Oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Sudah
lebih dua bulan kita “terkurung” di rumah, ruang gerak kita dibatasi sedemikian
rupa, terutama mereka yang berada di zona merah atau wilayah yang sudah
diberlakukan PSBB. Semua gara-gara Corona, sang virus kecil yang telah “mengguncang”
keras seluruh dunia, termasuk negara-negara besar.
Tuhan,
sampai kapankah semua ini berakhir? Kami tidak mungkin terus menerus berada di
rumah, bosan tahu! Keadaan ekonomi masyarakat porak-poranda: penghasilan
semakin berkurang, sementara pengeluaran semakin bertambah, banyak orang yang putus
kerja (PHK), akibatnya pengangguran meningkat tajam.
Tuhan,
tidak mampukah Engkau menghentikan serangan virus kecil itu? Lihatlah Tuhan,
gara-gara si Corona itu kami tidak bisa beribadah di rumah-Mu yang kudus,
padahal kami sudah rindu banget 😄😄.
Tuhan,
belum cukupkah penderitaan yang kami alami ini? Lihatlah, anak-anak kami tidak
bisa bermain bebas dengan teman-teman mereka, belajar pun harus di rumah …
capek loh Tuhan mendampingi anak-anak
belajar di rumah … kami mau mereka ke sekolah seperti sebelumnya 😏😏.
Ah,
Tuhan … … …
Sayup-sayup
terdengar pemerintah mulai melonggarkan kebijakan PSBB, beberapa sinode gereja
pun sudah bersiap dengan kebijakan mengaktifkan kembali ibadah di gedung gereja
… ya tentu dengan protokol kesehatan yang mesti ditaati. Horeee … aktif kembali
… asyik …
Tetapi,
tunggu dulu!
Saya
melihat sikap pemerintah kita sejak awal pandemi Covid-19 ini “adem-ayem” saja,
percaya diri bahwa virus ini “takut” masuk ke Indonesia karena doa para
rohaniwan, makanya langkah-langkah antisipatif-strategis tidak dilakukan sejak
dini. Dimulai dengan pernyataan Wapres Ma’ruf Amin (baca: Berkah doa kita terhindar dari virus corona),
dan diteruskan oleh menkes Terawan (baca: Menkes: Berkat doa virus corona belum ditemukan).
Akibatnya, ketika virus ini masuk ke Indonesia, kita pun sebenarnya belum siap,
terlanjur dan terlalu yakin pada doa, padahal Yesus sudah mengajarkan kita
untuk siap-sedia, itulah inti dari berita Kerajaan Allah (baca: Bencana dan Kerajaan Allah).
Sampai sekarang, sikap pemerintah kita terkesan plin-plan, membingungkan, dan ragu-ragu.
Jadi, pemberian kelonggaran atas PSBB oleh pemerintah, tampaknya menunjukkan
kegamangan pemerintah atas situasi yang sedang terjadi di negeri kita saat ini,
tergagap-gagap. Jangankan pada masa kelonggaran ini, sebelumnya pun pemerintah
sendiri tidak begitu taat pada kebijakan yang dia terbitkan soal PSBB atau
sejenisnya. Di beberapa tempat, kita masih bisa melihat kerumunan orang yang
ternyata kegiatan penyaluran bansos, atau rapat para aparat pemerintahan. Sampai
hari Sabtu kemarin, 23 Mei 2020, saya masih melihat kerumunan orang banyak di
pasar, tanpa jarak, sebagian tanpa memakai masker, termasuk orang-orang yang seharusnya
menegakkan peraturan. Fenomena ini terjadi di berbagai tempat, termasuk di
kantor pos, tempat pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai). Ya … begitulah negeri
kita.
Nah,
minggu ini, kalau tidak berubah, tanggal 31 Mei 2020, gereja-gereja di Nias
akan mengaktifkan kembali kegiatan ibadah di gedung gereja, tentu dengan
sejumlah ketentuan, sesuai dengan protokol kesehatan. Para rohaniwan dan warga jemaat
menyambut kebijakan ini dengan gegap gempita … “akhirnya Tuhan mendengarkan doa
kita, virus Corona tidak mampu mengalahkan iman kita, kerinduan kami akan
rumah-Mu ya Tuhan terobati … haleluya …”.
Menurut
saya, kita boleh-boleh saja beribadah kembali di gedung gereja, saya bersyukur
untuk itu; saya juga senang kalau anak-anak kembali aktif belajar di sekolah; dan
saya akan bersukacita kalau kita kembali menjalani kehidupan normal. Namun demikian,
kita harus ingat bahwa kehidupan normal yang akan kita jalani, termasuk ibadah
di gedung gereja, tidak sama dengan kehidupan normal sebelum pandemi Covid-19,
kita akan menjalani the new normal
(baca: Siap menjalani the new normal?).
