Masyarakat
kita mulai menjalani new normal
(kernomalan baru) karena pandemi Covid-19. Kebiasaan baru (yang sebenarnya
tidak baru sama sekali) bermunculan, mulai dari memakai masker, cuci tangan,
jaga jarak, hingga kegiatan webinar yang terus digemari sampai hari ini. Dengan
kata lain, ada peningkatan kesadaran (atau pemaksaan kesadaran di beberapa
tempat) untuk lebih menjaga kebersihan dan kesehatan diri, menjaga kebersihan
dan kesehatan lingkungan, serta secara perlahan semakin banyak orang yang belajar
dan berlatih penggunakan media teknologi komunikasi. Dalam kerangka ini, kita
dituntut untuk memiliki kedisiplinan yang tinggi serta kemampuan untuk
beradaptasi dengan cepat. Kalau tidak, maka pertahanan diri kita (imunitas/kekebalan
tubuh) akan jebol, dan kita akan menjadi mangsa empuk si Corona. Selain itu, kalau
kita tidak disiplin dan tidak mampu beradaptasi dengan baik, kita tidak akan mampu
mengejar berbagai kemajuan dan inovasi yang terus muncul. Siapa yang akan rugi?
Ya, kita sendiri!
Sepertinya,
ada dua ekses yang tak terhindarkan dari kehidupan new normal ini, yakni persaingan yang semakin ketat dan sikap
individualis yang semakin menguat. Dalam persaingan yang semakin ketat, akan
kehidupan akan semakin keras, dan hanya mereka yang bergerak/beradaptasi dengan
cepat dengan tingkat kedisplinan yang tinggi yang akan menguasai berbagai
bidang kehidupan. Di sini sepertinya berlaku ungkapan khas Nias: “ha niha zalio önia mbanio, ha niha zara önia
gara”. Akibatnya muncullah ekses yang kedua tadi, sikap individualis yang
semakin menguat. Masyarakat kita, oleh karena tuntutan persaingan yang begitu
hebat, akan lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri, dan kalau perlu,
akan “memangsa” sesamanya kalau kepentingannya terganggu. Homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Fenomena
ini dapat terlihat misalnya dalam pembagian berbagai bansos (bantuan sosial)
karena pandemi Covid-19, orang-orang saling berebut (bersaing dengan keras
untuk mendapatkan bantuan). Hal ini memang terkait dengan mental kita yang suka
menerima bantuan gratis, ditambah dengan mental ketamakan, sampai orang-orang
yang sebenarnya tidak pantas menerimanya, ikut-ikutan juga berjuang supaya
dirinya mendapatkan bantuan tersebut. Di beberapa tempat terjadi konflik
horizontal di tengah-tengah masyarakat hanya karena memperebutkan bantuan yang
pada prinsipnya ditujukan untuk kebaikan bersama. Ini hanyalah salah satu
contoh tentang manusia yang semakin lama semakin berkompetisi dengan cara-cara
yang saling mematikan, semakin lama semakin individualis, hanya memikirkan dan
mengusahakan kepentingannya sendiri, dan kalau perlu mengorbankan orang lain
kalau dianggap menghalangi upayanya mendapatkan keinginannya. Manusia telah berubah
menjadi serigala … ironis memang! Tetapi, itulah realitas yang sedang terjadi …
dan kehidupan new normal tampaknya “memberi
tempat/peluang” yang lebih luas untuk itu.
Jadi,
kita harus bagaimana?
Ya,
menurut saya, kita harus “menari atau berselancar bersama” di atas gelombang
kehidupan new normal yang seperti itu,
melatih diri untuk hidup dalam kedisiplinan yang tinggi dan membuka diri untuk
beradaptasi dengan dunia yang terus berubah cepat. Hal ini penting, sebab masyarakat
kita sudah terlalu lama terbiasa hidup santai, sulit didisplinkan, dan tertutup
terhadap hal-hal baru yang muncul di sekitarnya. Menari dan berselancar seperti
yang saya katakan tadi, tidak berarti ikut terbawa arus persaingan yang tidak sehat
dan sikap individualis yang tak terkontrol. Menari dan berselancar bersama
dengan dinamika kehidupan new normal
berarti siap dan berani menjalani kehidupan yang “keras” itu bahkan
menikmatinya dengan tetap menjaga keseimbangan supaya tidak terseret arus gelombang
kehidupan yang ganas itu, menjaga keseimbangan supaya tidak terjatuh dan
tenggelam dalam kubangan kehidupan yang cukup berbahaya itu.
Persoalan
sebenarnya adalah bagaimana dengan masyarakat kita, yang karena berbagai
faktor, tidak mampu mengimbangi gerak cepat kehidupan new normal? Bagaimana mengantisipasi sikap individualis yang bisa
saja “membunuh” masyarakat kita yang sudah terbiasa hidup secara komunal? Di sinilah
kita terpanggil untuk saling memperhatikan dan saling mengingatkan supaya masyarakat
kita tidak terjerumus ke dalam persaingan tidak sehat dan sikap individualis
yang mematikan. Saya yakin bahwa ada banyak tantangan yang akan menyulitkan
kita ke depan, banyak juga peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan
bersama. Tetapi, tantangan seberat apa pun tidak boleh menyurutkan langkah kita
untuk bergerak maju, sebab tantangan ada untuk dihadapi dan diatasi bukan untuk
dijauhi. Demikian juga dengan berbagai peluang yang ada, tidak boleh membuat
kita terbuai dalam mimpi-mimpi semu, sebab sebesar dan sebanyak apa pun peluang
yang ada, kalau tidak dimanfaatkan seoptimal mungkin maka tidak akan ada
artinya. Jadi, hadapi dan atasilah tantangan, dan manfaatkanlah berbagai
peluang yang ada untuk kehidupan yang lebih baik.
Sebagai
warga gereja, warga yang pada prinsipnya lebih mengutamakan kehidupan komunitas
tanpa mengabaikan kehidupan pribadi, kita terpanggil untuk saling menolong dan menguatkan.
Dalam kehidupan new normal ini dan
untuk seterusnya ke depan, akan muncul berbagai persoalan dan kesulitan yang
kita hadapi. Tetapi kita tidak perlu takut, mari kita saling menopang, supaya
tidak ada yang jatuh di antara kita, sebab dengan demikian kita sudah memenuhi
hukum Kristus. Gereja pun harus menjadi the
heavenly community for the broken, for
the sick, for the poor, and for the weak (komunitas surgawi bagi yang
hidupnya hancur, bagi yang sakit, bagi yang miskin, dan bagi mereka yang
lemah).
Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu!
Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus (Galatia 6:2)
Gbu
ReplyDelete