Wednesday, June 10, 2020

Menjalani New Normal: antara Siap dan Tidak Siap …


Gegap gempita masyarakat kita menyambut pelonggaran PSBB di beberapa daerah, dan atau penerapan kebijakan new normal (kenormalan baru), sungguh luar biasa. Istilah new normal menjadi populer sampai hari ini, dan lambat laun orang-orang mulai “melupakan” pandemi Covid-19 sebab sepertinya masih “terhipnotis” dengan new normal. Di mana-mana kita mendengar dan atau membaca “new normal”, mulai dari diskusi warung, hingga webinar yang diselenggarakan oleh banyak pihak.

Sebelumnya, hampir 3 minggu yang lalu, saya pernah menulis tentang new normal ini, yang intinya mempertanyakan kesiapan kita menghadapi era kenormalan baru tersebut (baca: Sudah Siap?). Walaupun ada beberapa orang yang tidak setuju dengan pandangan saya pada tulisan tersebut, karena seolah-olah “kehilangan harapan” padahal saya adalah hamba Tuhan (cieeee …), tetapi toh masih banyak yang berakal sehat dengan mengajukan pertanyaan yang sama, apakah kita ini sudah siap menjalani kehidupan di era yang baru “the new normal” karena pandemi Covid-19? Pertanyaan ini memang tidak perlu dijawab dengan terburu-buru, sebab yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana kita berefleksi dan mempersiapkan diri menjalani kenormalan baru tersebut.

Pada akhir Mei 2020, tepatnya pada minggu perayaan turunnya Roh Kudus, banyak gereja yang sudah mulai melaksanakan kebaktian di gedung gereja setelah sekitar 3 bulan dialihkan ke rumah. Katanya, kebaktian yang dilakukan tersebut tetap mengikuti himbauan pemerintah soal protokol kesehatan, intinya berkebaktian ala new normal dengan berbagai prosedur yang harus disiapkan dan dilaksanakan. Sebenarnya, tidak ada yang terlalu baru dengan protokol kesehatan new normal tersebut, seperti yang dikatakan oleh Pengkhotbah bahwa tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari (baca: New Normal yang Tidak Baru). Pertanyaannya ialah apakah benar semua gereja-gereja yang melaksanakan kebaktian tersebut sudah mengikuti protokol kesehatan yang seharusnya? Tolong dijawab dengan jujur ya …

Pada tanggal 6 Juni 2020, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), merilis Pedoman Umum Mempersiapkan Ibadah Minggu pada masa Transisi, bagi yang belum membacanya silakan baca di sini: Pedoman Ibadah di New Normal. Pada pedoman tersebut, ada empat (4) bagian tahap persiapan, yang semuanya berisi 28 butir pedoman, lumayan banyak. Nah, saya sendiri mengajukan pertanyaan “apakah kita sudah siap”? Maksudnya, apakah kita sudah siap beribadah sesuai dengan pedoman dari PGI tersebut? Atau, kita hanya siap beribadah tanpa terlalu memusingkan diri dengan protokol kesehatan dan tanpa mengindahkan pedoman dari PGI? Biasanya, gereja-gereja di wilayah yang masih belum terpapar Covid-19, alias zona aman/hijau, merasa tidak harus mengikuti himbauan PGI tersebut, dan bahkan di beberapa tempat merasa aman-aman saja, yang penting jangan sampai ketahuan sama aparat.

Setelah memasuki minggu ke-2 bulan Juni ini, apakah kita sudah siap dengan kenormalan baru itu? Sulit rasanya mengatakan “belum/tidak siap” sebab kita sudah melaksanakan kebaktian di gedung gereja yang mestinya menandakan bahwa kita sudah siap untuk itu. Tetapi, apakah itu menjadi jaminan kesiapan kita? Menurut saya, kebaktian yang sudah kita laksanakan kembali di gedung gereja serta aktivitas masyarakat yang berangsur pulih, belum dapat dikatakan bahwa kita sudah siap menjalani kehidupan dengan kenormalan baru itu. Walaupun ada beberapa poin dari pedoman PGI tersebut yang menurut saya tidak realistis, tetapi paling tidak PGI telah mengambil bagian penting dalam upaya menciptakan persekutuan ibadah yang membuahkan kehidupan di tengah pandemi Covid-19. Kalau membaca kembali 28 butir pedoman umum yang diterbitkan oleh PGI tadi, berapa persenkah yang sudah kita penuhi? Jawab dengan jujur ya … Jadi, sebenarnya, kita ini berada pada posisi antara sudah siap dan belum/tidak siap menjalani kehidupan dengan kenormalan baru.

