga suatu saat musuh. Ia melakukan banyak hal tapi tanpa keyakinan. Oleh karena itu pula ia tidak fanatik dan eksklusif. Selama mampu menyesuaikan diri, orang lain adalah kawan tapi sekaligus ia adalah musuh bila saling bertentangan. Bila ancaman datang orang lain adalah kawan dan bila ancaman berlalu, bukan lawan dan bukan kawan. Ironis memang. 
  • Manusia metafisik (the methaphysician), artinya orang yang memahami baik keadilan, pengetahuan, eksistensi, iman, moralitas dan filsafat mempunyai objektifitas. Solidaritas terhadap orang lain hanya dapat tercipta apabila ada pendasaran metafisik. Pendasaran metafisik terlihat dalam tiga aspek:

1)    Karena kehendak Allah
2)    Manusia adalah makhluk rasional, karena itu harus dihormati
3)    Memahami diri sebagai manusia yang sama dengan sesamanya

Oleh Detlev Hoster membuat perbedaan antara manusia ironis dan manusia metafisik:
Manusia Ironis
Manusia Metafisik
  • Peka terhadap perasaan orang lain.
  • Menghindari sikap menyakiti orang lain.
  • Menyatakan solidaritas atas perasaan keterancaman.
  • Mementingkan prinsip.
  • Mencari alasan mengapa orang tidak boleh melukai sesamanya. 
  • Mencari prinsip dasar berhubungan dengan orang lain.

Manusia ironis solider terhadap keterancaman tanpa menimbang apa dasar hukumnya. Pokoknya semua yang membawa penderitaan manusia adalah sikap yang salah. Di sisi lain manusia metafisik solider terhadap hukum moral. Melanggar hukum moral adalah salah tanpa pernah melihat sisi manusianya.

3.     Manusia bebas namun solider (menurut pemikiran Levinas)
Sebuah pemikiran tentang keberadaan manusia sedemikian rupa dimana orang lain (L’autre = manusia di sekitar kita) betul-betul terjamin. Filsafat ini dipahami sebagai sebuah pesan tentang humanisme orang lain. Posisi pemikiran seperti ini menyebabkan Levinas sering ditempatkan dalam deretan nabi-nabi Israel seperti Amos, Mikha, Yesaya, yang mempermaklumkan kemurkaan Allah terhadap kekerasan hati dan segala kekejaman terhadap orang-orang kecil. Ia mengatakan bahwa hanya dengan berhadapan kepada orang lain saya menjadi saya, saya menemukan identitas saya dan sepenuhnya menemukan keunikan saya. Orang lain itu mambuat saya menjawab “Inilah Aku!” suatu ucapan yang kiranya tidak kebetulan mengingatkan kita akan jawaban nabi Yesaya waktu Tuhan bertanya kepadanya: “siapakah yang Aku utus? – Inilah aku, utuslah aku!” (Yesaya 6:8).

Karena identitas dan keunikan ditemukan ketika berhadapan orang lain, maka ketika kita bertemu orang lain kita bertanggung jawab atas keselamatannya dengan membangun sebuah prinsip dasar: saya berada demi orang lain, bertanggung jawab atasnya, berada di tempatnya untuk menanggung bebannya. Inilah yang disebut prinsip kebaikan dan bukan kejahatan. Ketika kita berhadapan dengan orang lain secara menyeluruh sikap kita dikuasai oleh kebaikan.

Sikap seperti ini dalam etika disebut Etika Penebusan. Sebuah etika fundamental dimana eksistensi manusia diarahkan pada tanggung jawab terhadap sesama dan solider dengan sesama. Dalam konteks ini kewajiban dilakukan bukan karena keyakinan sendiri melainkan karena semata-mata kepada kita dikaruniai sesama yang luhur yang kepadanya kita terikat oleh rasa tanggung jawab.

