Monday, May 11, 2020

Mewartakan Kerajaan Allah dalam Konteks Bencana Alam


Oleh: Pdt. Alokasih Gulö, M.Si[1]


Pendahuluan
“Karena itu, berjaga-jagalah,
sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya”
(Mat. 25:13)

Orang Kristen yang taat dan rajin baca Alkitab tentu sangat tahu bahwa teks di atas terkait erat dengan kedatangan kerajaan Allah, tidak ada keraguan kita tentang itu. Persoalannya ialah teks tersebut (dan teks-teks lain yang sejajar dengannya) seringkali dipahami hanya dalam kaitannya dengan kedatangan Yesus kembali. Maka, jangan heran kalau banyak orang Kristen yang membayangkan kehidupan surgawi kelak ketika berbicara tentang kerajaan Allah ini. Itulah sebabnya persiapan yang dilakukan dalam rangka “berjaga-jaga” tersebut lebih kepada kehidupan rohani, apalagi kalau dibumbui dengan janji kehidupan kekal yang tempatnya bukan di dunia ini.
Pemahaman seperti di atas justru mengurangi makna kerajaan Allah itu, sebab Yesus sendiri dalam pemberitaan-Nya tentang kerajaan Allah selalu memberi penekanan pada masa kini di dunia ini. Dengan demikian pewartaan gereja tentang kerajaan Allah dalam berbagai konteks pun menjadi sesuatu yang amat penting. Salah satu konteks kita adalah bencana alam yang seringkali terjadi di luar perkiraan manusia.

Indonesia, Negeri Rawan Bencana Alam
Indonesia merupakan negara yang rawan bencana alam, meliputi banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, kekeringan, dll. Hal ini dipengaruhi oleh posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak pada pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.[2] Indonesia juga memiliki sabuk vulkanik (volcanic arc), pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.[3] Selain itu, sebagai negara kepulauan, Indonesia dikelilingi oleh lautan yang sebagian bergelombang ganas, curah hujan yang variatif, ditambah dengan perubahan iklim yang ekstrem. Hal inilah semua yang membuat Indonesia menjadi negara yang paling rawan dihantam oleh bencana alam.
Dengan demikian, Indonesia sejak dulu memang rawan bencana alam. Bencana alam ini terjadi di berbagai tempat di Indonesia dan menimbulkan korban serta dampak yang tidak sedikit. Merujuk pada data dan informasi bencana di Indonesia yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga bulan Mei 2017, kejadian bencana alam, korban dan dampaknya di Indonesia cukup tinggi. Data dan informasi dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1
Jumlah Kejadian Bencana, Korban, dan Dampaknya sampai bulan Mei 2017[4]
      Data di atas menunjukkan bahwa bencana alam dalam berbagai bentuk telah mengakibatkan dukacita yang mendalam bagi mereka yang anggota keluarganya meninggal dunia dan hilang, terjadinya pengungsian besar-besaran, kerusakan tempat tinggal (perumahan), dan kerusakan fasilitas umum. Bencana alam ini sebenarnya bukan hanya sekadar peristiwa alam, tetapi juga sebagai tragedi kemanusiaan karena dapat mengakibatkan trauma psikososial dan ekologi yang jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan penderitaan berkepanjangan di masyarakat, baik secara fisik, spiritual, mental dan sosial.
      Kita memang harus menerima fakta di atas bahwa kita tinggal di negeri yang rawan bencana alam. Namun, ini bukan berarti bahwa kita hanya diam saja, menerimanya sebagai “takdir” yang tidak bisa diubah dan disikapi dengan baik. Pengalaman empiris kita akan negeri yang rawan bencana alam ini seharusnya menyadarkan kita tentang pentingnya kesiapan kita semua untuk mampu menghadapi dan menanggulanginya, apalagi sebagian bencana alam tersebut juga disebabkan oleh ulah manusia sendiri.

