Oleh: Pdt. Alokasih Gulö, M.Si[1]
Pendahuluan
“Karena itu, berjaga-jagalah,
sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya”
(Mat. 25:13)
Orang Kristen yang taat dan rajin baca Alkitab tentu sangat
tahu bahwa teks di atas terkait erat dengan kedatangan kerajaan Allah, tidak
ada keraguan kita tentang itu. Persoalannya ialah teks tersebut (dan teks-teks
lain yang sejajar dengannya) seringkali dipahami hanya dalam kaitannya dengan
kedatangan Yesus kembali. Maka, jangan heran kalau banyak orang Kristen yang
membayangkan kehidupan surgawi kelak ketika berbicara tentang kerajaan Allah
ini. Itulah sebabnya persiapan yang dilakukan dalam rangka “berjaga-jaga”
tersebut lebih kepada kehidupan rohani, apalagi kalau dibumbui dengan janji
kehidupan kekal yang tempatnya bukan di dunia ini.
Pemahaman seperti di atas justru mengurangi makna kerajaan
Allah itu, sebab Yesus sendiri dalam pemberitaan-Nya tentang kerajaan Allah
selalu memberi penekanan pada masa kini di dunia ini. Dengan demikian pewartaan
gereja tentang kerajaan Allah dalam berbagai konteks pun menjadi sesuatu yang
amat penting. Salah satu konteks kita adalah bencana alam yang seringkali
terjadi di luar perkiraan manusia.
Indonesia, Negeri Rawan Bencana Alam
Indonesia merupakan negara yang
rawan bencana alam, meliputi banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi,
gempa bumi, tsunami, kekeringan, dll. Hal ini dipengaruhi oleh posisi Indonesia
sebagai negara kepulauan yang terletak pada pada pertemuan empat lempeng
tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik.[2]
Indonesia juga memiliki sabuk vulkanik (volcanic
arc), pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi
oleh rawa-rawa.[3]
Selain itu, sebagai negara kepulauan, Indonesia dikelilingi oleh lautan yang
sebagian bergelombang ganas, curah hujan yang variatif, ditambah dengan perubahan
iklim yang ekstrem. Hal inilah semua yang membuat Indonesia menjadi negara yang
paling rawan dihantam oleh bencana alam.
Dengan demikian, Indonesia sejak
dulu memang rawan bencana alam. Bencana alam ini terjadi di berbagai tempat di
Indonesia dan menimbulkan korban serta dampak yang tidak sedikit. Merujuk pada
data dan informasi bencana di Indonesia yang dirilis oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga bulan Mei 2017, kejadian bencana alam,
korban dan dampaknya di Indonesia cukup tinggi. Data dan informasi dimaksud
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Jumlah Kejadian Bencana, Korban,
dan Dampaknya sampai bulan Mei 2017[4]
Data di atas menunjukkan
bahwa bencana alam dalam berbagai bentuk telah mengakibatkan dukacita yang
mendalam bagi mereka yang anggota keluarganya meninggal dunia dan hilang, terjadinya
pengungsian besar-besaran, kerusakan tempat tinggal (perumahan), dan kerusakan
fasilitas umum. Bencana alam ini sebenarnya bukan hanya sekadar peristiwa alam,
tetapi juga sebagai tragedi kemanusiaan karena dapat mengakibatkan trauma
psikososial dan ekologi yang jika tidak ditangani dengan baik akan
mengakibatkan penderitaan berkepanjangan di masyarakat, baik secara fisik,
spiritual, mental dan sosial.
Kita memang harus menerima
fakta di atas bahwa kita tinggal di negeri yang rawan bencana alam. Namun, ini
bukan berarti bahwa kita hanya diam saja, menerimanya sebagai “takdir” yang
tidak bisa diubah dan disikapi dengan baik. Pengalaman empiris kita akan negeri
yang rawan bencana alam ini seharusnya menyadarkan kita tentang pentingnya kesiapan
kita semua untuk mampu menghadapi dan menanggulanginya, apalagi sebagian bencana
alam tersebut juga disebabkan oleh ulah manusia sendiri.
