Khotbah Minggu, 24 Februari 2019
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo[1]
3:13 Bicaramu kurang ajar tentang Aku, firman TUHAN. Tetapi kamu berkata: “Apakah kami bicarakan di antara kami tentang Engkau?”
3:14 Kamu berkata: “Adalah sia-sia beribadah kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam?
3:15 Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat fasik itu, tetapi dengan mencobai Allahpun, mereka luput juga.”
3:16 Beginilah berbicara satu sama lain orang-orang yang takut akan TUHAN: “TUHAN memperhatikan dan mendengarnya; sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan TUHAN dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya.”
3:17 Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia.
3:18 Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya.
Tema ibadah kita minggu ini adalah ibadah yang benar (fasumangeta satulö). Saya pikir kita tentu mau beribadah kepada Tuhan, itu sebabnya kita ada di sini, di rumah Tuhan, untuk bersekutu dan beribadah kepada Tuhan. Kita bernyanyi, kita berdoa, kita memberi persembahan, ada yang membawa puji-pujian (a.l. kor dan vokal grup), untuk menyembah Tuhan, dan itulah salah satu bentuk ibadah kita kepada-Nya. Namun demikian, dalam faktanya selain ibadah yang benar, ada juga ibadah yang tidak benar, ibadah yang jahat, ibadah manipulatif. Dalam sejarahnya, ibadah kepada Tuhan pun seringkali dilakukan dengan motif dan dengan maksud yang jahat, bahkan akhir-akhir ini pun Tuhan diancam dalam doa hanya demi ambisi kekuasaan yang tak tertahankan. Orang-orang yang beribadah dengan motif dan maksud yang jahat dan salah terjadi di berbagai tempat, termasuk di antara orang-orang Kristen, terjadi di berbagai kalangan, baik warga jemaat biasa maupun para pelayan gereja.
Sementara itu, ada juga orang yang malah mengolok-olok Tuhan, baik dalam tindakan maupun dalam kata-kata, ada yang melakukannya secara langsung, ada pula yang melakukannya secara tidak langsung. Secara langsung, misalnya, mereka menghina Tuhan, menjadikannya sebagai bahan tertawaan dengan maksud mengejek, dan melakukan tindakan-tindakan yang merendahkan Tuhan. Secara tidak langsung, misalnya, mengolok-olok orang yang beribadah dengan tulus kepada Tuhan, menganggap orang beriman sebagai orang yang tidak berakal sehat, dan memperlakukan orang-orang beriman dengan cara-cara yang merendahkan.
Kita tidak perlu terkejut dengan fenomena ini, sebab hal seperti itu telah terjadi sejak dulu, bahkan di Israel sendiri, bangsa yang adalah umat pilihan Allah. Pada zaman nabi Maleakhi, pasca pembuangan dari Babel, bangsa Israel sebenarnya telah diperlakukan istimewa oleh Allah, sayang sekali ada saja orang yang menyalahgunakan keistimewaan tersebut untuk kepuasan duniawinya, ada yang menyalahgunakan dan mengabaikan ibadah yang tulus kepada Tuhan, ada yang tampak beribadah kepada Tuhan tetapi melakukan korupsi, termasuk korupsi persepuluhan dan persembahan lainnya kepada Tuhan. Lebih berani lagi, di antara orang Israel ada yang malah bicara kurang ajar tentang Tuhan, seperti disebutkan di ayat 14 dan 15. Mereka pun berani membantah Tuhan ketika nabi Maleakhi memperingatkan mereka (ay. 2). Mereka menganggap ibadah kepada Tuhan sebagai suatu kesia-siaan, tidak ada artinya, jadi tidak perlu beribadah kepada-Nya.
