Khotbah Minggu, 06 Oktober 2019
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo[1]
“Aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah. Dan sekarang aku tahu, bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi, kamu sekalian yang telah kukunjungi untuk memberitakan Kerajaan Allah. Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa. Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu. Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri. Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka. Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata”.
Teks khotbah hari ini merupakan bagian dari kata-kata pamitan Paulus ketika dia hendak berpisah dengan para penatua jemaat Efesus, mulai dari ayat 18 hingga ayat 35. Paulus memanfaatkan acara perpisahan itu sebagai kesempatan terakhir yang berharga baginya untuk mengingatkan mereka bagaimana ia telah melayani Tuhan sepenuh hati, tentu dengan harapan para penatua itu juga akan mengikuti teladan yang telah ditunjukkan oleh Paulus, supaya para penatua itu sungguh-sungguh melaksanakan tugas pelayanan yang telah dipercayakan kepada mereka, sehingga jemaat Efesus tidak akan goyah sekalipun ada banyak tantangan dan ancaman (ay. 28-31).
Bagaimanakah Paulus melayani Tuhan sehingga patut diteladani? Atau, seperti apakah melayani Tuhan menurut Paulus?
(1) Melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati (ay. 19a)
Sebelum menjadi pengikut dan rasul Kristus, Paulus adalah seorang Farisi yang sangat taat pada hukum taurat Yahudi, ia termasuk dalam golongan elit, memiliki pengaruh yang kuat, dan itulah sebabnya dengan mudah dia mendapatkan surat kuasa dari Imam Besar Yahudi pada waktu itu untuk mengejar dan menangkap para pengikut Yesus (lih. Kis. 9:1-2). Jadi, Paulus sebenarnya memiliki latar belakang dan status sosial yang tinggi, status sosial yang patut dibanggakan pada waktu itu. Tetapi, setelah menjadi pelayan Kristus, apakah rasul Paulus kemudian pernah melayani dengan angkuh atau membangga-banggakan latar belakang status sosialnya yang tinggi? Tidak! Dia justru mengatakan: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Fil. 3:7-8). Jemaat Efesus sendiri didirikan oleh Paulus dengan perjuangan yang amat melelahkan, tetapi dia tidak pernah bersikap dan bertindak arogan. Paulus tidak pernah menuntut jemaat Efesus yang dia dirikan itu untuk menghormati dia secara istimewa. Dia melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati.
Bagaimana dengan kita sekarang? Apakah ada yang merasa paling berjasa di dalam gereja? Apakah ada yang dengan bangga merasa diri sebagai “tokoh penting” gereja? (Tokoh utama dan satu-satunya di dalam gereja adalah Tuhan Yesus, jangan pernah merebut posisi Tuhan tersebut, kecuali kalau ada yang menganggap diri sebagai “Tuhan”. Pendiri dan pemilik gereja satu-satunya adalah Kristus Yesus). Apakah ada yang, entah sadar atau tidak, menganggap pelayanan ini lebih “bergengsi” sementara pelayanan itu “rendahan/murahan”? Adakah orang yang ingin dianggap penting dalam gereja? Adakah orang yang ingin diistimewakan dalam gereja sama seperti keistimewaan para pejabat negara zaman now? Kalau ada, bertobatlah!
(2) Melayani Tuhan dengan sepenuh hati, mencucurkan air mata dan mengalami banyak pencobaan (ay. 19b), bahkan tanpa menghiraukan nyawanya sendiri (ay. 22-24a)
Kita sudah tahu bagaimana Paulus mengalami banyak kesulitan dan penderitaan karena melayani Tuhan. Orang-orang Yahudi sendiri, komunitas di mana dulunya Paulus amat dihormati, justru memusuhi Paulus bahkan mau membunuhnya. Paulus juga dikenal sebagai rasul bagi orang-orang non-Yahudi, tetapi apakah pelayanannya berjalan lancar? Tidak! Banyak juga orang-orang non-Yahudi yang memusuhi dia, dan bahkan Paulus pernah di penjara oleh karena pelayanan pemberitaan Injil yang dia lakukan. Dalam pelayanannya memberitakan Injil, Paulus banyak mengalami cobaan, termasuk tantangan dalam perjalanan, kesulitan keuangan sampai dia harus bekerja sendiri untuk membiayai hidupnya. Paulus pun harus mengalami sakit penyakit karena melayani Tuhan, dan tiga kali dia memohon pemulihan dari Tuhan, tetapi Tuhan menjawab: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor. 12:8-9).