Tanggapan Gereja
Ketika bencana alam terjadi, gereja tentunya berduka, menangis, dan bahkan trauma! Dalam situasi yang seperti itu, gereja-gereja kita berusaha menenangkan jemaat dan masyarakat yang berada dalam krisis, umumnya dengan siraman rohani melalui doa, nyanyian pertobatan dan penyerahan diri kepada Tuhan, diikuti dengan pencerahan bahwa semuanya itu adalah kehendak Tuhan yang harus kita terima. Pada titik tertentu, gereja bertindak sebagai pembela Allah terutama ketika memperhadapkan penderitaan manusia dengan keadilan Allah. Akibatnya adalah jemaat/masyarakat akan menjadi korban untuk kedua kalinya, blaming the victim – korban sendiri dipersalahkan dan dipermalukan.[5] Hal ini sebenarnya menunjukkan ketidakberdayaan gereja-gereja kita dalam menanggapi bencana alam dengan segala konsekuensinya itu.
Di beberapa tempat, gereja terlibat dalam pemberian/penyaluran bantuan kepada korban bencana alam. Tindakan gereja ini patut diapresiasi, terutama selama masa-masa darurat, dimana korban bencana alam sangat membutuhkan kehadiran dan uluran tangan orang lain. Persoalannya adalah bahwa tindakan gereja kita umumnya masih bersifat sporadis dan kurang terencana. Orang-orang yang terlibat dalam pemberian/penyaluran bantuan tersebut juga melaksanakan tugas lebih karena semangat pelayanan kemanusiaan, dan umumnya mereka belum mendapatkan pelatihan khusus penanggulangan situasi darurat bencana alam. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan gereja-gereja kita dalam menghadapi bencana alam, padahal dari waktu ke waktu Indonesia selalu dihantam oleh berbagai bencana alam seperti terungkap pada data BNPB tadi. Ketidaksiapan ini misalnya terlihat dari penyaluran bantuan yang kurang terarah, dan menimbulkan banyak keluhan dari warga jemaat, dan bahkan melahirkan konflik sosial di tengah-tengah jemaat dan masyarakat.
Demikian juga pasca masa-masa darurat, gereja-gereja kita umumnya melakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali kehidupan warganya, termasuk memfasilitasi jemaat supaya mendapatkan bantuan pembangunan rumah dan gedung gereja dari berbagai lembaga kemanusiaan. Tindakan ini merupakan langkah positif dalam mewujudkan pelayanan gereja yang holistik, namun langkah ini umumnya lebih pada aras sinodal, sedangkan pada aras jemaat belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya konflik yang berujung pada perpindahan warga jemaat dengan alasan bantuan rumah dan gedung gereja yang diperebutkan sementara jemaat setempat tidak dapat berbuat banyak.
Masih banyak lagi tindakan yang telah dilakukan oleh gereja-gereja kita di Indonesia dalam menanggapi berbagai bencana alam. Sebagian memang telah memiliki program penanggulangan bencana yang terencana dengan baik, tetapi sebagian besarnya belum menunjukkan kesiapan yang matang dalam menghadapinya. Itulah sebabnya gereja-gereja kita kelabakan ketika terjadi bencana alam, dan lagi-lagi pelayanan yang diberikan masih tradisional melalui ibadah seremonial, doa dan pemberitaan Firman Tuhan yang seringkali hanya sekadar penghiburan dan penguatan saja tanpa diikuti dengan upaya-upaya konkret penanggulangan bencana alam tersebut.
Tentu banyak faktor yang membuat tanggapan gereja-gereja kita masih kurang menggembirakan, salah satunya adalah tradisi teologi pietisme yang masih mendominasi gereja-gereja kita. Sebagian besar gereja-gereja di Indonesia lahir sebagai buah pekabaran Injil lembaga misi dari benua Eropa yang secara umum memiliki latar belakang teologi pietisme, dan mereka datang ke Indonesia dengan tradisi teologi itu. Tradisi inilah yang seterusnya diwariskan kepada kita, bahkan roh teologi itu masih terasa sampai sekarang. Implikasinya adalah bahwa dalam banyak aspek gereja-gereja di Indonesia dicoraki oleh jiwa dan semangat pietisme yang lebih mementingkan kesalehan hidup dan keselamatan di akhirat, sedangkan realitas hidup sehari-hari tidak mendapat perhatian serius.
Warisan teologi ini tentu menjadi ciri khas tersendiri bagi gereja-gereja kita, namun sebaliknya menjadi persoalan serius kalau masuk dalam wujud dualisme jasmani vs rohani. Hal ini akan semakin mudah terjadi kalau masih ada warisan pola pikir dualistik tersebut dalam masyarakat kita, yang salah satunya memisahkan urusan surgawi dengan urusan duniawi. Maka, warisan teologi pietisme yang “menjauhkan” diri dari persoalan nyata masyarakat, ditambah dengan pola pikir dualistik ini, melengkapi “keterpisahan” teologi dengan masalah-masalah aktual masyarakat.

