Pokok Pikiran Khotbah Minggu, 13 Oktober 2013
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si
31:31 Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda,
31:32 bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN.
31:33 Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.
31:34 Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka.
Adakah di antara kita yang merasa diri tidak pernah bersalah? Tidak pernah berdosa? Saya kira tidak ada, semua sudah pernah berbuat salah, semua sudah pernah berbuat dosa! Dengan mengutip Mazmur, rasul Paulus juga pernah menegaskan keberdosaan manusia, “tidak ada yang benar, seorang pun tidak” (Roma 3:10 // Mzm. 14:1-3; 53:2-4).
Bagaimana rasanya jika kita sudah berbuat salah/dosa, tetapi belum dimaafkan, atau belum diampuni? Atau, bagaimana rasanya hidup dalam permusuhan satu dengan yang lain? Bagaimana rasanya misalnya kalau suami isteri bertengkar dan tidak cakapan sepanjang hari?
Ilustrasi: seorang abang/kakak yang bersalah – memecahkan gelas, takut orangtuanya akan marah. Dia berencana untuk mendiamkannya, seolah-olah belum terjadi apa-apa; sayang sekali adiknya melihat kejadian itu. Dia pun membujuk adiknya untuk tidak memberitahu orangtuanya, dan adiknya ini setuju dengan syarat sang abang/kakak harus memberikan apa pun yang diminta oleh sang adik, terutama makanan seperti permen dan sejeninya. Sang abang/kakak menyanggupinya, dan tentu sang adik senang. Hal itu berlangsung beberapa hari, sang adik menjadi semacam “tuan” atas abang/kakaknya, dan kadang-kadang mengancam kalau abang/kakaknya itu berusaha untuk tidak memberikan permintaan adik. Sang abang/kakak sangatlah menderita, sampai suatu saat dia memutuskan untuk menceritakan dengan jujur kepada orangtuanya bahwa dia sudah memecahkan gelas beberapa hari yang lalu, dan karenanya dia mohon maaf. Orangtuanya memang marah, tetapi itu hanyalah sesaat, setelah itu tidak lagi. Akhirnya, sang abang/kakak tadi merasa lega dan terbebas setelah orangtuanya memaafkannya.
Hal yang sama sebenarnya terjadi dalam diri kita. Selama kita belum mendapatkan pengampunan dosa, maka rasa bersalah, takut, was-was, gelisah, lö fa’ahono-dödö, lö fa’ohahau dödö; semua perasan itu negatif itu akan terus menghantui kita. Sebaliknya, apabila kita sudah mendapatkan pengampunan, kelegaan, kebebasan, dan kenyamanan akan kita rasakan. Daud pernah mengakui rasa pengampunan itu dalam mazmurnya, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi” (Mzm. 32:1).
Bukan hanya manusia yang berdosa saja, tetapi Tuhan juga pasti tahu bagaimana manusia yang belum mendapatkan pengampunan dosa dan belum dibaharui. Dia malah tahu kalau manusia itu membutuhkan pengampunan dan pembaharuan hidup. Hal ini berlaku juga bagi bangsa Israel, yang notabenenya umat pilihan Allah. Yeremia menubuatkan rencana dan atau tindakan pemulihan Allah atas umat-Nya yang keras kepala itu. Ditegaskan bahwa tingkah laku buruk bangsa Israel, terutama para pengambil kebijakan (agama dan pemerintah) sesungguhnya telah menyakiti hati Tuhan. Sebelumnya Yeremia beberapa kali mengecam bangsa Israel ini karena kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada orang miskin, kebijakan luar negeri yang mengandalkan kekuatan militer (bukan Tuhan), rasa percaya diri semu karena pemahaman sebagai umat pilihan Allah dengan hak-hak isitimewanya. Bagi Yeremia, perbuatan ini telah merusak perjanjian antara Allah dengan nenek moyang Israel, dan konsekuensinya adalah mereka harus dihukum, dibuang ke negeri orang.
Tetapi, benarlah pengakuan pemazmur, bahwa kasih setia Tuhan itu sungguh luar biasa, Dia mau saja mengampuni dan membaharui hidup orang-orang yang berdosa itu (Mzm. 103:8-13). Pepatah lama berbunyi: “seperti harimau, tidak makan anaknya sendiri”. Tuhan Allah jauh melebihi itu, Dia tidak pernah merencanakan dan melakukan yang jahat bagi umat-Nya, sekali pun mereka berbuat dosa. Rencana dan tindakan Tuhan selalu untuk kebaikan manusia. Itulah sebabnya Dia mau mengampuni dan melupakan pelanggaran/dosa bangsa Israel (ay. 34b), dan berkenan memulihkan keadaan mereka seperti sediakala ketika Dia mengikatkan perjanjian dengan leluhur bangsa itu. Orang yang sudah mendapatkan pengampunan, yang dosa-dosanya sudah dilupakan oleh Allah, dan yang sudah dibaharui oleh Roh Kudus, pasti membiarkan hati atau hidupnya diisi oleh kebenaran firman Tuhan (taurat), seperti dikatakan di ayat 33 tadi, “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku”. Ditegaskan juga bahwa “besar kecil sama-sama mengenal Tuhan” (ay. 34). Luar biasa bukan?
Berita Injil di Nias sudah berumur 148 tahun, suatu umur yang cukup panjang! Kekristenan juga sudah menyebar ke seluruh pelosok pulau Nias, bahkan menyebar ke luar daerah kita. Hebatnya lagi, pernah terjadi gerakan pertobatan massal di Nias dimana banyak orang yang meninggalkan perbuatan lamanya yang buruk, termasuk membuang segala bentuk pekerjaan kegelapan (okultisme), sehingga kedamaian ada di mana-mana. Namun, hal ini tidak menjadi jaminan bahwa kita saat ini tidak perlu lagi bertobat! Fakta sejarah itu justru menjadi cambuk bagi kita untuk menghasilkan buah-buah pertobatan di zaman yang penuh dengan “keanehan” dan ketidakpastian ini.
Kadang-kadang kita sulit memahami Allah, yang “mau saja” mengampuni dan melupakan dosa-dosa manusia, dan malah membaharui kehidupan manusia itu. Tetapi, kalau kita mencoba melihat dari perspektif “kasih karunia Allah” yang begitu besar, maka kita akan percaya bahwa karena tindakan luar biasa itulah makanya Dia layak dan tetap layak dipuji sebagai Tuhan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita diberi kesempatan untuk hidup kembali dalam dosa-dosa kita, sebab anugerah Allah itu diberikan supaya kita hidup menurut jalan Tuhan, hidup saling melayani, dan hidup dalam kasih (Gal. 5:13).