Tetapi, apakah semuanya itu menghentikan semangat Paulus untuk melayani Tuhan? Tidak! Rasul Paulus rela menjalani semua kesulitan tersebut hanya untuk melayani Tuhan, dia tidak peduli apa pun yang akan terjadi dengan dia, bahkan nyawanya sekali pun. Paulus sudah mengambil keputusan untuk tetap melayani Tuhan apa pun risikonya. Itulah maksud dari perkataanya di surat Filipi 1:21 “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”.
Saat ini, walaupun sebagian gereja mengalami kesulitan dalam beribadah, tetapi secara umum kita lebih bebas melayani Tuhan. Secara konstitusional, kebebasan beragama dijamin, walaupun di beberapa tempat di Indonesia ini faktanya tidak seperti itu. Namun, dibandingkan dengan situasi Paulus, kita malah jauh lebih “enak”, lebih bebas, saking bebasnya sampai ada orang yang merasa gereja adalah milikinya, milik leluhurnya. Hari ini, kita diingatkan kembali, untuk siap sedia mengalami kesulitan dan penderitaan dalam melayani Tuhan. Melayani Tuhan berarti siap dan bersedia tidak dianggap. Melayani Tuhan berarti siap untuk dilupakan …
(3) Tidak pernah melalaikan tugas pelayanan, sekalipun dia sebenarnya punya alasan kuat untuk berhenti (ay. 20a, 27)
Sebenarnya, ada alasan yang kuat bagi Paulus untuk tidak melayani Tuhan, paling tidak untuk berhenti sementara. Cobaan begitu banyak, ancaman begitu nyata, penjara pernah didiami, dan sakit penyakit pernah dialami. Jadi, ada alasan kuat bagi Paulus untuk berhenti, tetapi apakah dia berhenti melayani Tuhan? Tidak! Jangankan berhenti, melalaikan sedikit saja tugas pelayanan, dia tidak pernah lakukan!
Saat ini, ada 1001 alasan bagi orang-orang Kristen untuk tidak melayani Tuhan. Kita memiliki begitu banyak alasan untuk melalaikan tugas pelayanan kita, bahkan ada yang berharap kurang sehat menjelang jadwal pelayanannya. Ada yang tiba-tiba tidak bisa memenuhi jadwal pelayanan dengan berbagai alasan, termasuk dengan alasan kurang sehat tadi.
(4) Melayani Tuhan dengan tidak membeda-bedakan tempat, status, dan latar belakang jemaatnya (ay. 20b-21)
Lihatlah, bagaimana Paulus memberitakan Injil Kristus kepada siapa pun tanpa membeda-bedakan. Dia melayani Tuhan dalam komunitas Yahudi, dia pun melakukan pelayanan kepada orang-orang non-Yahudi. Dia melakukan pelayanan kepada para pejabat agama dan pemerintahan, dia pun melakukan pelayanan yang sama kepada orang biasa bahkan kepada para budak pada waktu itu. Paulus tidak pernah mencari-cari alasan untuk mengistimewakan pelayanan kepada orang atau komunitas tertentu yang dianggap lebih tinggi/elit, dia tidak pernah mencari-cari alasan untuk mengabaikan pelayanan kepada orang atau komunitas tertentu yang dianggap lebih rendah.
