Bahan Khotbah Minggu, 28 September 2014
(Pdt. Alokasih Gulo, M.Si)[1]
21:23 Lalu Yesus masuk ke Bait Allah, dan ketika Ia mengajar di situ, datanglah imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi kepada-Nya, dan bertanya: “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu?”
21:24 Jawab Yesus kepada mereka: “Aku juga akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu dan jikalau kamu memberi jawabnya kepada-Ku, Aku akan mengatakan juga kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.
21:25 Dari manakah baptisan Yohanes? Dari sorga atau dari manusia?” Mereka memperbincangkannya di antara mereka, dan berkata: “Jikalau kita katakan: Dari sorga, Ia akan berkata kepada kita: Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya?
21:26 Tetapi jikalau kita katakan: Dari manusia, kita takut kepada orang banyak, sebab semua orang menganggap Yohanes ini nabi.”
21:27 Lalu mereka menjawab Yesus: “Kami tidak tahu.” Dan Yesuspun berkata kepada mereka: “Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.”
21:28 “Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur.
21:29 Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi.
21:30 Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga.
21:31 Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka: “Yang terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.
21:32 Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya.”
Bagaimana kita “menilai” tingkat kesalehan atau ke-iman-an seseorang? Apa ukurannya? Bagaimana kita mengetahui tingkat pertumbuhan iman seseorang? Apa saja tanda-tandanya? Tulisan “agama”-kah di KTP? Status sosialnya? Kesibukannya dalam kegiatan gereja? Kehebatannya dalam perdebatan Firman Tuhan? Gelar atau jabatankah? Atau apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kita bercermin dari satu kisah perdebatan Yesus dan satu perumpamaan-Nya sebagaimana kita baca tadi dalam teks khotbah hari ini.
Konteks dari cerita ini adalah bahwa imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi marah kepada Yesus karena tindakan kenabiannyadalam membersihkan Bait Allah (Mat. 21:12-13). Jadi mereka bertanya tentang otoritas. Sumber pertanyaan mereka adalah bahwa Yesusmenurut mereka tidak memiliki kewenangan resmi, dan itulah maksud dari pertanyaan mereka: “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal ini?”
Pertanyaan mereka memiliki banyak kebencian. Seperti pertanyaan mereka kemudian tentang membayar pajak kepada kaisar (Mat. 22:15, dab), mereka mencoba menggiring Yesus dalam kesulitan. Perhatikanlah pertanyaan mereka yang sangat menjebak itu: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat. 22:16-17). Jika Yesus berkata, “Dari Allah,” itu artinya Ia akan bertanggung jawab untuk tuduhan penghujatan, dan jika Ia mengatakan, “Dari manusia,” Ia mungkin bersalah atas kejahatan atau, setidaknya, akan didiskreditkan di mata rakyat. Sungguh dilematis! Pertanyaan mereka merupakan respon terhadap tindakan Yesus di Bait Allah yang sangat kritis terhadap imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi yang mengelola kompleks bait suci. Tindakan Yesus jelas tindakan kenabian. Tindakan-Nya itu tidaklah melanggar hukum, tetapi dapat dianggapa sebagai serangan publik terhadap pemerintahan resmi.
Sehubungan dengan pertanyaan mereka akan otoritas Yesus dalam teks renungan kita pada hari ini, Yesus menjawab imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi tersebut dengan kembali mengajukan pertanyaan kepada mereka: “Dari manakah baptisan Yohanes? Dari surga atau dari manusia?” Mereka mati kutu! Mereka enggan menjawab pertanyaan ini karena orang banyak percaya bahwa otoritas Yohanes datang dari Allah, sementara mereka sendiri tidak mau mengakuinya (Mat. 21:25b-26). Implikasi dari pertanyaan Yesus ini sebenarnya adalah sebuah pemberitahuan tersirat bahwa otoritas Yesus itu berasal dari Allah (sama seperti Yohanes Pembaptis). Tetapi Yesus tidak ingin mengatakan hal itu secara langsung karena mereka akan dengan mudah mendakwa-Nya karena penghujatan Allah.
Cerita ini disusun dalam dua bagian, dengan komentarpenutup yang menghubungkan keduanya. Bagian pertama merupakan pembahasantentang “otoritas”, dan bagian kedua merupakan perumpamaan tentang dua anak. Masing-masing dari dua bagian terdiri dari empat episode, dan terakhir Yesus menyampaikan komentar kesimpulan.
Kisah ini dikelilingi dan didominasi oleh pertentangan-pertentangan Yesus dengan para pemimpin Yahudi. Perumpamaantentang dua anak memiliki hubunganyang erat dengan pertentangan atau konflik yang diungkapkan pada bagian sebelumnya. Jelasimplikasinya adalah bahwa imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi itu sama seperti anak kedua yangberpura-pura melakukan kehendak ayah tetapi kemudian tidak (dalam Alkitab TB dari LAI disebutkan sebagai anak pertama). Sebaliknya, para pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal (pelacur) ibarat anak pertama (dalam Alkitab TB dari LAI disebutkan sebagai anak kedua), yang mengatakanmereka tidak akan melakukan kehendakAllah dan mematuhi hukum tetapi kemudian mereka melakukannya,sebab mereka percaya.