Kerajaan Allah dalam Pewartaan Yesus
Mari kita lihat sepintas ide tentang “Kerajaan Allah” sebagaimana terungkap melalui perumpamaan Tuhan Yesus, misalnya tentang “Gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh” (Mat. 25:1-12). Yesus tidak sedang berbicara tentang persoalan “kemurahan atau ketidakmurahan hati” para gadis dalam perumpamaan ini; Dia juga tidak sedang mendiskreditkan kelompok perempuan tertentu! Di akhir perumpamaan ini Yesus mengatakan maksud-Nya: “Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya” (Mat. 25:13). Gagasan dasar yang hendak disampaikan di sini adalah tentang ketidaktahuan para penyongsong akan kedatangan mempelai laki-laki, dan gagasan utamanya adalah tentang pentingnya kesiapsiagaan dalam menyongsong dan menghadapi kedatangan kerajaan Allah itu. Dengan kata lain, kerajaan Allah yang diberitakan itu berkaitan dengan “kedaruratan”, atau “kesegeraan”. Hal inilah yang terungkap melalui ucapan Yesus ketika Dia mengatakan bahwa kerajaan Allah sudah dekat (Mat. 3:1), berjaga-jagalah (Mat. 25:13), dan siap-sedialah (Mat. 24:44; Luk. 12:40).
Tentu, kerajaan Allah dalam pemberitaan Yesus tidak sekadar persoalan kehidupan rohani sebagaimana umumnya dipahami oleh orang-orang Kristen. Kerajaan Allah dimaksud bukanlah sesuatu yang abstrak, yang jauh di seberang sana, yang hanya dapat didengar, yang hanya dapat dibayangkan, yang hanya dapat dilihat dari jauh dan tidak dapat dijangkau; kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus adalah nyata, telah ada di antara manusia (Luk. 17:21). Dalam pelayanan Yesus memberitakan kerajaan Allah, kuasa-Nya menyentuh seluruh realitas kehidupan manusia, baik spiritual maupun fisik, baik mental maupun sosial, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Widyatmadja menegaskan bahwa kerajaan Allah yang diproklamasikan oleh Yesus bukanlah sekadar pewartaan agama, melainkan menyentuh segala aspek kehidupan.[6] Implikasinya adalah bahwa gereja tidak lagi hanya berbicara tentang kehidupan spiritual dalam pengertian sempit seperti yang biasa dilakukan selama ini, tetapi juga mencakup bidang lain dari kehidupan manusia, termasuk penanggulangan bencana alam dengan segala dampaknya itu.

Mewartakan Kerajaan Allah dalam Konteks Bencana
Browning mengatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh gereja tidak dapat memisahkan diri dari konteksnya, baik konteks internal pelayanan itu sendiri (gereja) maupun konteks masyarakat yang lebih luas dengan aneka realitas kehidupan yang berlangsung di dalamnya.[7] Salah satu konteks kita, baik internal maupun eksternal, adalah konteks bencana alam. Hampir tidak ada orang yang menghendaki terjadinya bencana alam, dan tidak ada juga cara yang paling ampuh untuk menghentikannya, bahkan untuk memprediksinya saja merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Walaupun demikian, bencana alam itu merupakan suatu kepastian, hanya saja tidak ada seorang pun yang dapat memastikan waktu dan cara kedatangannya. Di sinilah pewartaan gereja dengan paradigma “kerajaan Allah” itu penting dilakukan.
Sekarang mari kita lihat konteks kita dengan paradigma kerajaan Allah tadi. Para ahli sekalipun – termasuk BNPB – pada satu sisi dapat “berandai-andai” atau “menebak” peristiwa bencana alam, namun pada sisi lain mereka tidak dapat memastikan kapan dan bagaimana terjadinya bencana alam dimaksud. Pada satu sisi kita mengetahui bahwa Indonesia memang rawan bencana alam, namun di sisi lain kita belum dapat memberikan tanda-tanda pasti tentang kapan dan bagaimana terjadinya bencana tersebut, baik gempa bumi maupun bencana yang lain seperti banjir dan tanah longsor. Artinya, kita menyadari ke-rawan-an Indonesia akan bencana alam, namun kita harus mengakui ketidaktahuan kita akan hari maupun saat terjadinya bencana tersebut.
Implikasi ketidaktahuan kita tersebut adalah tentang pentingnya kesiapsiagaan. Kita harus menyiapkan diri menghadapi realitas alam Indonesia yang memang selalu mengalami bencana. Kesadaran akan kerawanan negeri ini akan bencana alam harus dibangun sejak dini, sehingga pada akhirnya kita mengerti betul bahwa hidup di Indonesia adalah hidup dalam “kegentingan”, karenanya kehidupan harus ditata dengan baik sehingga kita lebih siap menghadapi “kegentingan” dimaksud.
Berangkat dari gagasan di atas gereja terpanggil untuk menunaikan tugas panggilannya di Indonesia, baik kepada warga gereja maupun kepada masyarakat secara umum. Paradigma ini hendak mengatakan bahwa dalam konteks bencana, diperlukan suatu kesiapsiagaan menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Kedaruratan kerajaan Allah tidak berarti “tergesa-gesa”, tanpa perencanaan dan kesiapan. Kedaruratan ini justru mendorong kita untuk “berjaga-jaga”, sedapat mungkin mengurangi risiko bencana yang mungkin terjadi kapan dan di mana saja.
Oleh sebab itu, pertama-tama gereja dalam pewartaannya perlu melakukan upaya penggalian dan pengkajian kearifan lokal dalam konteks bencana yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, karena dalam faktanya leluhur kita dapat bertahan di negeri ini dengan mengandalkan kearifan-kearifan lokal yang mereka miliki. Pewartaan seperti ini penting dilakukan sebab sudah cukup lama gereja-gereja kita di Indonesia melupakan identitas sosio-kulturalnya yang salah satunya terungkap  melalui kearifan-kearifan lokal. Kedua, gereja juga perlu mengkonkretkan pewartaannya akan kerajaan Allah dalam konteks bencana alam melalui pembentukan badan yang secara khusus memberi perhatian dan pelayanan dalam hal bencana alam dimaksud.[8] Badan inilah yang sejak dini mempersiapkan segala sesuatu berkaitan dengan bencana alam, mulai dari pengorganisasian penanganan bencana alam, pemberdayaan atau pendidikan tentang bencana alam kepada masyarakat sehingga mendorong tumbuh dan berkembangnya paradigma kerajaan Allah dalam konteks bencana alam, hingga penyelenggaraan diskusi ilmiah seputar isu-isu teologis tentang bencana alam. Dengan demikian, pewartaan gereja menjadi lebih relevan dengan konteks kita di Indonesia. Ketiga, gereja harus membuka diri dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain di luar gereja, bergandengan tangan dengan pemerintah dalam penanggulangan bencana alam, termasuk bekerjasama dengan agama lain. Dalam hal ini, gereja tidak bisa lagi hanya memikirkan diri sendiri atau memanfaatkan potensi yang ada di internalnya, sebab model itu sangat terbatas dalam berbaga aspek. Dengan kerjasama ini maka pewartaan gereja pun menjadi lebih luas, inklusif dan holistik.