Tanggapan Gereja
Ketika bencana alam terjadi, gereja tentunya berduka,
menangis, dan bahkan trauma! Dalam situasi yang seperti itu, gereja-gereja kita
berusaha menenangkan jemaat dan masyarakat yang berada dalam krisis, umumnya
dengan siraman rohani melalui doa, nyanyian pertobatan dan penyerahan diri
kepada Tuhan, diikuti dengan pencerahan bahwa semuanya itu adalah kehendak
Tuhan yang harus kita terima. Pada titik tertentu, gereja bertindak sebagai
pembela Allah terutama ketika memperhadapkan penderitaan manusia dengan keadilan
Allah. Akibatnya adalah jemaat/masyarakat akan menjadi korban untuk kedua
kalinya, blaming the victim – korban
sendiri dipersalahkan dan dipermalukan.[5] Hal ini sebenarnya
menunjukkan ketidakberdayaan gereja-gereja kita dalam menanggapi bencana alam dengan
segala konsekuensinya itu.
Di beberapa tempat, gereja terlibat dalam pemberian/penyaluran bantuan
kepada korban bencana alam. Tindakan gereja ini patut diapresiasi, terutama
selama masa-masa darurat, dimana korban bencana alam sangat membutuhkan kehadiran
dan uluran tangan orang lain. Persoalannya adalah bahwa tindakan gereja kita
umumnya masih bersifat sporadis dan kurang terencana. Orang-orang yang terlibat
dalam pemberian/penyaluran bantuan tersebut juga melaksanakan tugas lebih
karena semangat pelayanan kemanusiaan, dan umumnya mereka belum mendapatkan
pelatihan khusus penanggulangan situasi darurat bencana alam. Hal ini
menunjukkan ketidaksiapan gereja-gereja kita dalam menghadapi bencana alam,
padahal dari waktu ke waktu Indonesia selalu dihantam oleh berbagai bencana
alam seperti terungkap pada data BNPB tadi. Ketidaksiapan ini misalnya terlihat
dari penyaluran bantuan yang kurang terarah, dan menimbulkan banyak keluhan
dari warga jemaat, dan bahkan melahirkan konflik sosial di tengah-tengah jemaat
dan masyarakat.
Demikian juga pasca masa-masa darurat, gereja-gereja kita umumnya
melakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali kehidupan warganya, termasuk memfasilitasi jemaat supaya mendapatkan bantuan pembangunan
rumah dan gedung gereja dari berbagai lembaga kemanusiaan. Tindakan ini
merupakan langkah positif dalam mewujudkan pelayanan gereja yang holistik,
namun langkah ini umumnya lebih pada aras sinodal, sedangkan pada aras jemaat
belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya konflik yang
berujung pada perpindahan warga jemaat dengan alasan bantuan rumah dan gedung
gereja yang diperebutkan sementara jemaat setempat tidak dapat berbuat banyak.
Masih banyak lagi
tindakan yang telah dilakukan oleh gereja-gereja kita di Indonesia dalam
menanggapi berbagai bencana alam. Sebagian memang telah memiliki program
penanggulangan bencana yang terencana dengan baik, tetapi sebagian besarnya
belum menunjukkan kesiapan yang matang dalam menghadapinya. Itulah sebabnya
gereja-gereja kita kelabakan ketika terjadi bencana alam, dan lagi-lagi
pelayanan yang diberikan masih tradisional melalui ibadah seremonial, doa dan
pemberitaan Firman Tuhan yang seringkali hanya sekadar penghiburan dan
penguatan saja tanpa diikuti dengan upaya-upaya konkret penanggulangan bencana
alam tersebut.