Implikasi sikap etis seperti ini yakni menjauhkan manusia dari keinginan mengorbankan sesamanya dengan atau tanpa alasan apa pun baik secara langsung maupun tidak langsung. Sesama adalah alam nan luas dimana bibit-bibit kebaikan ditaburkan. Tak ada yang kafir atau sesat, tak juga adat dan budaya apalagi suku, marga dan bukan saudara. Tidak juga si pintar atau si dungu pun si tampan dan si buruk semua adalah taman yang di dalamnya ada bunga kebaikan karena itu harus dihormati dan diselamatkan.

4.     Bebas namun bertanggung jawab (Sigmund Freud)
Moralitas dalam konteks modern berhadapan dengan masalah-masalah kompleks, dimana mengandaikan perasaan spontan tidaklah mencukupi dan memadai. Pilihan antara berbagai alternatif secara moral hanya dapat dibenarkan apabila dapat dipertanggungjawabkan dengan argumentasi objektif dan justru itulah yang didukung oleh etika. Kalau saya seorang dokter, maka tekad “aku tidak mau membuat orang lain merasa terluka” ini tidak memecahkan masalah. Atau apakah saya memenuhi permohonan putri remaja yang karena tekanan sosial meminta saya menggugurkan anaknya yang sudah lima bulan hidup di kandungannya? Ini hanyalah sebagian kecil dari suatu kasus, bebas namun bertanggung jawab. Pada dirinya, manusia sesungguhnya sudah tahu apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah. Dalam bahasa behaviourisme: yang baik dan benar adalah kelakuan yang diperkuat secara positif oleh lingkungan sosial (yang diganjari), buruk dan salah adalah apa yang diperbuat secara negatif (dihukum). Yang diperbuat secara positif adalah apa saja yang mendukung Survival of the Species. Dan yang diperbuat secara negatif adalah apa yang akan mengancamnya. Semua jawaban-jawaban yang bersifat genetif yang berkembang selama evolusi seperti ketertarikan kepada lawan jenis maupun sikap dan penilaian yang kita pelajari dalam membangun budaya yang dianggap pantas dan tidak pantas dilakukan seperti nilai-nilai keamanan, tata tertib, kesehatan, kekayaan atau kebijaksanaan, itu semua berkembang karena mendukung eksistensi manusia.

Faktor yang memilih antara kelakukan yang akan memperkuat dan yang memperlemah adalah seleksi nilai dari kelakuan yang bertanggung jawab. Dalam rangka itu maka manusia harus belajar untuk bersikap sosial dan meminimalkan kepentingan individu dengan demikian memperkuat usaha pelestarian budaya hidup yang bermartabat dalam jangka panjang.

Refleksi
Masalah yang sangat runcing yang sedang kita hadapi sekarang dalam kehidupan bersama adalah keterpisahan. Dipisahkan satu dengan yang lain oleh dinding-dinding pemisah yang tumpang tindih dan silang menyilang, dalam bebagai jenis dan bentuk – entah itu persaingan akademis, strata sosial ekonomi, temperamen, fanatisme sempit (kampung, marga, saudara dll). Sampai pada persaingan menarik perhatian lawan jenis yang oleh Ebiet G. Ade dalam salah satu syair lagunya “berebut tulang tanpa isi”, semua ini telah membuat pikiran kita, kemanusiaan kita bahkan pelayanan kita menjadi sempit dan makin kecil.

Saat ini, pandemi Covid-19 telah menciptakan “keterpisahan” baru yang sifatnya universal, tidak peduli negaranya, tidak peduli latar belakang sosial-ekonominya, bahkan tidak peduli agama atau Tuhannya. Manusia yang tadinya begitu bebas bergerak, bepergian, dan berjumpa dengan orang lain, kini harus “dikandangkan” di rumahnya, bahkan ada yang harus “dikarantina” di tempat-tempat khusus. Di beberapa wilayah, banyak orang yang harus terpisah dengan orang-orang terdekatnya, apalagi dengan pemberlakukan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), atau pelarangan mudik yang ditandai dengan penghentian pelayaran, penerbangan, dan perjalanan jarak jauh, kecuali untuk mengangkut kebutuhan logistik, aparat dengan tugas khusus, dan pebisnis dengan agenda penting. Kita terpisah satu dengan yang lain, bahkan untuk bersalaman pun sebisa mungkin “jangan dilakukan”. Bagaimana dengan cipika-cipiki? No way!