Banyak
hal yang harus kita perhatikan dalam menjalani kehidupan dengan tatanan yang
baru (the new normal), namun ada tiga
hal mendasar, yaitu (1) jaga jarak (social/physical
distancing), (2) kebersihan (diri dan lingkungan), dan (3) pemakaian
masker.
(1) Jaga Jarak (social/physical
distancing)
Istilah yang
paling awal dipakai untuk jaga jarak adalah social
distancing, tetapi kemudian muncul istilah physical distancing, karena yang paling penting untuk mengurangi
penyebaran virus corona adalah jaga jarak fisik, bukan jarak sosial. Kita boleh
saja dekat secara sosial, tetapi harus jaga jarak fisik, dianjurkan lebih dari
1 meter.
Jaga jarak minimal
1 meter tampaknya tidak bisa dilakukan di rumah, apalagi suami-istri (ehh …
tahu aja 😍). Jaga jarak seperti ini dianjurkan dilakukan di luar
rumah ketika (harus) berinteraksi dengan orang lain, antara lain di pasar, di
pusat-pusat perbelanjaan, di harimbale,
di warung, di sekolah, termasuk di gedung gereja. Itulah sebabnya, tradisi
bersalaman sebaiknya ditunda dulu, toh tidak
akan mengurangi kedekatan hati dan jiwa kita dengan mereka. Kita tidak tahu
siapa di antara kita yang sudah terpapar Covid-19, dan kita tidak mau virus ini
menular kepada orang lain.
Tetapi, di Nias (dan
beberapa tempat lainnya di Indonesia) kan
belum ada yang positif terpapar Covid-19! Saya setuju dengan pernyataan seperti
ini, pertanyaannya ialah apakah sudah dilakukan rapid-test bagi masyarakat kita yang begitu banyak? Apakah sudah
dilakukan juga swab-test? Kalau belum,
maka kita tidak tahu siapa saja yang sudah terpapar atau belum, sebab sampai
sekarang rapid-test dan swab-test yang dapat memastikan itu (yang paling akurat adalah swab-test). Apalagi,
orang dengan daya tahan tubuh kuat, walaupun sudah, misalnya, terpapar
Covid-19, bisa saja tidak kelihatan gejalanya, inilah yang disebut OTG (Orang
Tanpa Gejala). Kondisi ini akan semakin menguatirkan kalau penerbangan dan
pelayaran dari dan ke daerah kita diaktifkan kembali, anggota keluarga kita
atau kenalan kita atau para pejabat dan pebisnis akan datang, dan kita tidak
tahu apakah mereka ini sudah terpapar atau belum. Kita tidak boleh menolak
mereka, termasuk orang-orang yang sudah positif sekalipun, kita tidak boleh
menghakimi mereka, tetapi kita bisa jaga jarak dengan mereka. Nah, kemungkinan “buruk”
inilah yang harus kita antisipasi, kata Tuhan Yesus: “berjaga-jagalah,
siap-sedialah”, sebab Kerajaan Surga sudah dekat 😊😊. Maka, jaga jarak fisik satu dengan yang lain wajib
kita lakukan, termasuk di dalam gereja.
Yang cukup sulit
sebenarnya adalah jaga jarak di pasar, di pusat perbelanjaan, di harimbale, dan di sekolah. Bagaimana jaga
jarak sementara begitu banyak orang? Siapa yang dapat menjamin bahwa dia tidak akan
“bersentuhan” dengan orang lain? Dibutuhkan pasar atau harimbale yang amat luas supaya orang-orang dapat jaga jarak
minimal 1 meter. Sulit bukan? Begitu juga di sekolah, bagaimana anak-anak kita bisa
jaga jarak sementara dunia mereka adalah bermain dengan teman-temannya?
Kita tidak bisa
mengatakan lagi #indonesiaterserah, tidak bisa juga mengatakan
#indonesiamenyerah, para pengambil kebijakan harus sudah menyiapkan langkah-langkah
antisipatif-strategis sejak dini. Walaupun sulit, tetapi seperti ungkapan
klasik: “di mana ada kemauan di situ ada jalan”, maka kita bisa melewati masa-masa sulit ini, yang penting kita disiplin jaga jarak!
(2) Kebersihan
Pandemi Covid-19 telah mengajarkan kita hal penting
soal kebersihan. Kita ini sudah terbiasa makan misalnya dengan tangan
(maksudnya tanpa sendok/garpu), dan kadang-kadang lupa cuci tangan, paling lap
tangan di baju, hehehehe. Anak-anak pun seringkali harus dipaksa untuk cuci
tangan sebelum makan, soalnya mereka melihat orangtuanya makan tanpa cuci
tangan, hahahaha. Tetapi, sekarang, cuci tangan sesering mungkin menjadi kebutuhan
penting, terutama ketika baru pulang dari luar rumah, atau ketika ada tamu yang
datang ke rumah. Saya kira, kebiasaan cuci tangan ini mesti kita pertahankan ke
depan, demi kesehatan kita juga.