Tentu banyak faktor
yang membuat tanggapan gereja-gereja kita masih kurang menggembirakan, salah
satunya adalah tradisi teologi pietisme yang masih mendominasi gereja-gereja
kita. Sebagian besar gereja-gereja di Indonesia lahir sebagai buah pekabaran
Injil lembaga misi dari benua Eropa yang secara umum memiliki latar belakang
teologi pietisme, dan mereka datang ke Indonesia dengan tradisi teologi itu. Tradisi
inilah yang seterusnya diwariskan kepada kita, bahkan roh teologi itu masih
terasa sampai sekarang. Implikasinya adalah bahwa dalam banyak aspek gereja-gereja
di Indonesia dicoraki oleh jiwa dan semangat pietisme yang lebih mementingkan
kesalehan hidup dan keselamatan di akhirat, sedangkan realitas hidup
sehari-hari tidak mendapat perhatian serius.
Warisan teologi ini
tentu menjadi ciri khas tersendiri bagi gereja-gereja kita, namun sebaliknya
menjadi persoalan serius kalau masuk dalam wujud dualisme jasmani vs rohani. Hal ini akan semakin mudah
terjadi kalau masih ada warisan pola pikir dualistik tersebut dalam masyarakat kita,
yang salah satunya memisahkan urusan surgawi dengan urusan duniawi. Maka,
warisan teologi pietisme yang “menjauhkan” diri dari persoalan nyata
masyarakat, ditambah dengan pola pikir dualistik ini, melengkapi “keterpisahan”
teologi dengan masalah-masalah aktual masyarakat.
Kerajaan Allah dalam Pewartaan Yesus
Mari kita lihat sepintas ide tentang “Kerajaan Allah”
sebagaimana terungkap melalui perumpamaan Tuhan Yesus, misalnya tentang
“Gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh” (Mat. 25:1-12). Yesus
tidak sedang berbicara tentang persoalan “kemurahan atau ketidakmurahan hati”
para gadis dalam perumpamaan ini; Dia juga tidak sedang mendiskreditkan
kelompok perempuan tertentu! Di akhir perumpamaan ini Yesus mengatakan
maksud-Nya: “Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari
maupun akan saatnya” (Mat. 25:13). Gagasan dasar yang hendak disampaikan di
sini adalah tentang ketidaktahuan para penyongsong akan kedatangan mempelai
laki-laki, dan gagasan utamanya adalah tentang pentingnya kesiapsiagaan dalam
menyongsong dan menghadapi kedatangan kerajaan Allah itu. Dengan kata lain, kerajaan
Allah yang diberitakan itu berkaitan dengan “kedaruratan”, atau “kesegeraan”.
Hal inilah yang terungkap melalui ucapan Yesus ketika Dia mengatakan bahwa
kerajaan Allah sudah dekat (Mat. 3:1), berjaga-jagalah (Mat. 25:13), dan siap-sedialah
(Mat. 24:44; Luk. 12:40).
Tentu, kerajaan Allah dalam pemberitaan Yesus tidak sekadar
persoalan kehidupan rohani sebagaimana umumnya dipahami oleh orang-orang
Kristen. Kerajaan Allah dimaksud bukanlah sesuatu yang abstrak, yang jauh di
seberang sana, yang hanya dapat didengar, yang hanya dapat dibayangkan, yang
hanya dapat dilihat dari jauh dan tidak dapat dijangkau; kerajaan Allah yang
diwartakan oleh Yesus adalah nyata, telah ada di antara manusia (Luk. 17:21).
Dalam pelayanan Yesus memberitakan kerajaan Allah, kuasa-Nya menyentuh seluruh
realitas kehidupan manusia, baik spiritual maupun fisik, baik mental maupun
sosial, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Widyatmadja
menegaskan bahwa kerajaan Allah yang diproklamasikan oleh Yesus bukanlah
sekadar pewartaan agama, melainkan menyentuh segala aspek kehidupan.[6] Implikasinya
adalah bahwa gereja tidak lagi hanya berbicara tentang kehidupan spiritual dalam
pengertian sempit seperti yang biasa dilakukan selama ini, tetapi juga mencakup
bidang lain dari kehidupan manusia, termasuk penanggulangan bencana alam dengan
segala dampaknya itu.
