Bahan Khotbah Minggu, 02 April 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Kebaktian Hari Doa Sedunia (HDS)[1]
1 “Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya.
2 Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya.
3 Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar.
4 Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan merekapun pergi.
5 Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi.
6 Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari?
7 Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku.
8 Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu.
9 Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar.
10 Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga.
11 Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu,
12 katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari.
13 Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?
14 Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu.
15 Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?
16 Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.”
Perumpamaan ini berbicara tentang “iri hati” atau “kecemburuan”. Artinya, Yesus sengaja menyampaikan perumpaan ini untuk menggambarkan betapa manusia seringkali “cemburu” (iri hati) terhadap orang lain dengan alasan “tidak adil” (tidak fair). Manusia merasa “iri” (tidak senang, tidak bahagia) pada tindakan Allah yang juga bermurah hati kepada orang lain. Perumpamaan ini hendak mengkritik orang-orang (terutama Yahudi) yang merasa diri paling layak mendapatkan “jatah” lebih banyak daripada orang lain yang dianggap lebih kemudian, termasuk di dalamnya pengampunan dosa, kehidupan dan keselamatan. Ini mirip dengan kisah Yunus yang tidak mau kalau Tuhan menyelamatkan penduduk Niniwe sehingga Yunus kemudian melarikan diri dan tidak memperingatkan orang-orang Niniwe tersebut.
Dalam relasi kita dengan sesama, keirihatian merupakan persoalan. Penekanan di sini bukan karena sesama kita mendapatkan berkat yang tidak kita miliki, atau karena mereka mendapatkan lebih daripada kita. Bukan, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah bahwa mereka mendapatkan sama seperti kita yang menurut kita mereka tidak patut menerima sebesar itu. Mereka tidak pantas untuk itu sebab mereka datang lebih kemudian, istilahnya pendatang baru. Seharusnya mereka mendapat lebih kecil dari yang kita terima, intinya janganlah sama.
Kita cenderung merasa iri dan menyesal akan apa yang diterima orang lain dari Tuhan. Namun, dalam perumpamaan tersebut, ternyata sang pemilik kebun anggur membungkam para pekerja yang keberatan itu: “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ay. 15). Ba itema li zi samõsa andrõ, imane: He le, lõ ulimo ndraʼugõ. Tenga no mamagõlõ ita ba zi sasuku?(ay. 13). Edõna iwa’õ khõra sokhõ halõwõ andrõ: “Hadia no ulau khõu zi lõ atulõ? Hadia no u’alõsi dana khõu? Hadia no uhalõ õsa dana khõu ba ube’e khõ zafuria tohare?” Jawabannya tidak! Orang yang terdahulu tetap menerima haknya 100% sesuai kesepakatan, bahkan tidak ada pemotongan pajak. Jadi, persoalan utama yang hendak disampaikan dalam perumpamaan ini bukan tentang besar-kecilnya gaji/upah pekerja, bukan juga pada masalah sistem pemberian gaji yang nampaknya tidak fair. Penekanannya adalah pada anugerah Tuhan, kemurahan hati, termasuk pengampunan dosa dan keselamatan yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Kalaupun misalnya dilihat dari perspektif keadilan, maka upah pekerja terdahulu tetap diberikan sesuai kesepakatan, haknya tidak dikurangi sepeser pun; hal yang sama juga kepada pekerja yang datang kemudian bahkan pekerja yang datang di menit-menit terakhir. Jadi, tidak ada pelanggaran kesepakatan, semua dijalankan sesuai mekanisme dan kesepakatan masing-masing pihak. Nah, perumpamaan ini merupakan kritik tajam bagi orang-orang Yahudi yang selama ini merasa diri lebih layak mendapatkan keselamatan daripada orang-orang non-Yahudi, merasa diri lebih utama dari yang lain sehingga seharusnya lebih dihargai, lebih dihormati, lebih dituakan. Perumpamaan ini juga merupakan kritik bagi orang-orang Yahudi yang memahami keselamatan itu ditentukan oleh status mereka sebagai umat pilihan Tuhan dan oleh usaha manusia untuk mendapatkannya. Tidak, tidak seperti itu. Keselamatan dan sejenisnya adalah kemurahan hati dan kasih karunia Tuhan, dan Tuhan bebas menganugerahkannya kepada setiap orang yang dikehendaki-Nya, dan manusia tidak boleh mencampuri urusan atau keputusan Tuhan itu.
Selain itu, perumpamaan ini juga berbicara tentang yang terdahulu dan yang terakhir. Terjadi pembalikan, orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir (ay. 16). Perhatikan alur narasi perumpamaannya, pekerja yang upahnya duluan dibayar adalah mereka yang terakhir datang, baru kemudian secara berurutan ke yang datang lebih awal (ay. 8). Yang terakhir menjadi yang terdahulu pembayaran upahnya, dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir. Ini menjadi masalah lagi bagi pekerja yang terdahulu, selain upah yang sama tadi. Perumpamaan ini benar-benar memutarbalikkan ekspektasi manusia, bahkan memaksa kita untuk berpikir ulang tentang “keadilan” dan “harapan/impian” yang kita pahami selama ini. Menurut perumpamaan ini, kita adalah orang-orang yang sederajat/sama dalam penerimaan anugerah Tuhan, tidak ada orang yang diistimewakan untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam kerajaan surga seperti yang diminta oleh ibu anak-anak Zebedeus kepada Yesus supaya kedua anaknya boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Nya, yang seorang di sebelah kanan-Nya dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Nya (Mat. 20:20-21). Persoalannya ialah bahwa kita tidak “rela” menerima “keadilan” Allah itu, dan seringkali merasa iri dan cemburu (tidak bahagia) ketika Allah juga menganugerahkan pengampunan dan kehidupan kepada orang lain dalam ukuran yang sama. Ternyata, anugerah Tuhan tidak tergantung pada berapa lama kita mengikuti-Nya seperti pemahaman/pertanyaan Petrus sebelumnya (19:27), itu murni kemurahan hati, atau dalam bahasa Martin Luther: Sola Gratia.
Penekanan dari perumpamaan ini nampaknya tidak soal pekerjaan, Yesus hanya memakai persoalan ini untuk menggambarkan Kerajaan Surga (lih. ay. 1). Dengan tegas Yesus hendak mengatakan bahwa Kerajaan Surga itu bukan milik eksklusif orang-orang kaya atau sejenisnya (bnd. Mat. 19:23-26). Kerajaan surga terbuka bagi siapa pun yang mengikuti Dia, terutama bagi mereka yang mengalami penderitaan karena Kristus. Masuk ke dalam kerajaan surga tidak diperoleh melalui pekerjaan, aksi atau jasa-jasa kita, tetapi oleh karena kemurahan hati atau anugerah Tuhan semata.
Kalau pun kita mencoba menerapkan perumpamaan ini pada pekerjaan, boleh-boleh saja, dan nampaknya masih berlaku. Ketika kita melakukan suatu pekerjaan dan kita dibayar untuk itu sesuai dengan yang seharusnya (UMK atau sejenisnya), perumpamaan ini pun tidak mengurangi hak itu. Dia hanya menunjukkan kemurahan hatinya kepada pekerja yang lebih kemudian dengan memberi mereka upah yang sama, dan sekali lagi itu tidak mengurangi atau mengorbankan hak orang yang terdahulu tadi. Dalam bingkai kerajaan surga, bukankah lebih baik kalau kita bersukacita dan bersyukur bersama orang tersebut daripada menghabiskan energi untuk mengomel atau bersungut-sungut?
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?