Catatan Penutup
Tidak perlu ada perkataan “sudah terlambat, nasi telah menjadi bubur”. Kita memang belum siap selama ini, tetapi masih bisa menyiapkan diri dengan baik, toh kerajaan Allah itu terus hadir dalam berbagai konteks. Di sini gereja harus melakukan refleksi mendalam tentang bagaimana seharusnya mewartakan kerajaan Allah itu dalam konteks bencana alam di Indonesia.
Kondisi jemaat dan masyarakat kita yang berada dalam konteks bencana alam dengan segala kompleksitas masalahnya tersebut membutuhkan pelayanan yang lebih terencana dan terarah serta bersifat holistik. Oleh sebab itu, “berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya”.



Pustaka Acuan

Browning, Don S., The Moral Context of Pastoral Care (Philadelphia: The Westminster Press, 1976)
Daniel J. Louw, “Philosophical Counselling: Towards a ‘New Approach’ in Pastoral Care and Counselling?” HTS Teologiese Studies/Theological Studies 67(2), Art. #900, 7 pages. doi:10.4102/hts.v67i2.900 (2011)
Gitowiratmo, St., Teologi Kerajaan Allah-Sebuah Orientasi Untuk Karya Pastoral Gereja (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 2003)
Gulo, Alokasih, Pelayanan Pastoral BNKP Dalam Konteks Perubahan Sosial Pasca Gempa Bumi 28 Maret 2005 di Nias, Tesis Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2012
Hendriks, Jan, Jemaat Vital dan Menarik (Yogyakarta: Kanisius, 2002)
Ngelow, Zakaria J., dkk (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman Dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar: Oase INTIM, 2006)
Widyatmadja, Josef P., Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)
Yulaelawati, Ella, dan Usman Syihab, Mencerdasi Bencana (Jakarta: Grasindo, 2008)


[1] Dosen STT BNKP Sundermann, Gunungsitoli
[3] Ibid.
[5] Zakaria J. Ngelow, dkk (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman Dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar: Oase INTIM, 2006), 13.
[6] Josef P. Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 12.
[7] Don S. Browning, The Moral Context of Pastoral Care (Philadelphia: The Westminster Press, 1976), 18-19. Bnd. Daniel J. Louw, “Philosophical Counselling: Towards a ‘New Approach’ in Pastoral Care and Counselling?” HTS Teologiese Studies/Theological Studies 67(2), Art. #900, 7 pages. doi:10.4102/hts.v67i2.900 (2011), 25.
[8] Bnd. Alokasih Gulo, Pelayanan Pastoral BNKP dalam Konteks Perubahan Sosial Pasca Gempa Bumi 28 Maret 2005 di Nias, Tesis Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2012, 112-113.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...