Mewartakan Kerajaan Allah dalam Konteks Bencana
Browning mengatakan bahwa pelayanan
yang dilakukan oleh gereja tidak dapat memisahkan diri dari konteksnya, baik
konteks internal pelayanan itu sendiri (gereja) maupun konteks masyarakat yang
lebih luas dengan aneka realitas kehidupan yang berlangsung di dalamnya.[7]
Salah satu konteks kita, baik internal maupun eksternal, adalah konteks bencana
alam. Hampir tidak ada orang yang menghendaki terjadinya bencana alam, dan tidak ada
juga cara yang paling ampuh untuk menghentikannya, bahkan untuk memprediksinya
saja merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Walaupun demikian, bencana alam
itu merupakan suatu kepastian, hanya saja tidak ada seorang pun yang dapat
memastikan waktu dan cara kedatangannya. Di sinilah pewartaan gereja dengan
paradigma “kerajaan Allah” itu penting dilakukan.
Sekarang mari kita lihat konteks kita dengan paradigma
kerajaan Allah tadi. Para ahli sekalipun – termasuk BNPB – pada satu sisi dapat
“berandai-andai” atau “menebak” peristiwa bencana alam, namun pada sisi lain mereka
tidak dapat memastikan kapan dan bagaimana terjadinya bencana alam dimaksud. Pada
satu sisi kita mengetahui bahwa Indonesia memang rawan bencana alam, namun di
sisi lain kita belum dapat memberikan tanda-tanda pasti tentang kapan dan
bagaimana terjadinya bencana tersebut, baik gempa bumi maupun bencana yang lain
seperti banjir dan tanah longsor. Artinya, kita menyadari ke-rawan-an Indonesia
akan bencana alam, namun kita harus mengakui ketidaktahuan kita akan hari
maupun saat terjadinya bencana tersebut.
Implikasi ketidaktahuan kita tersebut adalah tentang pentingnya
kesiapsiagaan. Kita harus menyiapkan diri menghadapi realitas alam Indonesia yang
memang selalu mengalami bencana. Kesadaran akan kerawanan negeri ini akan
bencana alam harus dibangun sejak dini, sehingga pada akhirnya kita mengerti
betul bahwa hidup di Indonesia adalah hidup dalam “kegentingan”, karenanya kehidupan
harus ditata dengan baik sehingga kita lebih siap menghadapi “kegentingan” dimaksud.
Berangkat dari gagasan di atas gereja terpanggil untuk
menunaikan tugas panggilannya di Indonesia, baik kepada warga gereja maupun
kepada masyarakat secara umum. Paradigma ini hendak mengatakan bahwa dalam
konteks bencana, diperlukan suatu kesiapsiagaan menghadapi segala kemungkinan
yang terjadi. Kedaruratan kerajaan Allah tidak berarti “tergesa-gesa”, tanpa
perencanaan dan kesiapan. Kedaruratan ini justru mendorong kita untuk
“berjaga-jaga”, sedapat mungkin mengurangi risiko bencana yang mungkin terjadi
kapan dan di mana saja.