Mengapa saya mengatakan bahwa kita ini berada pada posisi antara siap dan tidak siap? Karena himbauan dan ketaatan pada protokol kesehatan tersebut belum menjadi gerakan bersama, terutama di akar rumput. Dalam pengamatan saya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, salah satu himbauan yang paling sering dilanggar adalah soal jaga jarak (minimal 1 meter). Perhatikan dengan cermat jarak kita di gedung gereja, apakah sudah memenuhi jarak minimal ke samping kiri-kanan dan depan-belakang? Perhatikan dengan cermat kegiatan pembagian bansos (bantuan sosial) di beberapa tempat seperti Kantor Pos, di Kecamatan, atau di desa-desa, apakah tidak saling bersentuhan bahkan berdesak-desakan? Perhatikan harimbale, dan perhatikan juga beberapa pusat perbelanjaan/pasar di Gunungsitoli, atau di daerah lain, apakah ada jaga jarak minimal 1 meter? Apakah semua pakai masker? Apakah semua cuci tangan? Apakah kita langsung membersihkan diri sepulang dari pasar, harimbale, atau tempat kerja? Apakah saudara-saudara kita yang baru datang dari luar daerah sudah mengisolasi dirinya secara mandiri? Apakah pemeriksaan di pelabuhan dan bandara dilaksanakan dengan ketat dan jujur?

Bagi yang hendak melakukan perjalanan ke luar daerah, perlu diingat bahwa Anda harus melengkapi surat keterangan sehat yang melampirkan hasil non reaktif covid-19 dengan biaya mandiri. Selain biayanya yang lumayan besar (silakan cari sendiri ya di google biaya rapid test mandiri Covid-19), pemeriksaan ini juga tidak bisa dilakukan oleh semua rumah sakit. Bagi mereka yang ada di zona merah, ya lebih ketat lagi.

Sudahlah, di sini saya tidak menginventarisasi sebanyak mungkin rincian kesiapan atau ketidaksiapan kita. Silakan selidiki sendiri, dan beri penilaian tingkat kesiapan atau ketidaksiapan kita. Kalau sudah siap, ya pertahankan dan tingkatkan, dan kalau ternyata masih belum siap … ya jangan menyerah … mari kita bekerja keras dan bekerja sama untuk menyiapkan diri dengan lebih baik. Sehubungan dengan itu, kita harus menyadari bahwa penyiapan diri ini tidak hanya mengikuti protokol kesehatan ketika ibadah, tetapi bagaimana kita siap menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan beribadah, untuk bangkit kembali dari keterpurukan yang sempat kita alami, dengan menjaga diri, orang lain dan komunitas kita, sebab kita terpanggil untuk menghadirkan kehidupan.

Jangan paranoid, ah! Seperti bukan orang Kristen saja, tidak beriman! Percuma kau hamba Tuhan, seperti tidak punya harapan saja! Kau terlalu pesimis, anak-anak Tuhan itu harus optimis, kita kan mempunyai Allah yang mampu mengatasi segala perkara!

Itulah beberapa perkataan yang sering dilontarkan oleh beberapa orang ketika kita menyerukan pentingnya kewaspadaan dan penyiapan diri sehubungan dengan pandemi Covid-19 dan the new normal. Bro/sis, Yesus sendiri berulang kali mengingatkan para murid dan pengikut-Nya untuk waspada dan berjaga-jaga. Apakah Yesus kurang beriman atau kurang berpengharapan atau kurang optimis? Silakan jawab sendiri!

“Karena itu, berjaga-jagalah,
sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya”
(Mat. 25:13)

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...