Bahan Khotbah Minggu, 15 Oktober 2023
Dipersiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Undangan Pertama dan Kedua yang Universal
Adalah suatu adat kebiasaan pada saat itu di daerah Palestina ada undangan awal dan ada undangan kedua yang disebar kepada para tamu ketika pesta (perjamuan kawin) sudah siap. Sang raja yang menyelenggarakan pesta itu mengundang semua, bahkan menyuruh hamba-hambanya untuk pergi ke persimpangan-persimpangan jalan supaya mereka datang ke perjamuan kawin itu (ay. 9), baik orang jahat maupun orang baik (ay. 10). Ini menggambarkan undangan sang raja yang universal supaya semua orang datang dan menikmati sukacita pesta bersamanya.
Sikap/Respons terhadap Undangan/Panggilan
Sayang sekali, undangan sang raja itu tidak ditanggapi dengan baik, tidak ditanggapi dengan sopan. Orang-orang yang diundang tersebut, baik pada undangan pertama maupun kedua, menolaknya dengan kasar. Tidak ada sedikit pun tanda kesopanan: “tetapi mereka menolak untuk datang” (ay. 3b); “tetapi mereka tidak mengindahkannya” (ay. 5a). Dengan jelas disebutkan dalam Matius: “ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya, dan yang lain menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya” (ay. 5b-6). Sikap dan respons orang-orang ini menggambarkan ketidakpedulian dan kesibukan mereka dengan hal-hal lain, dan sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat dan rasa takut kepada sang raja, sampai-sampai hamba-hambanya pun disiksa dan dibunuh. Kebangetan!
Asumsi awal yang mendasari perumpamaan ini adalah bahwa semua orang ingin diundang ke perjamuan kawin. Demikianlah perjamuan kawin di kota-kota Palestina serta dalam Kerajaan Surga. Idealnya, tak seorang pun pada zaman Yesus yang menolak undangan pesta pernikahan, apalagi undangan pada perjamuan eskatologis dalam Kerajaan Surga. Penolakan terhadap undangan ini berarti dengan sengaja menolak panggilan kasih karunia Allah, dan itulah yang dilakukan oleh umat Israel dan Yahudi pada zaman Yesus. Penolakan terhadap undangan untuk datang ke perjamuan kawin ini ada hubungannya dengan penolakan terhadap Yesus beserta jalan damai dari Tuhan.
Perumpamaan ini menggambarkan undangan kepada semua orang, Yahudi maupun nonYahudi, kaya dan miskin, ..., untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sayang sekali, banyak orang yang dengan sengaja menolak undangan atau panggilan itu, menolak kasih karunia Tuhan, menolak merayakan sukacita ilahi dalam Kerajaan Surga. Penolakan dengan berbagai bentuk/cara ini dapat ditemukan di segala zaman, tempat, dan konteks. Bukan hal baru lagi sekarang kalau banyak orang yang dengan sengaja, atau mencari-cari alasan untuk tidak peduli terhadap undangan atau ajakan untuk merayakan sukacita ilahi dalam Kerajaan Surga. Ada orang yang malah mengolok-olok undangan/ajakan/panggilan yang disampaikan kepadanya untuk ikut dalam pesta sukacita ilahi. Banyak orang yang memiliki 1001 macam alasan untuk tidak memenuhi undangan, ajakan, atau panggilan sang Raja kehidupan kita, dengan sengaja memilih untuk tidak mau direpotkan dengan urusan “ilahi”.
