Oleh: Pdt. Otoriteit Dachi, S.Th., M.Si.
Informasi tentang Artikel
Asli dari artikel ini ditulis oleh Bapak
Pdt. Otoriteit Dachi, S.Th., M.Si., sekitar tahun 2002 yang lalu, lebih dikenal
dengan panggilan Bapak Pdt. Ritter Dachi. Pada saat itu beliau adalah dosen STT
BNKP Sundermann dan diminta untuk menyampaikan ceramah pada seminar kampus yang
pada waktu itu bertempat di aula PLPI BNKP Gunungsitoli. Pada awal bulan Mei tahun
2020, saya menemukan paper ini ketika sedang merapikan buku-buku dan
makalah-makalah di rumah dinas pendeta/dosen di STT BNKP Sundermann. Menurut
saya, tulisan Bapak Ritter Dachi ini cukup menarik di tengah-tengah situasi
sulit saat ini karena pandemi Covid-19, dimana pemerintah RI dan para pemimpin
agama (gereja) meminta masyarakat/jemaat untuk melakukan “social/physical
distancing” (pembatasan sosial atau interaksi fisik). Dengan
kata lain, kebebasan gerak kita sebagai manusia, termasuk kebebasan beribadah
di rumah ibadah, dipertaruhkan dengan kebijakan tersebut. Kebijakan ini menuai
pro-kontra, banyak orang yang begitu yakin dengan imannya sehingga tidak mau
dibatasi oleh pemerintah atau pemimpin agama, katanya mereka tidak takut virus
Corona. Mereka ini tidak memahami akibat buruk yang bisa saja terjadi karena
“kebebasan” mereka yang tidak mau dibatasi itu.
Sementara itu, muncul semacam gelombang
kebingungan di tengah-tengah masyarakat/jemaat, terutama ketika melihat para
pimpinan pemerintah dan agama, yang justru tidak begitu menaati kebijakan yang
mereka buat sendiri, dengan alasan pembagian sembako atau penyaluran bansos,
atau malah pertemuan fisik para pejabat atas nama “penanggulangan pandemi
Covid-19”, padahal sudah ada aplikasi online
yang memungkinkan mereka mengadakan pertemuan secara virtual. Benar bahwa
mungkin saja para pimpinan ini menjaga jarak, atau memakai masker dan mencuci
tangan, tetapi tindakan tersebut justru menimbulkan pertanyaan kaum awam:
“mengapa mereka bebas melakukan pertemuan, sementara kami tidak dibebaskan
bahkan pertemuan ibadah kami di gereja dibubarkan?” Kaum awam dalam segala
keterbatasan pemahamannya, ditambah dengan tekanan hidup yang luar biasa, tidak
“peduli” dengan protokoler kesehatan yang katanya diikuti oleh para pengambil
kebijakan itu. Masyarakat biasa tahunya “pemerintah dan rohaniwan telah
melakukan pertemuan, mereka bebas kita tidak”. Jadi, pokok “kebebasan” akan
menjadi sorotan dalam artikel ini. Saya sendiri hanya akan menyelipkan beberapa
catatan sederhana yang sangat sedikit pada tulisan bapak Dachi ini untuk sebisa
mungkin menyesuaikan dengan konteks sekarang. Sebagai informasi bagi pembaca,
Bapak Pdt. Ritter Dachi telah memberikan izin kepada saya untuk memosting
membagikan (share) artikelnya ini. Beliau
mengatakan: “Memori yg telah lama hilang pak Oka ingatkan kembali ... kalau
dianggap layak silahkan dimuat ...”. Terima kasih pak Dachi. Selamat membaca.