Intinya adalah kebebasan kita dibatasi sedemikian rupa. Apa? Kebebasan macam apakah itu kalau ada pembatasan? Di sudut-sudut kota, di pelosok dan pedalaman, samar-samar terdengar “bisikan keras”, ah di sini virus Corona tidak ada, dia tidak berani masuk ke tempat ini, sudahlah … mari kita tetap beribadah di gereja karena kita hanya takut kepada Tuhan, mari kita mengadakan pertemuan seperti biasa … toh tidak ada aparat yang akan membubarkan kita. Di grup-grup WhatsApp (WAG), di dinding-dinding facebook, secara perlahan dan bergelombang muncul “keributan” karena kebebasan yang dibatasi. “Soal matiku itu urusan saya dan Tuhan …jangan batasi saya untuk memuliakan Tuhan, jangan batasi saya untuk bertemu dengan sahabat-sahabatku, jangan batasi saya untuk bertemu dengan keluargaku”. Tetapi, apakah pernah memikirkan situasi orang lain yang amat rapuh terhadap berbagai jenis penyakit termasuk Covid-19? Apakah pernah memikirkan betapa para petugas medis mempertaruhkan nyawanya bahkan keluarganya hanya untuk menangani pasien Covid-19 yang semakin bertambah setiap hari? Apakah dengan tetap beribadah di rumah ibadah ada jaminan bahwa tidak ada lagi keterpisahan di antara warga jemaat? Ah, yang benar sajalah …

Dalam kondisi seperti ini siapa nabi yang diharapkan menyampaikan nubuat? Siapa saja! Sebab dalam kehidupan yang terpecah dan terpisah-pisah kita diutus menyampaikan berita tentang Kristus yang merangkul dan mempersatukan sehingga dinding-dinding yang memisahkan itu dapat rubuh. Kristus adalah kedamaian kita, mereka yang mengasihi Kristus tentu juga akan saling mengasihi. Dalam situasi seperti ini, kita bebas adanya, sekaligus menyadari bahwa orang lain pun punya kebebasannya sendiri ... di sinilah pentingnya empati sosial, bukan sekadar solidaritas sosial.

Pastor Taylor dari Boston, US, pernah berkata: “Di dunia ini cukup banyak tempat bagi manusia untuk hidup, tetapi seharusnya tidak ada tempat sama sekali bagi dinding-dinding yang memisahkan manusia yang satu dari manusia yang lain”. Oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Efesus 2:15 dikatakan: dalam Yesus orang Yahudi dan Yunani dipersatukan dan oleh persatuan itu lahirlah manusia baru (Yun. Kainos). Yesus juga tidak menghendaki bahwa kita harus menghilangkan identitas diri untuk dapat hidup bersama orang lain. Justru yang diharapkan adalah bahwa melalui pertemuan-pertemuan pribadi (diri-diri) yang beridentitas tersebut akan muncul suatu pembaharuan bagi sikap hidup. Yesus dalam misinya tidak bermaksud mengubah semua orang menjadi satu bangsa melainkan yang dikehendaki adalah agar ada persekutuan di antara semua orang sebagai bagian untuk menyusun satu tubuh yang tersusun rapi. Bagian-bagian itu adalah “saya dan orang lain”.

Walaupun untuk sementara waktu kita harus mengalami keterpisahan karena virus Corona, tetapi tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Roma 8:35, 38-39).



No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...