Wednesday, May 6, 2020

MENGELOLA KONFLIK MENJADI PEREKAT HUBUNGAN DENGAN SESAMA


Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si.[1]


Pengantar


Dua minggu yang lalu, kita sudah sharing tentang “Kekuatan Kata-kata” (The Power of Words). Semoga teman-teman masih mengingatnya dan terus menerus berefleksi perihal kekuatan kata-kata tersebut. Kata-kata pada satu sisi memiliki kekuatan yang konstruktif (“positif”), tetapi pada sisi lain juga memiliki kekuatan yang destruktif (“negatif”). Masih ingat kan ungkapan “Mulut-mu Harimau-mu!” Seandainya kita diberi pilihan, dan memang kita selalu memiliki pilihan, maka saya yakin bahwa kita memilih untuk menggunakan kata-kata itu untuk hal-hal yang membangun, baik diri sendiri maupun sesama. Idealnya memang begitu! Tetapi seringkali yang ideal itu menjadi tidak ideal lagi ketika kita saling kontak dan berinteraksi; muncullah konflik, dan hubungan satu dengan yang lain menjadi retak. Masyarakat Nias sendiri secara filosofis memandang konflik itu dengan lebih positif! Ada sebuah “amaedola”  Nias yang sangat terkenal: “Hulö fatiti nono-gara, tobali fangalösö” (maknanya: konflik menjadi perekat hubungan dengan sesama). Sejajar dengan amaedola  ini, ada satu lagi amaedola Nias yang biasanya diterapkan untuk memperbaiki suatu hubungan yang retak, yaitu “Asala na gadulo manu ba zosou’a ba fatiti”. Maka, dalam upaya “fangalösö nono-gara si fatiti” dimaksud, dan dalam upaya “menjaga” supaya “adulo si fatiti ba zosou’a”  tidak sampai “retak-retak” dan hancur, diskusi kita malam ini diawali dan fokus pada beberapa hal penting seputar konflik, dan dari sana “perjalanan” kita lanjutkan dengan beberapa refleksi dalam upaya memperbaiki hubungan yang retak dan membangun hubungan dengan sesama.

Makalah ini lebih bersifat “ilmiah populer”, itulah sebabnya – kalau saya boleh meminjam istilah dosen saya dulu – tidak banyak CATATAN KAKI, yang ada hanyalah CATATAN HATI. Diakui pula bahwa tulisan ini tidak akan mampu menjawab semua persoalan-persoalan seputar topik yang kita diskusikan, karena saya sendiri sadar bahwa “kata-kata memang banyak berbicara, tetapi tidak dapat mengungkapkan semua hal”. Mana na zalawa, mana na gere, fakaole li na humede. 

Konflik: Tidak dapat Dielakkan

Konflik merupakan fenomena normal dalam kehidupan manusia. Tidak mungkin menjadi manusia tanpa konflik. Menjadi manusia berarti menjalani atau mengalami konflik. Konflik itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan! Di mana saja dua orang atau lebih akan berkumpul dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan besar akan terjadi konflik. Dalam kehidupan bersama pasti ada gesekan-gesekan, yang bisa berkembang menjadi konflik, dan bisa menghasilkan keretakan hubungan. Cobalah berefleksi sejenak pada konflik yang ada dalam diri masing-masing dan dari situ pikirkanlah konflik yang terjadi dalam keluarga, kost, asrama, masyarakat, gereja, kampus, bangsa, dan dunia yang luas.

Ada banyak konflik dan banyak juga konsekuensinya seperti: perceraian, pertengkaran/perkelahian di tempat kerja atau di kampus, pertengkaran anak-anak dengan orangtuanya, perpecahan gereja, kegagalan bisnis, perang, amarah dan kebencian; perpecahan dalam kelompok, keluarga, putus cinta, dan masih banyak lagi. Konflik datang dengan berbagai cara. Misalnya ketika kita menyalakan TV, beberapa informasi tentang konflik dunia memasuki rumah (tempat) dan hati kita. Kita bisa menyaksikan perang antar negara, antar golongan, antar ras, para pekerja (buruh) yang melawan manajemen, penculikan, terorisme, dll. Semuanya ini memengaruhi kita secara emosional dan hubungan kita masing-masing. Malah, masyarakat Indonesia yang melankolis, sangat menggandrungi sinetron keluarga & percintaan, dan konflik yang didramatisir dalam sinetron tersebut SANGAT mempengaruhi emosi penggemarnya.

Apakah itu Konflik?