Pengantar
Sebuah wacana yang menarik adalah bagaimana
sesusungguhnya tata pergaulan itu diwujudkan agar tercipta harmoni dalam
kehidupan bersama. Kehidupan bersama hanya berjalan dengan baik apabila ada
tata nilai saling menerima, saling menghargai dan saling memberi tempat. Dalam
dirinya manusia adalah dia yang berada dan tidak pernah dapat menjadi orang
lain. Kehadiran suatu pribadi tidak dimaksudkan menghilangkan diri orang lain
di sekitar kita. Sebab dengan beradanya diri-diri di sekitar kita, diri kita
memperoleh tempat yang sesungguhnya. Bagaimana seharusnya setiap diri
memperoleh tempat menurut porsi yang sesungguhnya dalam tatanan kehidupan
bersama, makalah ini sekadar mengantar kita ke arah itu. Sebab merupakan
tindakan yang kurang etis apabila saya melakukan segalanya untuk mengarahkan
dan yang sekaligus membutakan opini setiap diri yang ada di sini. Mengingat
materinya yang amat sederhana maka kebebasan yang dimaksud saya soroti dari dua
sudut (negatif & positif) menurut pemahaman para filsuf dan etikus sepanjang
sejarah. Baru setelah itu saya mambuat refleksi.
Kebebasan
Manusia
1.
Manusia bebas tapi terpisah (menurut Paul Sartre)
Keberadaan diri (eksistensi) manusia ditentukan oleh dua
dimensi, yaitu:
Pertama, berada pada
dirinya, artinya realitas objek-objek yang oleh Hegel sebut An-Sich-Sein,
artinya benda-benda yang kita hadapi sejauh menyangkut kita merupakan realitas
mati, tertutup, tanpa kesadaran, tanpa makna.
Kedua, berada bagi
dirinya atau Fur-Sich-Sein, yakni ia menyadari diri sebagai yang lain dari objek-objeknya.
“Aku tidak menyadari diri secara langsung, melainkan secara tidak langsung,
yaitu dalam menyadari sesuatu yang lain. Begitu yang lain saya sadari sebagai
yang lain, saya menyadari diri sebagai yang lain dari pada yang lain“. Dari
latar belakang pemikiran filsafat seperti ini nyata adanya keterpisahan satu
pribadi dengan pribadi yang lain juga dengan objek-objek yang lain di sekitar
kita. Oleh Paul Sartre dalam bukunya “L’Existentialisme Est Un Humanisme” tahun
1946 mengatakan “Aku adalah kesadaran diri dan sebagai itu aku berlawanan total
dengan alam objektif, bahkan dengan alam ada – En – Soi (lingkungan yang
bebas). Aku hanya ada sebagai penyangkalan realitas, aku adalah yang bukan
objek, aku tanpa realitas. Aku mempertahankan diri dengan meniadakan yang lain
– ada – Pour – Soi atau dalam arti segala sesuatunya ditiadakan“.
Di sini dapat dikatakan bahwa kebebasan dan autentisitas
adalah nilai satu-satunya yang tertinggi dan mulia. Dengan kebebasan orang bisa
hidup secara autentik dan harkat kemanusiaannya dibangun. Manusia hanya
mencapai eksistensi yang bermutu apabila ia tetap setia pada dirinya sendiri,
bertindak berdasarkan keyakinannya dan bertanggung jawab terhadap segalanya.
Manusia menyangkal diri apabila ia melemparkan tanggung jawabnya terhadap
peranannya dalam dunia dan masyarakat pada faktor-faktor objektif di luarnya.
Ini memang sedang dicari oleh manusia sekarang. Namun saya mau katakan, tidak
betul bahwa kita dalam mengambil sikap terhadap dunia objektif, sama sekali
bebas. Kebebasan seperti itu abstrak semata-mata. Secara konkret, lingkungan,
pendidikan, tekanan dari luar dan struktur-struktur psikis dari dalam selalu
sudah mengarahkan kita.
Masalah utama manusia adalah bahwa kebebasan selalu
terancam oleh kebebasan orang lain. Begitu ada orang lain maka kebebasan kita
berkurang (bayangkan jika anda sedang mengintip orang mandi lalu tiba-tiba
dipergoki orang lain), bukankan saat itu kebebasan kita dirampas bahkan kita
tunduk padanya? Terjadi sekali mungkin dapat dimaklumi, tapi bagaimana bila
terjadi dan akan terjadi lagi dan seterusnya? Baginya hanya satu bahasa akhir “kebebasanku
terampas”, dan bila bahasa akhir itu dilegalkan, maka apa gerangan yang akan
terjadi? Yang terjadi pasti ini, sesamaku adalah lawan, sesamaku adalah korban.
