Gegap
gempita masyarakat kita menyambut pelonggaran PSBB di beberapa daerah, dan atau
penerapan kebijakan new normal (kenormalan
baru), sungguh luar biasa. Istilah new
normal menjadi populer sampai hari ini, dan lambat laun orang-orang mulai “melupakan”
pandemi Covid-19 sebab sepertinya masih “terhipnotis” dengan new normal. Di mana-mana kita mendengar
dan atau membaca “new normal”, mulai dari diskusi warung, hingga webinar yang
diselenggarakan oleh banyak pihak.
Sebelumnya,
hampir 3 minggu yang lalu, saya pernah menulis tentang new normal ini, yang intinya mempertanyakan kesiapan kita
menghadapi era kenormalan baru tersebut (baca: Sudah Siap?).
Walaupun ada beberapa orang yang tidak setuju dengan pandangan saya pada
tulisan tersebut, karena seolah-olah “kehilangan harapan” padahal saya adalah
hamba Tuhan (cieeee …), tetapi toh
masih banyak yang berakal sehat dengan mengajukan pertanyaan yang sama, apakah
kita ini sudah siap menjalani kehidupan di era yang baru “the new normal” karena pandemi Covid-19? Pertanyaan ini memang
tidak perlu dijawab dengan terburu-buru, sebab yang paling penting sebenarnya
adalah bagaimana kita berefleksi dan mempersiapkan diri menjalani kenormalan
baru tersebut.
Pada
akhir Mei 2020, tepatnya pada minggu perayaan turunnya Roh Kudus, banyak gereja
yang sudah mulai melaksanakan kebaktian di gedung gereja setelah sekitar 3
bulan dialihkan ke rumah. Katanya, kebaktian yang dilakukan tersebut tetap
mengikuti himbauan pemerintah soal protokol kesehatan, intinya berkebaktian ala
new normal dengan berbagai prosedur
yang harus disiapkan dan dilaksanakan. Sebenarnya, tidak ada yang terlalu baru
dengan protokol kesehatan new normal
tersebut, seperti yang dikatakan oleh Pengkhotbah bahwa tidak ada sesuatu yang
baru di bawah matahari (baca: New Normal yang Tidak Baru).
Pertanyaannya ialah apakah benar semua gereja-gereja yang melaksanakan
kebaktian tersebut sudah mengikuti protokol kesehatan yang seharusnya? Tolong dijawab
dengan jujur ya …
Pada
tanggal 6 Juni 2020, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), merilis
Pedoman Umum Mempersiapkan Ibadah Minggu pada masa Transisi, bagi yang belum
membacanya silakan baca di sini: Pedoman Ibadah di New Normal.
Pada pedoman tersebut, ada empat (4) bagian tahap persiapan, yang semuanya
berisi 28 butir pedoman, lumayan banyak. Nah, saya sendiri mengajukan
pertanyaan “apakah kita sudah siap”? Maksudnya, apakah kita sudah siap beribadah
sesuai dengan pedoman dari PGI tersebut? Atau, kita hanya siap beribadah tanpa
terlalu memusingkan diri dengan protokol kesehatan dan tanpa mengindahkan
pedoman dari PGI? Biasanya, gereja-gereja di wilayah yang masih belum terpapar
Covid-19, alias zona aman/hijau, merasa tidak harus mengikuti himbauan PGI
tersebut, dan bahkan di beberapa tempat merasa aman-aman saja, yang penting
jangan sampai ketahuan sama aparat.
Setelah
memasuki minggu ke-2 bulan Juni ini, apakah kita sudah siap dengan kenormalan
baru itu? Sulit rasanya mengatakan “belum/tidak siap” sebab kita sudah
melaksanakan kebaktian di gedung gereja yang mestinya menandakan bahwa kita
sudah siap untuk itu. Tetapi, apakah itu menjadi jaminan kesiapan kita? Menurut
saya, kebaktian yang sudah kita laksanakan kembali di gedung gereja serta
aktivitas masyarakat yang berangsur pulih, belum dapat dikatakan bahwa kita
sudah siap menjalani kehidupan dengan kenormalan baru itu. Walaupun ada
beberapa poin dari pedoman PGI tersebut yang menurut saya tidak realistis,
tetapi paling tidak PGI telah mengambil bagian penting dalam upaya menciptakan
persekutuan ibadah yang membuahkan kehidupan di tengah pandemi Covid-19. Kalau membaca
kembali 28 butir pedoman umum yang diterbitkan oleh PGI tadi, berapa persenkah
yang sudah kita penuhi? Jawab dengan jujur ya … Jadi, sebenarnya, kita ini
berada pada posisi antara sudah siap dan belum/tidak siap menjalani kehidupan
dengan kenormalan baru.