Salah satu masalah klasik masyarakat kita sampai saat ini adalah sikap dan perlakuan yang membeda-bedakan orang, ada kelas elit atau eksklusif, ada kelas menengah, ada kelas biasa (ekonomi), dan ada kelas rendahan. Persoalan ini juga kadang-kadang terjadi dalam pelayanan kita di gereja. Kita memang melayani Tuhan, tetapi, entah disadari atau tidak, kualitas pelayanan kita ditentukan oleh orang seperti apa yang akan kita layani. Dalam relasi sehari-hari pun, pembeda-bedaan ini dapat terlihat. Hospitalitas (keramahtamahan) kita ditentukan oleh orang seperti apa yang akan berelasi dengan kita. Kalau dia pejabat, selebritas, kita tiba-tiba menjadi “ramah” dan berebut “selfie”, sedangkan kalau orang biasa, boroboro“selfie”, dilirik pun tidak. Pola pelayanan seperti ini pun dapat kita lihat di beberapa lembaga pelayan publik, walaupun tidak semua ya.
(5) Melayani Tuhan dengan hati yang tulus dan hidup yang bersih (ay. 26)
Paulus melayani Tuhan dengan motivasi dan tujuan yang benar. Dia melayani Tuhan dengan hati yang tulus, tidak bersungut-sungut, tidak memiliki agenda tertentu untuk kepentingan dirinya sendiri. Pelayanan Paulus semata-mata hanya untuk kemuliaan Tuhan, hanya untuk kepentingan keseluruhan jemaat. Paulus tidak pernah memanfaatkan kesempatan pelayanan untuk tujuan ekonomi, malah dia bekerja sendiri untuk membiayai hidupnya. Paulus tidak pernah melayani Tuhan supaya jemaat memuji dia, tujuan Paulus adalah kemuliaan Tuhan, bukan kemuliaan untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Paulus selalu menjaga agar hidupnya sehari-hari dapat menjadi contoh bagi orang-orang di sekitarnya, hidup yang bersih.
Hal ini menjadi contoh bagi kita semua, untuk melayani Tuhan dengan motivasi dan tujuan yang benar, berangkat dari hati yang tulus, dengan tujuan yang benar. Dengan pelayanan yang seperti ini, maka kehidupan kita sehari-hari pun akan lebih baik dan lebih bersih. Banyak orang yang melayani Tuhan tetapi dengan motivasi dan agenda pribadi yang terselubung, melayani Tuhan dengan tujuan tersembunyi untuk kesejahteraannya sendiri. Itulah sebabnya, banyak pelayanan zaman now yang “berbisnis” atas nama melayani Tuhan. Fenomena kehidupan beragama kita di Indonesia: “agama di-ekonomi-kan, ekonomi di-agama-kan”. Ini persis sama dengan kalimat: “Tuhan di-bisnis-kan, bisnis di-tuhan-kan”. Hari ini, rasul Paulus mengingatkan kita melalui teladan yang telah dia tunjukkan, untuk melayani Tuhan dengan motivasi dan tujuan yang benar, dan diikuti dengan pola hidup yang benar juga.
Jadi, bagaimana kita melayani Tuhan?
• Melayani Tuhan bukanlah sekadar aktif dalam kegiatan gereja, atau mau berkorban untuk kegiatan-kegiatan sosial. Kalau kita aktif di gereja dan rela berkorban supaya semua keinginan dan ide kita dipenuhi, itu bukan pelayan, melainkan JURAGAN.
• Kalau kita mau mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan materi untuk membantu orang-orang miskin dan untuk mendukung kegiatan gerejawi supaya kita popular dan mendapat pujian, itu bukan pelayan, melainkan POLITIKUS. Orang yang mengejar pamrih, perbuatannya seringkali tidak menjadi berkat, hanya sekadar PENCITRAAN.
• Banyak orang mau dan rela berbuat sesuatu karena ada pamrihnya. Melayani Tuhan pada prinsipnya adalah melayani tanpa MENGHARAPKAN pamrih apa pun, baik dari Tuhan maupun sesama.
Upah melayani Tuhan:
“Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil” (1 Kor. 9:18).