Konflik adalah perselisihan, ketidakcocokkan, atau kesalahpahaman antara dua pihak atau lebih; tanpa kedua pihak itu tidak akan ada konflik. Konflik merupakan tanda bahwa pihak-pihak yang berbeda ideologi, etika, nilai-nilai, … ingin menempati atau menggunakan satu tempat/ruang pada saat yang sama. Jadi, di sini ada tarik-menarik kepentingan atau kebutuhan, dan masing-masing pihak mengklaim dirinyalah yang berada di sisi yang “benar”, yang paling berhak, dlsb. Kalau ada reaksi dari pihak lain, maka muncullah konflik.

“Bagaimana bisa terjadi perang jika satu pihak menyatakan perang dan pihak lain tidak menunjukkan tanda-tanda untuk berperang? Atau, jika perang dinyatakan dan hanya satu pihak yang menunjukkan tanda-tanda perang?” Sebenarnya, tidak ada perang! 

Jadi, KONFLIK : SALING MENENTANG/MELAWAN (RESISTANCE VERSUS RESISTANCE).

Mengapa Ada Konflik?

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, tetapi alasan-alasan utama yang bisa melahirkannya antara lain: perbedaan sikap, nilai-nilai, etika, distribusi kekayaan dengan cara yang buruk, kebutuhan, standar, moral, dan keinginan. Alasan-alasan lain misalnya ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketidakjujuran (unfairness), ketidakbenaran, dll. 

Tahap-tahap Konflik

Biasanya konflik terjadi melalui tahap-tahap berikut:

  1. Ketidaksetujuan/Perbedaan Pendapat (Disagreement). Pada tahap ini sangat penting mengidentifikasikan apakah “konflik” itu real atau hanya imajiner saja.
  2. Pertentangan (Confrontation). Pada tahap ini setiap pihak melibatkan pendiriannya, dan kadang-kadang perasaannya.
  3. Eskalasi/Peningkatan (Escalation). Ancaman dapat menjadi nyata, bisa berupa kekerasan verbal atau bisa juga menjadi kekerasan fisik.
  4. Deeskalasi/Penurunan (Descalation). Pada tahap ini kekerasan fisik berkurang sementara setiap pihak berusaha duduk bersama membicarakan masalah yang terjadi (table talk), membangun kepercayaan walaupun masih hati-hati; perlu adanya juga pihak ketiga (mediator) di antara mereka.
  5. Solusi (Solution). Solusi dapat tercapai setelah pembicaraan tadi walaupun ada kemungkinan salah satu atau pun masing-masing pihak tidak puas akan hasil pembicaraan itu. Kadang-kadang satu pihak dapat menarik kembali tuntutannya bukan karena merasa puas melainkan demi menghemat waktu (saving time) atau untuk mempertahankan kesatuan/keutuhan dalam keluarga, masyarakat, kelompok atau bangsa. Kadang-kadang solusi tercapai ketika ada ancaman, janji-janji, atau suara dari pihak penguasa. Solusi bisa juga tercapai karena salah satu pihak berprinsip “If you can’t fight them, join them.”  Yang kedua terakhir ini biasanya menjadi seperti “api dalam sekam”, “bom waktu”.
Tipe-tipe Konflik

Para ahli sosiologi mengategorikan konflik dalam dua kelompok besar:

  1. Konflik Nyata (Real Conflict), mulai dari perbedaan kebutuhan, prioritas, tujuan, metode, etika, nilai-nilai, keingingan, dsb. 
  2. Konflik Imajiner atau Tidak Nyata (Imaginary/Unreal Conflict), muncul karena ketidaktahuan, kesilafan (error), tradisi, prasangka, sistem yang tidak berfungsi secara normal (dysfunctional system), kekalahan dan kemenangan dalam suatu kompetisi, dll.
Konflik nyata dapat ditangani (dikelola) atau dikontrol dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang akan dipaparkan nanti, dan konflik imajiner dapat juga berakibat pada destruksi (perusakan) yang tak ada gunanya walaupun bisa dicegah, dikontrol, dan ditangani.

Efek Negatif dari Konflik

  1. Bisa menjadi sesuatu yang buruk karena dapat merusak banyak hal walaupun tidak ada jalan pintas (shortcut) untuk menghindarinya.
  2. Tidaklah mudah untuk menghentikan atau memadamkannya karena konflik itu dapat meluas dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, dan bisa bergeser ke konflik yang baru sehingga konflik aslinya (asalnya) bisa saja terlupakan. Jika asal mula (akar) konflik tidak lagi diingat (karena dilupakan begitu saja), maka penanganan konflik itu sulit dilakukan.
  3. Tidaklah mudah untuk menaksir “harga yang harus dibayar” atas konflik yang terjadi karena akibat-akibatnya tidak bisa diprediksi dan sulit untuk ditangani. Sekitar sepuluh tahun Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya berperang dengan Taliban tanpa akhir yang pasti, sementara biaya yang sudah dikeluarkan sangat besar, termasuk nyawa manusia.
  4. Ketika konflik meluas, dapat menelan kekayaan dan bahkan orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung.
  5. Konflik bisa melelahkan, jadi sangat penting untuk sebisa mungkin hidup dalam perdamaian dengan semua orang (Roma 12:18).
Efek Positif dari Konflik 
Konflik itu berisiko, dan oleh karena itu banyak orang yang cenderung melihat risiko (sisi negatif) dari konflik, sehingga kadang-kadang tidak bisa melihat (terlewatkan begitu saja) sisi positifnya. Berikut beberapa sisi positif dari konflik:

  1. Ada benarnya bahwa kita tidak bisa menikmati intimasi (keakraban) atau cinta-kasih atau relasi yang dalam tanpa mengalami konflik. Sulit memang memisahkan cinta-kasih dengan konflik. Anak-anak yang bertumbuh dalam keluarga yang tidak menyembunyikan konfliknya dan penyelesaian serta pengampunan satu sama lain, akan bisa menangani konflik nantinya dengan lebih baik dalam kehidupan mereka, memiliki relasi yang baik dan bisa meningkatkan rasa percaya diri. Anak-anak yang seperti ini bisa menyelesaikan masalah/konflik secara lebih baik dengan menggunakan pola orangtua mereka sebagai model.
  2. Mengalami konflik dapat mendorong pertumbuhan, keingintahuan, keterbukaan dan ketegasan (assertiveness), “pertahanan diri”, dan bisa meningkatkan produktivitas.
  3. Dalam dunia ekonomi ada pemahaman bahwa perkembangan industri merupakan hasil dari konflik antara asosiasi pekerja dan pengusaha. Bahkan pertumbuhan dan perluasan gereja tidak dapat dipisahkan dari konflik, mis. reformasi Martin Luther pada abad ke-16 M.
  4. Profesor Richard Walton dari Fakultas Ekonomi (Bisnis) Universitas Harvard mengatakan bahwa: (a) Konflik internal yang seimbang dapat memperluas dan meningkatkan produktivitas dalam dunia kerja; (b) Konflik dapat memperluas atau meningkatkan kreativitas individu atau sistem karena perbedaan ide atau teori. Mis. sistem multiparty; (c) Konflik dapat meningkatkan pemahaman individu karena selama konflik setiap orang harus menegaskan pendirian dan gagasan-gagasannya secara argumentatif; (d) Konflik dapat membuat setiap pihak untuk mendapatkan identitas yang terang dan jelas; (e) Konflik di antara individu-individu dapat menolong mereka untuk menangani konflik di dalam diri mereka sendiri.
Oleh karena sisi positif dan negatif dari konflik tidak bisa diabaikan begitu saja, tugas kita adalah menangani konflik dengan lebih terampil supaya sebisa mungkin mengurangi (bukan menghilangkan) dampak negatifnya sekaligus meningkatkan dampak positifnya. 

Mengontrol dan Menangani Konflik: Memperbaiki Hubungan yang Retak, Membangun Hubungan Dengan Sesama

Sangatlah penting untuk mengontrol dan menangani konflik walaupun tidak mudah. Dengan mengontrol dan menangani konflik, maka kita sedang memperbaiki hubungan kita yang retak dengan sesama, dan pada saat yang sama kita juga membangun relasi yang lebih baik dengan mereka. Beberapa pendekatan praktis berikut bisa diterapkan:

  1. “Pindahkanlah” penghalang jalan dalam komunikasi, terutama jika pembicara sangat membutuhkannya. Jangan mengontrol, mengancam, menghakimi, saling mengatai, dan berbagai penghalang lainnya, karena semuanya itu bisa menambah garam pada luka-luka (no nasa mesokho ba ölau nasa nasio).
  2. Dengarkan dengan penuh perhatian dan berefleksilah pada seseorang yang sedang membutuhkan. Hal ini bisa mengurangi perasaan-perasaan negatif dan cukup menolong dalam penyelesaian masalah yang “jika tidak diatasi segera” bisa menjadi masalah besar.
  3. Mempelajari dan melatih diri untuk lebih tegas dan terbuka (assertion skill) yang bisa  menolong setiap orang mendapatkan hak dan kebutuhannya tanpa ada paksaan. Contoh: “Saya mau istirahat (tidur) sebentar, dan saya sangat berterima kasih kalau Anda bisa menyesuaikan volume radio itu”. Atau “Saya sangat senang apabila Anda merokok di luar ruangan belajar kita”.
  4. Peka-lah terhadap perasaan orang lain yang bisa menimbulkan konflik. Belajarlah untuk membaca situasi.
  5. Keluarkanlah “konflikmu” tanpa memancing amarah orang lain. Ekspresikan perasaanmu tanpa mengasari orang lain.
  6. Peliharalah kasihmu terhadap orang lain (people) daripada hal-hal lain (things) sehingga bisa mengurangi kemungkinan terjadinya konflik.
  7. Ketekunan dan penerimaan orang lain tanpa syarat juga sangat menolong dalam upaya mengurangi konflik.
Dua proses komunikasi yang memengaruhi relasi kita:

  1. Penyingkapan-diri, pikiran, ide, dan perasaan.
  2. Mencari umpan-balik (feedback) dari sesama.

Tanda-tanda penggunaan keduanya:

  1. Keterusterangan (Candor)
  2. Keterbukaan (Openness)
  3. Saling menghargai (Mutual respect)

Membangun Hubungan Dengan Sesama: Beberapa Catatan Refleksi


  1. Hubungan kita dengan sesama merupakan gambaran hubungan kita dengan diri sendiri.
  2. Hubungan dengan seseorang mencakup bagaimana kita berpikir tentang seseorang itu dan bagaimana kita meyakini (menduga) dia berpikir tentang kita.
  3. Kita selalu melihat hubungan kita melalui lensa kesadaran kita sendiri.
  4. Ketika kita bisa memahami sifat dasar subjektif dari suatu hubungan, maka akan lebih mudah bagi kita untuk berelasi dengan orang lain.
  5. Kita bisa mengubah atau memperbaiki hubungan kita dengan orang lain dengan mengubah dan memperbaiki hubungan dengan diri sendiri.
  6. Kita bisa memperbaiki hubungan internal kita, seperti rasa percaya diri, dengan memperbaiki hubungan kita dengan orang lain. 
  7. Cara yang luar biasa untuk mempercepat pertumbuhan personal kita adalah dengan membangun hubungan dengan orang lain.  Maka, semakin kita berinteraksi dengan orang lain, kita juga semakin belajar tentang diri sendiri.
  8. Nilai sejati dari relasi manusia adalah bahwa sesama kita bertindak sebagai tongkat penunjuk bagi terwujudnya kasih tanpa syarat.
  9. Ketika kita mengampuni, menerima, dan mengasihi semua bagian dari hidup kita, maka kita juga bisa lebih mudah mengampuni, menerima, dan mengasihi sesama kita sebagaimana mereka adanya.
  10. Semakin kita memperbaiki hubungan internal kita dengan pikiran, keyakinan (beliefs), dan tujuan kita, maka hubungan kita dengan sesama semakin harmonis dan dipenuhi dengan kasih.
  11. Peliharalah kasih tak bersyarat itu dalam kesadaran kita, maka kita akan melihat kasih itu dalam kenyataan.


Akhirulkalam

Seorang filsuf Yahudi kuno, Hillel, pernah berkata:
If I am not for myself, who will be for me? 
If I am for myself only, what am I? 
If not now – When?

“I am because We are”. Kita tidak tinggal/hidup di sebuah pulau di mana tidak ada orang lain; kita hidup bersama dengan orang lain, karenanya kita butuh relasi yang baik, dan pada saat yang sama tetap menjadi diri kita sendiri. Orang yang tingkat kesadaran dirinya tinggi akan mampu berelasi dan berkomunikasi dengan baik dengan sesamanya. Pertumbuhan yang baik adalah dalam kerangka kebersamaan dengan menghargai dan menerima satu sama lain.

Beberapa kalimat kearifan lokal Nias (sebagai bahan perenungan):

  • Tenga hole wiga, ha hole lae; nihuta wato tabali’ö nikhoi gi’iwa (bukan sebaliknya ya), maksudnya adalah selalu berusaha untuk tidak membesar-besarkan masalah.
  • Labagibagi wa’aukhu, lafaosa wogikhi manu, akha fagõlõgõlõ worasoi na afõkhõ, akha fagõlõgõlõ worasoi na ami, maksudnya adalah penting untuk berbagai, entah suka maupun duka, supaya semua dapat merasakannya.
  • Talimbo gae talimbo gõda talimbo nihalõ nawõda; fagõlõgõlõ tõ gõda ba sõkhi sibai bakha dõdõda wamaigimaigi awõda, ba lõ tõ fagõlõgõlõ gõda zagai ma’ae guli hõrõda wamaigimaigi awõda, maksudnya adalah berupaya untuk bertindak adil dan proporsional.


Problems - great or small, to some extent, affect relationships;

We are created not for isolation but for relationships




[1] Materi aslinya pernah disampaikan sebagai bahan diskusi pada pertemuan Grup Diskusi IKAONI, Salatiga, Minggu, 30 Oktober 2011.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...