2.
Manusia bebas tapi ironis (Richard Rorty)
Beberapa tokoh filsuf liberal secara khusus Richard
Rorty membagi manusia dalam 2 kelompok:
- Manusia ironis, memandang segala sesuatu bersifat kebetulan, baik kepercayaan maupun keinginan-keinginannya tidak memiliki kepastian. Pada prinsipnya kelompok ini dapat menerima kehadiran orang lain walaupun penerimaan itu dalam ketidakpastian, karena segala sesuatunya dapat berubah. Orang lain dapat menjadi sahabat boleh juga suatu saat musuh. Ia melakukan banyak hal tapi tanpa keyakinan. Oleh karena itu pula ia tidak fanatik dan eksklusif. Selama mampu menyesuaikan diri, orang lain adalah kawan tapi sekaligus ia adalah musuh bila saling bertentangan. Bila ancaman datang orang lain adalah kawan dan bila ancaman berlalu, bukan lawan dan bukan kawan. Ironis memang.
- Manusia metafisik (the methaphysician), artinya orang yang memahami baik keadilan, pengetahuan, eksistensi, iman, moralitas dan filsafat mempunyai objektifitas. Solidaritas terhadap orang lain hanya dapat tercipta apabila ada pendasaran metafisik. Pendasaran metafisik terlihat dalam tiga aspek:
1)
Karena kehendak Allah
2)
Manusia adalah makhluk rasional, karena itu harus dihormati
3)
Memahami diri sebagai manusia yang sama dengan sesamanya
Oleh Detlev
Hoster membuat perbedaan antara manusia ironis dan manusia metafisik:
Manusia Ironis
|
Manusia Metafisik
|
|
|
Manusia
ironis solider terhadap keterancaman tanpa menimbang apa dasar hukumnya.
Pokoknya semua yang membawa penderitaan manusia adalah sikap yang salah. Di
sisi lain manusia metafisik solider terhadap hukum moral. Melanggar hukum moral
adalah salah tanpa pernah melihat sisi manusianya.
3.
Manusia bebas namun solider (menurut pemikiran Levinas)
Sebuah pemikiran tentang keberadaan manusia sedemikian
rupa dimana orang lain (L’autre = manusia di sekitar kita) betul-betul
terjamin. Filsafat ini dipahami sebagai sebuah pesan tentang humanisme orang lain.
Posisi pemikiran seperti ini menyebabkan Levinas sering ditempatkan dalam
deretan nabi-nabi Israel seperti Amos, Mikha, Yesaya, yang mempermaklumkan
kemurkaan Allah terhadap kekerasan hati dan segala kekejaman terhadap
orang-orang kecil. Ia mengatakan bahwa hanya dengan berhadapan kepada orang
lain saya menjadi saya, saya menemukan identitas saya dan sepenuhnya menemukan
keunikan saya. Orang lain itu mambuat saya menjawab “Inilah Aku!” suatu ucapan
yang kiranya tidak kebetulan mengingatkan kita akan jawaban nabi Yesaya waktu
Tuhan bertanya kepadanya: “siapakah yang Aku utus? – Inilah aku, utuslah aku!”
(Yesaya 6:8).
Karena identitas dan keunikan ditemukan ketika
berhadapan orang lain, maka ketika kita bertemu orang lain kita bertanggung
jawab atas keselamatannya dengan membangun sebuah prinsip dasar: saya berada
demi orang lain, bertanggung jawab atasnya, berada di tempatnya untuk
menanggung bebannya. Inilah yang disebut prinsip kebaikan dan bukan kejahatan.
Ketika kita berhadapan dengan orang lain secara menyeluruh sikap kita dikuasai oleh
kebaikan.
Sikap seperti ini dalam etika disebut Etika Penebusan.
Sebuah etika fundamental dimana eksistensi manusia diarahkan pada tanggung
jawab terhadap sesama dan solider dengan sesama. Dalam konteks ini kewajiban
dilakukan bukan karena keyakinan sendiri melainkan karena semata-mata kepada
kita dikaruniai sesama yang luhur yang kepadanya kita terikat oleh rasa
tanggung jawab.