Kisah dan perumpamaan ini mengajak kita semua, para pembaca dan atau pendengar, untuk memperhatikan imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi tersebut dengan segala implikasinya bagi mereka, sekaligus juga mempertimbangkan implikasinya bagi kita masing-masing saat ini. Untuk apa gelar yang kita miliki seperti imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi misalnya? Apakah kita katakan, “Ya, ya, tentu kami akan melakukan apa pun yang Tuhan inginkan,” dan kemudian tidak menindaklanjutinyadalam tindakan nyata? Ini adalah dilema orang benar. Hal inilah yang hendak disampaikan oleh perumpamaan inidengan cara yang sangat langsung. Dalam menceritakannya, penulis merasa penting untuk membuat pertentangan antara anak pertama dan anak kedua, dimana respon anak kedua adalah respon orang yang saleh, dan respon anak pertama adalah respon orang memberontak.
Kesalehan (ke-iman-an) seseorang tidak ditentukan oleh gelar, sebutan, predikat atau pun jabatan yang dimilikinya di berbagai bidang, termasuk di dalam gereja; juga tidak ditentukan oleh hebatnya dalam berdebat atau berdiskusi akan Firman Tuhan atau seberapa banyak ayat-ayat Alkitab yang dikuasainya; juga tidak ditentukan oleh seberapa banyak dia berdoa atau berkebaktian setiap hari, dlsbg. Cerita perdebatan Yesus dengan para imam kepala dan tua-tua Yahudi – yang didahului dengan tindakan penyucian bait Allah oleh Yesus – diteruskan dengan perumpamaan tentang dua orang anak, hendak memberikan kita gambaran bagaimana orang-orang di sepanjang zaman seringkali terjebak dalam pola hidup ber-iman yang sifatnya lahiriah, dan mengabaikan tindakan nyata dari kehidupan ber-imannya itu.
Banyak orang Kristen zaman sekarang yang secara lahiriah dapat disebut sebagai orang beriman atau orang yang percaya kepada Kristus, tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak mencerminkan pola hidup ber-iman; bahkan tidak sedikit orang Kristen, termasuk para pemuka/tokoh, yang justru menjadi batu sandungan bagi sesamanya. Suatu keanehan misalnya seorang ayah melarang anaknya merokok dengan alasan “tidak sehat atau tidak baik” sementara sang ayah sendiri adalah perokok, namun membela diri dengan mengatakan “orangtua tidak apa-apa”. Keanehan seperti ini pada satu sisi mencerminkan ketidakmampuan sang ayah memberikan teladan bagi anaknya, sekaligus memberikan pelajaran tersirat kepada sang anak bahwa “melakukan sesuatu yang tidak sehat atau tidak baik itu tidak apa-apa kalau sudah menjadi orangtua”. Tentu kita sudah bisa membayangkan seperti apa anak tersebut ketika dia menjadi dewasa atau orangtua kelak.
Suatu keanehan juga misalnya kalau para pengajar (pelayan, guru) menuntut siswanya untuk belajar keras sementara dirinya sendiri tidak pernah belajar menyiapkan materi pelajaran dengan lebih baik. Aneh juga kalau ada orang sangat kritis terhadap sesamanya, misalnya terhadap pelayan gereja, tetapi ketika dirinya sendiri menjadi pelayan, tingkah laku dan pelayanannya juga malah lebih buruk dari pendahulunya. Sedih rasanya melihat banyaknya orang Kristen yang mengaku percaya kepada Tuhan, terutama ketika ada masalah, tetapi kemudian akan berpaling pada kehendak hatinya sendiri setelah masalah terselesaikan.
Kembali pada pertanyaan awal tadi, bagaimana kita melihat kesalehan atau ke-iman-an seseorang? Ternyata, intinya adalah percaya kepada Yesus, bahwa Dia memiliki otoritas dari Allah, dan inti dari kepercayaan ini adalah melakukan kehendak Bapa yang di surga. Bertumbuh ke arah Kristus merupakan tema perayaan Misi dan Reformasi tahun ini di BNKP. Sangat menarik! Apakah kita sudah bertumbuh di dan ke arah Kristus? Mungkin ya mungkin juga tidak! Apa tanda pertumbuhan itu? Sederhana, percaya kepada Kristus sebagai “Oknum” yang memiliki Otoritas atas diri kita, dan melakukan kehendak Kristus yang ber-otoritas itu.
[1]Bahan Khotbah Minggu Perayaan Misi dan Reformasi BNKP Jemaat Hiliamaigila Resort 24, tanggal 28 September 2014, oleh Pdt. Alokasih Gulo.