Sikap/Cara Ketika Memenuhi Undangan/Panggilan
Memenuhi undangan/panggilan sang raja ternyata tidak otomatis memberi jaminan bahwa sang raja menerimanya. Hal ini terbaca dengan jelas pada ayat 11-14, ketika ada orang yang datang ke pesta itu tetapi tidak mengenakan pakaian pesta, akhirnya dicampakkan ke luar. “Pakaian Pesta” (Yun. endyma gamou) tidak berarti “pakaian khusus, dipakai pada acara-acara perayaan, tetapi pakaian yang baru dicuci, dan sepertinya orang tersebut mengenakan baju yang kotor. Pada zaman itu, pakaian kotor dianggap sebagai penghinaan terhadap tuan rumah. Tamu tanpa pakaian pesta menerima kecaman keras. Walaupun hukuman yang diberikan tampaknya berlebihan untuk pelanggaran tersebut, tetapi penekanannya lebih pada bagaimana sikap dan cara setiap orang menghargai norma yang berlaku ketika datang memenuhi undangan/panggilan sang raja.
Norma komunitas Yahudi pada abad pertama adalah bahwa setiap orang wajib mengenakan pakaian pesta untuk perjamuan kawin. Artinya, datang pada perjamuan itu tanpa memakai pakaian pesta akan menjadi suatu penghinaan terhadap tuan rumah (fangosiwawöi, fango’aya), dan hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mengapa? Karena sikap/cara seperti itu akan menjadi tanda ketidakpedulian terhadap tradisi dan adat. Orang yang tidak memakai pakaian pesta dianggap telah menunjukkan penghinaannya terhadap tuan rumah sekaligus ketidakpedulian atau pengabaiannya akan hukum, dalam hal ini dapat dihubungkan dengan ketidakpedulian terhadap Taurat dan berbagai hukum yang terkait dengannya (ingat, pembaca awal Matius adalah keturunan Yahudi).
Tidak memakai pakaian pesta dalam perumpamaan ini ada hubungannya dengan “keangkuhan” dari setiap orang yang telah berada dalam pesta tersebut dan berpikir bahwa dirinya diterima otomatis oleh sang tuan rumah, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengusirnya. Ini adalah anggapan yang angkuh bahwa dia boleh datang untuk merayakan pesta dimaksud sesuka hatinya dengan caranya sendiri. Tetapi, tanggapan tuan rumah yang menyelenggarakan pesta kepadanya sungguh tanpa ampun. “Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (ay.13). Jadi akhir perumpamaan ini adalah panggilan kebangunan untuk siapa saja yang cukup sombong dengan berpikir bahwa toh kita telah otomatis menjadi anggota Kerajaan Surga, dan karenanya tidak perlu memedulikan keinginan tuan rumah. Harapannya adalah bahwa orang-orang yang telah dipanggil ke perjamuan juga harus memperhatikan hal-hal ini, yaitu “melakukan keadilan, belas kasih, mengasihi dan berjalan dengan rendah hati bersama Allah” sebagaimana dikatakan Yesus dalam Mat. 23:23.
Keluasan Panggilan Allah
Undangan raja dalam perumpamaan ini sungguh luas: pertama kali disampaikan di seluruh kota, kemudian di sekitarnya. Undangan atau panggilan sang raja untuk masuk dalam sukacita pestanya ditujukan bagi umat Israel (bnd. Mat. 15:24), tetapi undangan itu kemudian ditujukan juga kepada setiap orang tanpa pandang bulu dari berbagai suku bangsa (bnd. Mat. 4:23-25). Kita sudah pasti bagaimana umat Israel, orang-orang Yahudi, terutama para pemimpinnya, dengan sengaja menolak para nabi Allah sejak zaman PL, mereka bahkan menolah Putra Allah, yaitu Yesus hingga membunuh-Nya tanpa ragu. Penolakan umat Israel dan Yahudi ini justru telah membuka “jalan” yang lebih luas bagi bangsa-bangsa di segala tempat dan konteks, untuk masuk ke dalam pesta sukacita Kerajaan Surga. Hal ini merupakan anugerah Allah, diberikan dengan cuma-cuma, gratis, “murah” tetapi tidak “murahan”.
Benar bahwa ajakan untuk ikut dalam pesta surgawi telah disebar secara terbuka, setiap orang bisa mendapatkan undangan itu. Bagaimana respons kita terhadap undangan itu? Bagaimana juga sikap kita ketika datang ke pesta itu? Ingatlah kata-kata Yesus, “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih” (ay. 14).