Implikasi sikap etis seperti ini yakni menjauhkan
manusia dari keinginan mengorbankan sesamanya dengan atau tanpa alasan apa pun
baik secara langsung maupun tidak langsung. Sesama adalah alam nan luas dimana
bibit-bibit kebaikan ditaburkan. Tak ada yang kafir atau sesat, tak juga adat
dan budaya apalagi suku, marga dan bukan saudara. Tidak juga si pintar atau si
dungu pun si tampan dan si buruk semua adalah taman yang di dalamnya ada bunga
kebaikan karena itu harus dihormati dan diselamatkan.
4.
Bebas namun bertanggung jawab (Sigmund Freud)
Moralitas dalam konteks modern berhadapan dengan
masalah-masalah kompleks, dimana mengandaikan perasaan spontan tidaklah
mencukupi dan memadai. Pilihan antara berbagai alternatif secara moral hanya dapat
dibenarkan apabila dapat dipertanggungjawabkan dengan argumentasi objektif dan
justru itulah yang didukung oleh etika. Kalau saya seorang dokter, maka tekad “aku
tidak mau membuat orang lain merasa terluka” ini tidak memecahkan masalah. Atau
apakah saya memenuhi permohonan putri remaja yang karena tekanan sosial meminta
saya menggugurkan anaknya yang sudah lima bulan hidup di kandungannya? Ini
hanyalah sebagian kecil dari suatu kasus, bebas namun bertanggung jawab. Pada
dirinya, manusia sesungguhnya sudah tahu apa yang baik dan buruk, apa yang
benar dan salah. Dalam bahasa behaviourisme: yang baik dan benar adalah
kelakuan yang diperkuat secara positif oleh lingkungan sosial (yang diganjari),
buruk dan salah adalah apa yang diperbuat secara negatif (dihukum). Yang diperbuat secara
positif adalah apa saja yang mendukung Survival
of the Species. Dan yang diperbuat secara negatif adalah apa yang akan
mengancamnya. Semua jawaban-jawaban yang bersifat genetif yang berkembang
selama evolusi seperti ketertarikan kepada lawan jenis maupun sikap dan
penilaian yang kita pelajari dalam membangun budaya yang dianggap pantas dan
tidak pantas dilakukan seperti nilai-nilai keamanan, tata tertib, kesehatan,
kekayaan atau kebijaksanaan, itu semua berkembang karena mendukung eksistensi
manusia.
Faktor yang memilih antara kelakukan yang akan
memperkuat dan yang memperlemah adalah seleksi nilai dari kelakuan yang
bertanggung jawab. Dalam rangka itu maka manusia harus belajar untuk bersikap
sosial dan meminimalkan kepentingan individu dengan demikian memperkuat usaha
pelestarian budaya hidup yang bermartabat dalam jangka panjang.
Refleksi
Masalah yang sangat runcing yang sedang kita hadapi
sekarang dalam kehidupan bersama adalah keterpisahan.
Dipisahkan satu dengan yang lain oleh dinding-dinding pemisah yang tumpang
tindih dan silang menyilang, dalam bebagai jenis dan bentuk – entah itu
persaingan akademis, strata sosial ekonomi, temperamen, fanatisme sempit
(kampung, marga, saudara dll). Sampai pada persaingan menarik perhatian lawan
jenis yang oleh Ebiet G. Ade dalam salah satu syair lagunya “berebut tulang
tanpa isi”, semua ini telah membuat pikiran kita, kemanusiaan kita bahkan
pelayanan kita menjadi sempit dan makin kecil.
Saat ini, pandemi Covid-19 telah menciptakan
“keterpisahan” baru yang sifatnya universal, tidak peduli negaranya, tidak
peduli latar belakang sosial-ekonominya, bahkan tidak peduli agama atau
Tuhannya. Manusia yang tadinya begitu bebas bergerak, bepergian, dan berjumpa dengan
orang lain, kini harus “dikandangkan” di rumahnya, bahkan ada yang harus
“dikarantina” di tempat-tempat khusus. Di beberapa wilayah, banyak orang yang
harus terpisah dengan orang-orang terdekatnya, apalagi dengan pemberlakukan
kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), atau pelarangan mudik yang
ditandai dengan penghentian pelayaran, penerbangan, dan perjalanan jarak jauh,
kecuali untuk mengangkut kebutuhan logistik, aparat dengan tugas khusus, dan
pebisnis dengan agenda penting. Kita terpisah satu dengan yang lain, bahkan
untuk bersalaman pun sebisa mungkin “jangan dilakukan”. Bagaimana dengan cipika-cipiki?
