Rancangan Khotbah Minggu, 12 Februari 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo [1]
Berbagai cara dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan kebahagiaan itu, ada yang menempuh jalan yang lurus, ada juga yang berusaha mendapatkannya dengan cara-cara yang tidak sehat bahkan melalui jalan kejahatan. Hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh pemahaman manusia akan kebahagiaan itu sendiri.
Di Nias (dulu) misalnya, orangtua akan merasa berbahagia kalau anaknya telah menikah, itulah sebabnya dulu orang Nias itu ada yang mengumpulkan hartanya dari waktu ke waktu (hanya) untuk menikahkan anaknya, apalagi kalau bisa melakukan pesta besar. Ada yang merasa sangat berbahagia kalau sudah memiliki anak. Ada juga yang merasa bahagia kalau anak-anaknya sudah menyelesaikan studi, apalagi kalau sudah mendapatkan gelar sarjana dan pasca sarjana, sampai-sampai diekspos ke dunia maya. Ada juga yang merasa bahagia kalau sudah menduduki jabatan tertentu, sampai-sampai ada yang “membeli” jabatan tersebut, paling tidak “berusaha keras” untuk mendapatkan jabatan itu, mudah-mudahan itu tidak terjadi dalam pemilihan SNK, personalia komisi, serta BPMJ tahun ini. Ada juga yang merasa bahagia kalau sudah memiliki kekayaan, sehingga banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi kaya, apalagi di zaman modern ini manusia berlomba-lomba memiliki barang mewah (rumah mewah, mobil mewah, dan barang-barang mewah lainnya). Masih banyak lagi contoh kebahagiaan yang didambakan oleh manusia, intinya adalah manusia menginginkan kehidupan yang bahagia.
Keinginan manusia untuk hidup bahagia sebenarnya tidak salah, atau adakah di antara bapak/ibu/sdra/sdri yang tidak mau bahagia? Manusia “normal” pasti mendambakan kebahagiaan, dan itu sangat wajar. Pertanyaannya sekarang ialah apa ukuran kebahagiaan itu, dan bagaimana cara mendapatkannya? Lalu, seperti apakah kebahagiaan yang sejati itu?
Menurut teks khotbah hari ini, ukuran kebahagiaan yang sejati itu tidak terletak pada berapa banyak kekayaan/harta yang sudah dimiliki manusia, tidak juga terletak pada jabatan apa yang diduduki oleh seseorang, tidak juga terletak pada setinggi apa pendidikan yang sudah kita dapatkan (termasuk pendidikan anak-anak), dan tidak terletak pada berapa banyak anak yang kita miliki. Itu semua penting, tetapi tidak bisa menjadi ukuran kebahagiaan yang sejati. Bagi pemazmur, kita boleh-boleh saja memiliki dan mengejar semua kebahagiaan “duniawi” itu, tetapi sesungguhnya orang-orang yang berbahagia adalah mereka yang menjalani kehidupannya dengan tidak bercela, hidup menurut Taurat dan jalan-jalan TUHAN, memegang peringatan-peringatan TUHAN, mencari TUHAN dengan segenap hati, dan tidak melakukan kejahatan (ay. 1-3). Ternyata kebahagiaan yang sejati itu sederhana, yaitu taat pada hukum/ketetapan TUHAN. Itulah sebabnya pemazmur pada hari ini menasihati kita untuk berjalan dalam hukum/ketetapan TUHAN, sebab cara hidup yang demikianlah yang menjadi kunci untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati, kunci untuk mendapatkan berkat. Apa alasannya?
Pertama,dengan taat atau berjalan dalam hukum/ketetapan Allah, maka manusia akan lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupannya yang sangat dinamis, dan itulah sebabnya pemazmur menegaskan bahwa dia sendiri berpegang teguh pada perintah-perintah TUHAN. Tidak usah mencari contoh yang terlalu jauh, dalam keluarga misalnya, setiap orang diberi kebebasan untuk melakukan apa saja yang dia inginkan dan tidak perlu mengikuti aturan yang berlaku, maka dapat dipastikan akan terjadi kekacauan dan kehancuran dalam keluarga itu, sebab masing-masing bertindak bebas, tanpa aturan, dan tidak hati-hati sampai suatu saat jatuh dan hancur. Atau, lihat misalnya orang yang cenderung tidak taat pada aturan ber-lalulintas di jalan raya, dapat menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri, keluarga, bahkan orang lain di sekitarnya. Jadi, benar bahwa dengan taat atau berjalan dalam hukum/ketetapan Allah, maka manusia akan lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupannya. Dengan taat pada hukum/ketetapan Allah kita akan selalu menjaga tutur kata kita, tindak tanduk kita, dan seluruh gerak hidup kita, sesuai dengan hukum/ketetapan Allah dimaksud, dan pada akhirnya pun kita terhindar dari berbagai kehancuran hidup yang semakin mengancam dewasa ini.
Kedua,secara eksplisit pemazmur mengatakan bahwa dengan taat atau berjalan dalam hukum/ketetapan Allah, maka manusia itu tidak akan mendapat malu (ay. 6), lö falukha wa’aila. Hal ini dapat dihubungkan dengan alasan yang pertama tadi, yaitu bahwa dengan taat atau berjalan dalam hukum/ketetapan Allah, maka manusia akan lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupannya. Kehati-hatian menjalani kehidupan inilah yang kemudian sangat menolong manusia untuk terhindar dari berbagai hal yang “memalukan”. Lihat misalnya, orang-orang yang tidak mau diatur, orang-orang yang tidak taat pada hukum/ketetapan Allah, suatu saat akan jatuh, dan seringkali kejatuhannya itu membuatnya malu, dan tidak sedikit orang yang stres bahkan gila karena merasa malu pada apa yang terjadi dalam dirinya. Orang yang ceroboh (karena tidak mendengarkan nasihat orang-orang bijak, tidak mau tahu aturan yang baik), suatu saat akan jatuh dan mendapat malu. Itulah sebabnya pemazmur meyakinkan kita pada hari ini bahwa orang yang taat dan berjalan dalam hukum/ketetapan Allah tidak akan mendapat malu, sebab dia akan berhati-hati dalam apa pun yang dia katakan dan lakukan.
Maka, berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari Dia dengan segenap hati.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?