Rancangan Khotbah Minggu, 26 Februari 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]
Saat ini, kita hidup di era kebebasan, era di mana setiap orang dijamin haknya oleh undang-undang untuk menikmati kebebasan tersebut, walaupun ada juga pembatasan-pembatasan terhadap penggunaan hak “bebas” itu. Kebebasan ini pada satu sisi memberi dampak positif yang cukup banyak, terutama pada aspek kemandirian setiap orang dalam menjalani kehidupannya masing-masing; namun banyak juga memberi dampak negatif, salah satunya adalah manusia cenderung tidak mau “diikat” oleh si-apa pun di sekitarnya, tidak mau diatur oleh si-apa pun. Hal ini terlihat misalnya dalam keluarga, dimana semakin banyak anak-anak yang tidak mau “tunduk” pada aturan keluarga yang diberikan oleh orangtuanya, dan mereka lebih suka menjalani kehidupan mereka menurut “selera” mereka. Bahkan tidak sedikit anak-anak yang justru mengancam dan melawan orangtuanya.
Kecenderungan manusia untuk melawan orang-orang atau pihak-pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi dari mereka memang telah terjadi sejak pada mulanya, ketika manusia pertama (Adam dan Hawa) melawan Tuhan dengan cara tidak taat pada perintah Tuhan dan memilih mengikuti penyesatan “ular” pada waktu itu. Perlawanan semacam ini pun terjadi sepanjang sejarah dunia, manusia terus berusaha melawan Tuhan dan orang-orang pilihan Tuhan. Bangsa Israel sendiri sering memberontak kepada Tuhan dan orang-orang pilihan-Nya, baik selama perjalanan di padang gurun maupun setelah mereka sampai di tanah Kanaan. Intinya adalah bahwa manusia cenderung melawan orang/pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi dari dirinya, dan kecenderungan ini semakin “merajalela” seiring dengan kebebasan yang diberikan kepada manusia.
Namun, fakta juga membuktikan bahwa “perlawanan” manusia tersebut, terutama perlawanan terhadap Tuhan dan orang-orang pilihan-Nya, selalu mendatangkan malapetaka bagi mereka yang melakukannya. Banyak sekali contohnya, Adam dan Hawa diusir dari taman Eden, peristiwa air bah, penghukuman bangsa Israel di padang gurun, kematian Absalom yang memberontak terhadap ayahnya raja Daud, pembuangan bangsa Israel ke Babel, dst. Itulah risiko dari rencana dan tindakan manusia yang melawan Tuhan dan (orang) pilihan-Nya, selalu berakhir dengan kekacauan dan kehancuran, terutama bagi mereka yang suka melawan itu.
Fakta sejarah inilah yang kemudian mendorong pemazmur untuk mengungkapkan keheranannya atas pemufakatan bangsa-bangsa melawan Tuhan dan orang-orang yang diurapi-Nya (ay. 1-3), sebab bangsa-bangsa itu seperti tidak belajar dari sejarah/pengalaman, bahwa Tuhan sendiri tidak akan tinggal diam atas pemufakatan mereka itu, Dia akan mengolok-olok mereka, dan mengejutkan mereka dengan amarah atau murka-Nya yang pada akhirnya mendatangkan kebinasaan bagi bangsa-bangsa yang memberontak itu (ay. 4-6, bnd. ay. 12). Pada bagian ini pemazmur mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak akan pernah membiarkan siapa pun terus menerus menggunakan kebebasannya untuk melawan Dia dan orang-orang pilihan-Nya, cepat atau lambat Tuhan akan bertindak, cepat atau lambat perlawanan itu akan “diberantas” oleh Tuhan sendiri, dan ujung-ujungnya adalah kebinasaan, kekacauan, atau kehancuran bagi mereka yang memiliki rencana jahat tersebut. Banyak orang yang tidak sadar bahwa perlawanannya terhadap orang/pihak tertentu yang sebenarnya telah dipilih/ditentukan oleh Tuhan untuk pekerjaan tertentu, adalah perlawanan terhadap Tuhan sendiri. Banyak orang misalnya yang dengan mudah melawan pemimpinnya dan tidak mau mengikuti kebijakannya, karena berpikir pemimpinnya itu hanyalah manusia biasa dan kebijakannya itu tidak sesuai dengan selera atau keinginan kita. Lihat misalnya bagaimana pemufakatan-pemufakatan jahat beberapa orang terhadap pemimpin negara kita, salah satu yang paling memprihatinkan dewasa ini adalah dengan menyebarkan berita bohong (hoax)tentang pemerintah kita yang sah, dan mengajak kita untuk ikut bersama mereka dalam pemufakatan jahat itu. Hal yang sama juga terjadi terhadap pemimpin kita di bidang keagamaan atau kegerejaan, banyak orang yang melawan mereka dalam berbagai bentuk, dan bahkan menakut-nakuti orang-orang “pilihan Tuhan” itu dengan ancaman “memisahkan diri”.
Atau, lihat misalnya anak-anak muda zaman sekarang yang suka melawan orangtuanya, suka melawan guru-gurunya, tidak lagi menghargai orang-orang yang lebih tua dari dirinya, dan melakukan banyak tindakan yang secara tidak langsung hendak menunjukkan perlawanan generasi muda terhadap generasi yang lebih tua, perlawanan terhadap generasi yang dianggap memiliki otoritas lebih tinggi dari mereka. Ini ironis memang, sebab semakin banyak orang yang secara tidak sadar sedang melakukan perlawanan atau pemberontakan terhadap Tuhan, namun seolah-olah hanya melawan manusia saja. Akibatnya memang buruk, kehancuran dan kekacauan yang tiada hentinya.
Melihat realitas itu, maka pemazmur mengajak kita untuk segera mengakhir semua bentuk pemufakatan jahat itu, ena’ö taröi sa’ae wa’atandrofö andrö, me lö gunania, me fefu ngawalö wolawa, fa’abe’e mbörö du’i, ha sambalö i’ohe ita ba wa’atekiko, tobali dumaduma si lö sökhi ba ndraono ba ba ma’uwuda dania. Selain itu, pemazmur juga mengajak kita untuk (hanya) beribadah kepada Tuhan saja, dan bertindak bijaksana dalam menjalani kehidupan ini, sebab hanya dengan cara itulah kita akan menikmati kebaikan (berkat) yang dari Tuhan (ay. 10-12). Bagi pemazmur, apa pun situasi kita, termasuk ketika kita merasa tertindas misalnya di bawah “kekuasaan” orang-orang tertentu, hal yang paling utama adalah tetap beribadah kepada Tuhan dan bertindak bijaksana. Kata-kata ini juga berlaku kepada para “penguasa”, supaya mereka juga tetap beribadah (hanya) kepada Tuhan, dan supaya mereka selalu bijaksana dalam setiap keputusan dan tindakan mereka. Baik pemimpin, maupun yang dipimpin, harus sama-sama tunduk dan berlindung dalam naungan kasih Tuhan, sebab dengan demikian kita akan menikmati kebahagiaan yang sejati.