No way!
Intinya adalah kebebasan kita dibatasi sedemikian
rupa. Apa? Kebebasan macam apakah itu kalau ada pembatasan? Di sudut-sudut
kota, di pelosok dan pedalaman, samar-samar terdengar “bisikan keras”, ah di
sini virus Corona tidak ada, dia tidak berani masuk ke tempat ini, sudahlah …
mari kita tetap beribadah di gereja karena kita hanya takut kepada Tuhan, mari
kita mengadakan pertemuan seperti biasa … toh
tidak ada aparat yang akan membubarkan kita. Di grup-grup WhatsApp (WAG), di
dinding-dinding facebook, secara perlahan dan bergelombang muncul “keributan”
karena kebebasan yang dibatasi. “Soal matiku itu urusan saya dan Tuhan …jangan
batasi saya untuk memuliakan Tuhan, jangan batasi saya untuk bertemu dengan
sahabat-sahabatku, jangan batasi saya untuk bertemu dengan keluargaku”. Tetapi,
apakah pernah memikirkan situasi orang lain yang amat rapuh terhadap berbagai
jenis penyakit termasuk Covid-19? Apakah pernah memikirkan betapa para petugas
medis mempertaruhkan nyawanya bahkan keluarganya hanya untuk menangani pasien
Covid-19 yang semakin bertambah setiap hari? Apakah dengan tetap beribadah di
rumah ibadah ada jaminan bahwa tidak ada lagi keterpisahan di antara warga
jemaat? Ah, yang benar sajalah …
Dalam kondisi seperti ini siapa nabi yang diharapkan
menyampaikan nubuat? Siapa saja! Sebab dalam kehidupan yang terpecah dan
terpisah-pisah kita diutus menyampaikan berita tentang Kristus yang merangkul
dan mempersatukan sehingga dinding-dinding yang memisahkan itu dapat rubuh. Kristus
adalah kedamaian kita, mereka yang mengasihi Kristus tentu juga akan saling
mengasihi. Dalam situasi seperti ini, kita bebas adanya, sekaligus menyadari
bahwa orang lain pun punya kebebasannya sendiri ... di sinilah pentingnya
empati sosial, bukan sekadar solidaritas sosial.
Pastor Taylor dari Boston, US, pernah berkata: “Di dunia
ini cukup banyak tempat bagi manusia untuk hidup, tetapi seharusnya tidak ada
tempat sama sekali bagi dinding-dinding yang memisahkan manusia yang satu dari
manusia yang lain”. Oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Efesus 2:15
dikatakan: dalam Yesus orang Yahudi dan Yunani dipersatukan dan oleh persatuan
itu lahirlah manusia baru (Yun. Kainos). Yesus juga tidak menghendaki bahwa
kita harus menghilangkan identitas diri untuk dapat hidup bersama orang lain.
Justru yang diharapkan adalah bahwa melalui pertemuan-pertemuan pribadi
(diri-diri) yang beridentitas tersebut akan muncul suatu pembaharuan bagi sikap
hidup. Yesus dalam misinya tidak bermaksud mengubah semua orang menjadi satu
bangsa melainkan yang dikehendaki adalah agar ada persekutuan di antara semua
orang sebagai bagian untuk menyusun satu tubuh yang tersusun rapi.
Bagian-bagian itu adalah “saya dan orang lain”.
Walaupun untuk sementara waktu kita harus mengalami
keterpisahan karena virus Corona, tetapi tidak ada yang dapat memisahkan kita
dari kasih Kristus. “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?
Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan,
atau bahaya, atau pedang? Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik
malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun
yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah,
ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih
Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Roma 8:35, 38-39).
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?