Oleh sebab itu, pertama-tama
gereja dalam pewartaannya perlu melakukan upaya penggalian dan pengkajian
kearifan lokal dalam konteks bencana yang tersebar di berbagai wilayah di
Indonesia, karena dalam faktanya leluhur kita dapat bertahan di negeri ini
dengan mengandalkan kearifan-kearifan lokal yang mereka miliki. Pewartaan
seperti ini penting dilakukan sebab sudah cukup lama gereja-gereja kita di
Indonesia melupakan identitas sosio-kulturalnya yang salah satunya terungkap melalui kearifan-kearifan lokal. Kedua, gereja juga perlu mengkonkretkan pewartaannya
akan kerajaan Allah dalam konteks bencana alam melalui pembentukan badan yang
secara khusus memberi perhatian dan pelayanan dalam hal bencana alam dimaksud.[8] Badan inilah
yang sejak dini mempersiapkan segala sesuatu berkaitan dengan bencana alam,
mulai dari pengorganisasian penanganan bencana alam, pemberdayaan atau
pendidikan tentang bencana alam kepada masyarakat sehingga mendorong tumbuh dan
berkembangnya paradigma kerajaan Allah dalam konteks bencana alam, hingga penyelenggaraan
diskusi ilmiah seputar isu-isu teologis tentang bencana alam. Dengan demikian, pewartaan
gereja menjadi lebih relevan dengan konteks kita di Indonesia. Ketiga, gereja harus membuka diri dan bekerjasama
dengan lembaga-lembaga lain di luar gereja, bergandengan tangan dengan
pemerintah dalam penanggulangan bencana alam, termasuk bekerjasama dengan agama
lain. Dalam hal ini, gereja tidak bisa lagi hanya memikirkan diri sendiri atau
memanfaatkan potensi yang ada di internalnya, sebab model itu sangat terbatas
dalam berbaga aspek. Dengan kerjasama ini maka pewartaan gereja pun menjadi
lebih luas, inklusif dan holistik.
Catatan Penutup
Tidak perlu ada perkataan “sudah terlambat, nasi telah
menjadi bubur”. Kita memang belum siap selama ini, tetapi masih bisa menyiapkan
diri dengan baik, toh kerajaan Allah
itu terus hadir dalam berbagai konteks. Di sini gereja harus melakukan refleksi
mendalam tentang bagaimana seharusnya mewartakan kerajaan Allah itu dalam
konteks bencana alam di Indonesia.
Kondisi jemaat dan masyarakat kita yang berada dalam konteks
bencana alam dengan segala kompleksitas masalahnya tersebut membutuhkan
pelayanan yang lebih terencana dan terarah serta bersifat holistik. Oleh sebab
itu, “berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya”.
Pustaka Acuan
Browning, Don S., The
Moral Context of Pastoral Care (Philadelphia: The Westminster Press, 1976)
Daniel J. Louw, “Philosophical Counselling: Towards a ‘New
Approach’ in Pastoral Care and Counselling?” HTS Teologiese
Studies/Theological Studies 67(2), Art. #900, 7 pages.
doi:10.4102/hts.v67i2.900 (2011)
Gitowiratmo, St., Teologi Kerajaan Allah-Sebuah Orientasi
Untuk Karya Pastoral Gereja (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 2003)
Gulo, Alokasih, Pelayanan
Pastoral BNKP Dalam Konteks Perubahan Sosial Pasca Gempa Bumi 28 Maret 2005 di
Nias, Tesis Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga, 2012
Hendriks, Jan, Jemaat Vital dan Menarik (Yogyakarta:
Kanisius, 2002)
Ngelow, Zakaria J., dkk (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan
Iman Dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar: Oase INTIM, 2006)
Widyatmadja, Josef P., Yesus
dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)
Yulaelawati, Ella, dan Usman Syihab, Mencerdasi Bencana (Jakarta: Grasindo, 2008)
[1] Dosen
STT BNKP Sundermann, Gunungsitoli
[3] Ibid.
[5] Zakaria
J. Ngelow, dkk (ed.), Teologi Bencana:
Pergumulan Iman Dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial (Makassar:
Oase INTIM, 2006), 13.
[6] Josef P.
Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik:
Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010), 12.
[7] Don S. Browning, The Moral Context of Pastoral Care (Philadelphia:
The Westminster Press, 1976), 18-19.
Bnd. Daniel J. Louw, “Philosophical Counselling: Towards a ‘New Approach’ in
Pastoral Care and Counselling?” HTS Teologiese Studies/Theological Studies 67(2),
Art. #900, 7 pages. doi:10.4102/hts.v67i2.900 (2011), 25.
[8] Bnd. Alokasih
Gulo, Pelayanan Pastoral BNKP dalam
Konteks Perubahan Sosial Pasca Gempa Bumi 28 Maret 2005 di Nias, Tesis Program
Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga, 2012, 112-113.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?