Rancangan Khotbah Minggu, 30 April 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]
Apabila ada kejadian luar biasa akan menjadi pembicaraan yang cukup lama di tengah-tengah jemaat dan masyarakat, dan semua orang akan mengetahuinya. Hal yang sama juga terjadi melalui peristiwa penyaliban dan kematian Yesus. Peristiwa penyaliban sendiri sebenarnya pada zaman itu bukan hal baru, karena sudah menjadi kebiasaan di wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi untuk menghukum orang-orang yang dianggap sebagai pemberontak. Namun, peristiwa penyaliban dan kematian Yesus Kristus menjadi sesuatu yang istimewa, sesuatu yang luar biasa. Selama kurang lebih tiga (3) tahun Yesus mengajar dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berkuasa, sehingga membuat-Nya sangat populer pada waktu itu, mengalahkan popularitas para pemimpin agama Yahudi, sehingga apa pun yang terjadi dengan Dia akan selalu mendapat perhatian dari masyarakat banyak. Demikian juga ketika Yesus ditangkap, disalibkan, dan mati, telah menyedot perhatian publik, apalagi peristiwa itu sungguh-sungguh dramatis. Jadi, peristiwa penyaliban dan kematian Yesus sudah menjadi pembicaraan publik selama beberapa hari, hampir tidak ada orang yang tidak mengetahuinya, baik penduduk Yerusalem maupun para pendatang.
Namun, ada orang yang bertemu dengan murid-murid Yesus ketika mereka dalam perjalanan menuju Emaus, yang sepertinya tidak tahu apa yang sedang terjadi, seolah-olah peristiwa menghebohkan itu belum terjadi. Orang itu adalah Yesus sendiri, sayang sekali kedua murid tersebut tidak mengenal-Nya. Ini memang aneh, baru beberapa hari tidak bertemu dengan Dia sejak kematian-Nya, mereka kini sudah tidak mengenal-Nya. Itulah sebabnya mereka begitu kesal ketika Yesus datang dan berjalan bersama mereka serta menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Perhatikan perkataan Kleopas: “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” (ay. 18). Ketika Yesus pun menjelaskan kepada mereka isi kitab suci tentang apa yang harus terjadi dan dialami oleh Kristus, hati mereka pun berkobar-kobar, ha buala no ladölö khö Yesu me Ibotokhi ba dödöra nösi zura ni’amoni’ö awö niwa’ö ndra sama’ele’ö andrö. Mereka baru sadar dan mengenal Yesus ketika Yesus melayani mereka dalam perjamuan makan malam itu (ay. 30), sama seperti yang biasa Yesus lakukan ketika mereka bersama-sama sebelumnya. Walaupun mereka belum sempat memohon maaf kepada Yesus, namun pada akhirnya peristiwa perjumpaan dengan Yesus itu telah membuka hati mereka sekaligus telah memberi mereka keyakinan dan keberanian untuk menceritakan bahwa “benar, Kristus telah bangkit” (ay. 34-35). Pengenalan, pengakuan, dan kesaksian mereka tentang Yesus yang bangkit ini terjadi karena kuasa Tuhan yang telah mengisi kehidupan mereka.
Pertanyaannya ialah apa yang menghalangi para murid itu pada awalnya tidak mengenal Yesus dan malah hati mereka berkobar-kobar kepada-Nya? Ternyata, kedua murid tersebut, bahkan murid-murid yang lain juga:
· Masih merasa sedih dan kecewa atas apa yang terjadi dengan Yesus, masih tidak percaya bahwa Yesus disalibkan dan mati. Mengapa? Karena sebelumnya mereka berharap bahwa Yesus datang untuk membebaskan bangsa Israel (ay. 21) dari penjajahan kekaisaran Romawi. Jadi, ada kesenjangan antara harapan dan realitas. Kesedihan dan kekecewaan masih menguasai mereka, dan hal itu turut menghalangi mereka untuk mengenal Yesus. Mereka tidak menerima realitas bahwa Yesus itu harus menderita dan mati di kayu salib, mereka tidak setuju dengan “jalan salib” yang harus dilalui oleh Yesus.
· Ada rasa “was-was” terhadap orang Yahudi yang baru saja menyalibkan Yesus, dan itu merupakan ancaman juga bagi mereka serta murid-murid yang lain. Ketika Yesus ditangkap dan disalibkan mereka semua melarikan diri da bersembunyi, sebab orang-orang Yahudi akan menangkap mereka juga. Ketakutan itu masih menyelimuti mereka, bahkan membicarakan tentang Yesus pun harus berhati-hati. Itu juga sebabnya mereka tidak langsung percaya pada informasi kebangkitan Yesus itu seperti, mereka beranggapan bahwa tubuh Yesus “hilang” begitu saja dari kubur.
Hal di atas telah menjadi penghalang bagi mereka untuk mengenal Yesus, bahkan tidak mengingat lagi apa yang tertulis dalam kitab suci tentang Kristus itu. Ini menunjukkan bahwa kesedihan, kekecewaan, dan ketakutan yang berlebihan telah menghalangi mereka untuk mengenal Yesus, telah menghalangi mereka untuk memahami peristiwa kebangkitan Kristus. Mereka kehilangan akal sehat, mungkin terlalu “baper”, sulit “move-on”, sama seperti orang-orang yang sampai hari ini tidak menerima kekalahan Ahok pada pilgub DKI Jakarta, atau seperti pemuda/i yang “menutup hatinya” bagi orang lain hanya karena dia ditinggalkan oleh sahabatnya.
Tetapi, syukurlah, pada akhirnya, oleh kuasa Tuhan, kedua murid tadi mengenal Yesus dan memahami apa sebenarnya yang harus terjadi dengan Kristus, yaitu bahwa penyaliban dan kematian-Nya itu bukanlah akhir dari segala-galanya. Peristiwa menghebohkan itu justru menjadi semacam “batu loncatan” untuk peristiwa yang jauh lebih besar, yaitu kebangkitan Kristus. Kuasa Kristus yang bangkit inilah yang pada akhirnya menolong mereka untuk berani menyaksikan atau menceritakan Yesus yang bangkit itu, kuasa Kristus yang bangkit itulah yang membuat mereka berani menghadapi kehidupan apa pun risikonya. Hanya orang-orang yang sudah dikuasai oleh kuasa Kristus yang memiliki keyakinan, keberanian, dan harapan dalam menjalani kehidupannya, sebab dia percaya bahwa Kristus selalu menyertai dan menolongnya.