Mengapa muncul anggapan seperti ini? Ada dua penyebabnya menurut teks khotbah pada hari ini:
Pertama, masalah untung-rugi (ay. 14). Bangsa Israel ternyata memperhitungkan untung-rugi ketika beribadah kepada Tuhan. Ketika mendatangkan keuntungan, ibadah dilakukan, tetapi ketika tidak mendatangkan keuntungan, ibadah dianggap sia-sia, maka tidak perlu diteruskan lagi beribadah kepada Tuhan, bikin rugi. Jadi, ibadah kepada Tuhan dikelola dan dianggap seperti suatu perusahaan atau suatu bisnis yang berorientasi pada upaya memperoleh keuntungan, sama seperti prinsip ekonomi konvensional: “dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”. Fenomena seperti ini pun terjadi saat ini, gereja dan ibadah kepada Tuhan dikelola dengan prinsip dan cara-cara bisnis duniawi, selalu memperhitungkan untung-rugi menurut ukuran dunia, terutama ukuran ekonomi (profit). Di beberapa tempat, agama/gereja malah menjadi lahan bisnis para pelayan dan orang-orang tertentu, itulah sebabnya ada beberapa gereja melakukan pemasaran (marketing) di berbagai media, termasuk mengobral mukjizat Tuhan. Pada zaman ini pula ada para pelayan gereja yang cenderung memperhitungkan untung-rugi dalam pelayanan, lebih memilih pelayanan di tempat yang lebih menguntungkan dari berbagai aspek.
Kedua, persoalan terkait orang-orang gegabah di sekitar mereka (ay. 15). Mereka melihat orang-orang gegabah tersebut tampaknya berbahagia daripada orang-orang yang beribadah tulus kepada Tuhan. Mereka mengamati orang-orang fasik di sekitar mereka sepertinya mujur, beruntung terus, bahkan orang-orang yang mencobai Allah pun sepertinya tidak dihukum oleh Allah, biasa saja, demikian pengamatan mereka. Maka, untuk apa menyusahkan diri beribadah kepada Tuhan, untuk apa memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam? Lihat tuh orang-orang gegabah, hidup mereka baik-baik saja, tidak ada bedanya dengan orang-orang yang beribadah dengan tulus kepada Tuhan, malah orang-orang fasik itu lebih sukses, jadi buat apa takut akan Tuhan? Bukankah fenomena seperti ini terjadi juga saat ini? Banyak orang menjadi apatis atau acuh tak acuh terhadap kegiatan keagamaan, ibadah kepada Tuhan tidak dipedulikan. Mengapa? Karena kita melihat bagaimana orang-orang fasik sepertinya lebih sukses daripada orang-orang yang takut akan Tuhan. Banyak loh contohnya di sekitar kita. Apakah semua para koruptor dihukum? Tidak! Ada juga yang lolos, bahkan sampai akhir hidupnya. Apakah semua pelaku kejahatan tertangkap dan dihukum? Tidak! Ada saja yang lolos, bahkan kini sedang menikmati hasil-hasil kejahatannya. Bagaimana dengan orang-orang yang dengan tulus beribadah kepada Tuhan, orang-orang yang takut akan Tuhan? Sepertinya, biasa-biasa saja, malah sebagian hidupnya lebih menyedihkan. Orang-orang yang bekerja dengan baik, selalu mengandalkan Tuhan dalam hidupnya, seringkali kalah bersaing dengan orang-orang yang melakukan kejahatan, kalah bersaing dengan orang-orang yang menghalalkan segala cara dalam mendapatkan keinginannya. Siapa yang imannya tidak goyah melihat beberapa fakta seperti ini? Itulah sebabnya semakin banyak orang yang meninggalkan Tuhan, malah menertawakan-Nya, dan merendahkan orang-orang yang takut akan Tuhan.
Tetapi, apakah Tuhan memang membiarkan orang-orang fasik tanpa dihukum? Apakah Tuhan membiarkan orang-orang yang takut akan Dia semakin direndahkan? Tidak! Orang-orang yang berbicara kurang ajar tentang Tuhan ini, lupa bahwa ada saatnya nanti Tuhan akan memperlihatkan perbedaan orang-orang yang takut akan Tuhan dengan orang-orang fasik (ay. 17, 18). Pada akhirnya, Allah akan menunjukkan kasih setia-Nya kepada mereka yang beribadah dengan tulus kepada Tuhan, yang dengan sepenuh hati telah melayani Allah. Sementara itu, Allah pun akan mendatangkan hukuman atas orang-orang fasik, seperti yang diberitakan oleh nabi Maleakhi pada pasal 4 berikutnya (Maleakhi 4:1-2, dst). Jadi, iman kita, ibadah kita, tidak boleh diombang-ambingkan oleh perhitungan untung-rugi tadi, dan tidak boleh digoyahkan oleh orang-orang fasik yang ada di sekitar kita. Takutlah akan Tuhan sepenuh hati, beribadahlah kepadanya tanpa ragu, persembahkanlah seluruh hidupmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (bnd. Rm. 12:1b).