Mengapa
saya mengatakan bahwa kita ini berada pada posisi antara siap dan tidak siap? Karena
himbauan dan ketaatan pada protokol kesehatan tersebut belum menjadi gerakan
bersama, terutama di akar rumput. Dalam pengamatan saya, baik di dunia nyata
maupun di dunia maya, salah satu himbauan yang paling sering dilanggar adalah soal
jaga jarak (minimal 1 meter). Perhatikan dengan cermat jarak kita di gedung
gereja, apakah sudah memenuhi jarak minimal ke samping kiri-kanan dan
depan-belakang? Perhatikan dengan cermat kegiatan pembagian bansos (bantuan
sosial) di beberapa tempat seperti Kantor Pos, di Kecamatan, atau di desa-desa,
apakah tidak saling bersentuhan bahkan berdesak-desakan? Perhatikan harimbale, dan perhatikan juga beberapa
pusat perbelanjaan/pasar di Gunungsitoli, atau di daerah lain, apakah ada jaga
jarak minimal 1 meter? Apakah semua pakai masker? Apakah semua cuci tangan? Apakah
kita langsung membersihkan diri sepulang dari pasar, harimbale, atau tempat kerja? Apakah saudara-saudara kita yang baru
datang dari luar daerah sudah mengisolasi dirinya secara mandiri? Apakah pemeriksaan
di pelabuhan dan bandara dilaksanakan dengan ketat dan jujur?
Bagi yang hendak melakukan perjalanan ke luar daerah, perlu diingat bahwa Anda harus melengkapi surat keterangan sehat yang melampirkan hasil non reaktif covid-19 dengan biaya mandiri. Selain biayanya yang lumayan besar (silakan cari sendiri ya di google biaya rapid test mandiri Covid-19), pemeriksaan ini juga tidak bisa dilakukan oleh semua rumah sakit. Bagi mereka yang ada di zona merah, ya lebih ketat lagi.
Sudahlah, di sini saya tidak menginventarisasi sebanyak mungkin rincian kesiapan atau ketidaksiapan kita. Silakan selidiki sendiri, dan beri penilaian tingkat kesiapan atau ketidaksiapan kita. Kalau sudah siap, ya pertahankan dan tingkatkan, dan kalau ternyata masih belum siap … ya jangan menyerah … mari kita bekerja keras dan bekerja sama untuk menyiapkan diri dengan lebih baik. Sehubungan dengan itu, kita harus menyadari bahwa penyiapan diri ini tidak hanya mengikuti protokol kesehatan ketika ibadah, tetapi bagaimana kita siap menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan beribadah, untuk bangkit kembali dari keterpurukan yang sempat kita alami, dengan menjaga diri, orang lain dan komunitas kita, sebab kita terpanggil untuk menghadirkan kehidupan.
Bagi yang hendak melakukan perjalanan ke luar daerah, perlu diingat bahwa Anda harus melengkapi surat keterangan sehat yang melampirkan hasil non reaktif covid-19 dengan biaya mandiri. Selain biayanya yang lumayan besar (silakan cari sendiri ya di google biaya rapid test mandiri Covid-19), pemeriksaan ini juga tidak bisa dilakukan oleh semua rumah sakit. Bagi mereka yang ada di zona merah, ya lebih ketat lagi.
Sudahlah, di sini saya tidak menginventarisasi sebanyak mungkin rincian kesiapan atau ketidaksiapan kita. Silakan selidiki sendiri, dan beri penilaian tingkat kesiapan atau ketidaksiapan kita. Kalau sudah siap, ya pertahankan dan tingkatkan, dan kalau ternyata masih belum siap … ya jangan menyerah … mari kita bekerja keras dan bekerja sama untuk menyiapkan diri dengan lebih baik. Sehubungan dengan itu, kita harus menyadari bahwa penyiapan diri ini tidak hanya mengikuti protokol kesehatan ketika ibadah, tetapi bagaimana kita siap menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan beribadah, untuk bangkit kembali dari keterpurukan yang sempat kita alami, dengan menjaga diri, orang lain dan komunitas kita, sebab kita terpanggil untuk menghadirkan kehidupan.
Jangan
paranoid, ah! Seperti bukan orang Kristen saja, tidak beriman! Percuma kau
hamba Tuhan, seperti tidak punya harapan saja! Kau terlalu pesimis, anak-anak
Tuhan itu harus optimis, kita kan mempunyai Allah yang mampu mengatasi segala
perkara!
Itulah
beberapa perkataan yang sering dilontarkan oleh beberapa orang ketika kita menyerukan
pentingnya kewaspadaan dan penyiapan diri sehubungan dengan pandemi Covid-19
dan the new normal. Bro/sis, Yesus
sendiri berulang kali mengingatkan para murid dan pengikut-Nya untuk waspada
dan berjaga-jaga. Apakah Yesus kurang beriman atau kurang berpengharapan atau
kurang optimis? Silakan jawab sendiri!
“Karena itu, berjaga-jagalah,
sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya”
(Mat. 25:13)
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?