Demikian juga dengan adanya penyemprotan disinfektan di
lingkungan rumah, perkantoran, gedung gereja, gedung sekolah, dan gedung-gedung
lainnya, merupakan upaya kita untuk tetap menjaga kebersihan dengan asumsi
virus-virus tersebut mati karena cairan disinfektan dimaksud. Penyemprotan ini
memang tidak menjamin bebas virus corona, demikian juga dengan cuci tangan
sesering mungkin, tetapi paling tidak telah melatih kita untuk menjaga
kebersihan diri dan lingkungan kita.
Oleh sebab itu, siapa pun anggota keluarga kita yang
baru datang dari luar rumah, terutama baru pulang dari pasar, atau dari
tempat-tempat keramaian, wajib cuci tangan dan membersihkan diri sebelum
bersentuhan dengan anggota keluarga lainnya, atau sebelum menyentuh
barang-barang yang ada di dalam rumah. Ini memang terdengar aneh, ada yang
mengatakan paranoid, tetapi kalau ada kemauan sebenarnya tidak terlalu sulit
melakukannya. Kita bisa melewati masa-masa sulit ini kalau kita
disiplin dalam hal kebersihan!
(3) Pemakaian Masker
Dalam pengamatan
saya, salah satu barang yang awalnya sempat langka tetapi kemudian membanjiri
pasar dan rumah-rumah kita adalah masker, terutama masker kain. Saya sendiri memiliki
4 masker kain tersebut, dipakai secara bergantian ketika keluar rumah. Kita dianjurkan
untuk tetap memakai masker ketika keluar rumah, apalagi kalau sedang flu. Tindakan
ini penting untuk mengantisipasi jangan sampai virus corona atau pun virus yang
lain menular kepada orang lain dan atau menulari kita.
Ya, ada perasaan tidak nyaman sih ketika awal-awal memakainya,
beberapa orang merasa sesak napas, agak gerah juga, apalagi kalau dipakai cukup
lama. Saya malah pernah meludah tetapi lupa bahwa sedang memakai masker, hayo …
ngaku siapa yang pernah mengalaminya, hehehehe. Makanya, masih banyak orang
yang enggan memakai masker, baik masyarakat biasa maupun para rohaniwan dan
aparat pemerintahan. Sulit memang, tetapi kalau ada kemauan pasti bisa
dilakukan, dan kita pun akan bisa melewati masa-masa sulit ini kalau kita
disiplin memakai masker.
Jadi, cepat atau lambat, harus kembali ke kehidupan normal, tentu
seperti yang pernah saya tulis, kita akan menjalani kehidupan dengan kenormalan
yang baru, the new normal, dengan
segala potensi dan tantangannya. Sebagai manusia biasa, kita wajar kuatir,
gelisah atau takut, Yesus sendiri pernah mengalaminya ketika Dia bergumul
menjelang penangkapan dan penyaliban-Nya. Namun demikian, sebagai anak-anak Tuhan (😁😁😁😁), kita tidak boleh kehilangan pengharapan … kita terus bergumul ... bergumul dalam pengharapan. Dalam bingkai itu, sebagai murid-murid Tuhan Yesus (dalam bahasa Inggris “disciples of Jesus”) kita juga harus mampu mendisiplinkan diri
sendiri. Kita tidak akan mampu melewati masa-masa sulit ini kalau kita tidak disiplin, baik masyarakat biasa (warga jemaat), maupun para rohaniwan dan pemerintah. PGI dalam surat imbauannya kepada pimpinan gereja (anggota PGI)
terkait perpanjangan pelaksanaan ibadah di rumah, tertanggal 22 Mei 2020,
menjelaskan secara ringkas esensi dari menjadi murid (disciple) Yesus. Berikut kutipannya: “Sebagai
pengikut Kristus, kedisiplinan merupakan salah satu keutamaan kita, sebagaimana
ditunjukkan dari arti kata disciple
(murid Yesus) dan discipline (disiplin),
yang bersumber dari akar kata yang sama: discipulus
(bhs. Latin). Kedisiplinan ini (bekerja, belajar dan beribadah dari rumah,
memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan dan pertemuan) sangat
penting untuk kita terapkan saat ini. Sehingga, memasuki masa apapun, termasuk
masa ‘Normal Baru’ (The New Normal)
sikap kedisplinan tersebut menjadi prasyarat untuk dapat beradaptasi dengannya”.
KITA BISA, KALAU KITA
DISIPLIN!
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?