Bahan Khotbah Minggu, 1 Oktober 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]
Konteks dari cerita ini adalah bahwa imam-imam kepala dan tua-tuaYahudi marah kepada Yesus karena tindakan kenabiannya dalam membersihkan Bait Allah (Mat. 21:12-13). Jadi mereka bertanya tentang otoritas. Sumber pertanyaan mereka adalah bahwa Yesus menurut mereka tidak memiliki kewenangan resmi (otoritas), dan itulah maksud dari pertanyaan mereka: “Dengan kuasa manakah Engkaumelakukan hal-hal ini?”
Pertanyaan mereka ini merupakan semacam jebakan “batman”. Seperti pertanyaan mereka kemudian tentang membayar pajak kepada kaisar (Mat. 22:15, dab), mereka mencoba menggiring Yesus dalam kesulitan. Perhatikanlah pertanyaan mereka yang sangat menjebak itu: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat. 22:16-17). Jika Yesus berkata, “dari Allah,” maka Ia akan dituduh telah menghujat Allah, sebaliknya jika Ia mengatakan, “dari manusia,” maka Ia dianggap sebagai musuh pemerintah (kaisar) dan malah orang banyak akan mencemooh dia. Sungguh dilematis! Pertanyaan mereka merupakan respon terhadap tindakan Yesus di Bait Allah yang sangat kritis terhadap imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi yang mengelola kompleks bait suci.
Sehubungan dengan pertanyaan mereka akan otoritas Yesus dalam teks renungan kita pada hari ini, Yesus menanggapi imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi tersebut dengan kembali mengajukan pertanyaan kepada mereka: “Dari manakah baptisan Yohanes? Dari surga atau dari manusia?” Mereka mati kutu! Mereka pura-pura tidak tahu, pura-pura bodoh, sebab orang banyak percaya bahwa otoritas Yohanes datang dari Allah, namun mereka sendiri tidak mau mengakuinya (Mat. 21:25b-26). Implikasi dari pertanyaan Yesus ini sebenarnya adalah sebuah pemberitahuan tersirat bahwa otoritas Yesus itu berasal dari Allah (sama seperti Yohanes Pembaptis). Tetapi Yesus tidak ingin mengatakan hal itu secara langsung karena mereka akan dengan mudah mendakwa-Nya sebagai penghujat Allah, penista agama Yahudi.
Sayang sekali, para pemimpin Yahudi, yang notabenenya orang-orang pilihan Allah, justru tidak percaya kepada Yesus (dan Yohanes) yang keduanya berasal dari Allah. Jadi, mereka seolah-olah takut akan Tuhan, namun dalam faktanya mereka tidak mau melakukan kehendak Tuhan. Itulah yang digambarkan oleh Yesus melalui perumpamaan tentang dua orang anak dalam teks ini (ay. 28-32). Jelas sekali dalam perumpamaan ini bahwa imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi itu sama seperti anak pertama yang sepertinya melakukan kehendak ayahnyatetapi kemudian tidak. Sebaliknya, para pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal (pelacur) ibarat anak kedua, yang pada awalnya melawan perintah ayahnya, tetapi kemudian mereka melakukannya.Tanpa rasa malu, para pemimpin Yahudi itu mengakui bahwa anak yang kedualah yang melakukan kehendak ayahnya, dan itulah para pemungut cukai dan perempuan sundal yang pada waktu itu dianggap orang paling berdosa. Sebaliknya, para pemimpin Yahudi yang selalu menganggap diri saleh dan umat pilihan Allah, justru menunjukkan pemberontakan mereka kepada Allah dengan tidak melakukan kehendak-Nya.
Cerita tentang perdebatan Yesus dengan para imam kepala dan tua-tua Yahudi dan diteruskan dengan perumpamaan tentang dua orang anak dalam teks khotbah hari ini hendak memberikan kita gambaran bagaimana orang-orang di sepanjang zaman seringkali terjebak dalam pola hidup ber-iman yang sifatnya lahiriah, dan mengabaikan tindakan nyata dari kehidupan ber-imannya itu. Banyak orang Kristen zaman sekarang yang secara lahiriah dapat disebut sebagai orang beriman atau orang yang percaya kepada Kristus, tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak mencerminkan pola hidup ber-iman; bahkan tidak sedikit orang Kristen, termasuk para pemuka/tokoh, yang justru menjadi batu sandungan bagi sesamanya. Suatu keanehan misalnya seorang ayah melarang anaknya merokok dengan alasan “tidak sehat atau tidak baik” sementara sang ayah sendiri adalah perokok, namun membela diri dengan mengatakan “orangtua tidak apa-apa”. Keanehan seperti ini pada satu sisi mencerminkan ketidakmampuan sang ayah memberikan teladan bagi anaknya, sekaligus memberikan pelajaran tersirat kepada sang anak bahwa “melakukan sesuatu yang tidak sehat atau tidak baik itu tidak apa-apa kalau sudah menjadi orangtua”. Tentu kita sudah bisa membayangkan seperti apa anak tersebut ketika dia menjadi dewasa atau orangtua kelak.
Suatu keanehan juga misalnya kalau para pelayan gereja selalu memberitakan kebaikan kepada jemaat, tetapi dirinya sendiri tidak melakukan kebaikan yang diberitakannya itu. Suatu keanehan juga kalau kita mengaku sebagai orang Kristen yang mengagung-agungkan kasih kepada Allah dan sesama, tetapi dalam kehidupan nyata kadang-kadang memeras dan mempersulit sesama. Aneh juga kalau ada orang sangat kritis terhadap sesamanya, misalnya terhadap pelayan gereja, tetapi ketika dirinya sendiri menjadi pelayan, tingkah laku dan pelayanannya juga malah lebih buruk dari pendahulunya. Sedih rasanya melihat banyaknya orang Kristen yang mengaku percaya kepada Tuhan, terutama ketika ada masalah, tetapi kemudian akan berpaling pada kehendak hatinya sendiri setelah masalah terselesaikan.
Saya yakin bahwa kita mengakui bahwa Yesus memiliki otoritas ilahi atas segala sesuatu. Tetapi, pengakuan itu tidak cukup! Mengakui otoritas Yesus berarti percaya kepada-Nya sekaligus melakukan kehendak Bapa yang mengutus Dia. Tema perayaan Misi dan Reformasi tahun ini di BNKP adalah “Diselamatkan oleh Kasih Karunia Tuhan” (bnd. Rom. 3:24; 5:1; Ef. 2:8). Tema ini hendak mengingatkan kita bahwa siapa pun kita, jabatan apa pun yang kita duduki saat ini, pekerjaan apa pun dan sehebat apa pun usaha atau karir kita, semuanya diselamatkan hanya oleh kasih karunia. Keselamatan itu tidak dapat dibeli dengan harta, tidak dapat dibarter dengan apa pun juga, tidak bisa dinego dengan jabatan/pekerjaan apa pun, tidak ada lobi-lobi politik dengannya. Keselamatan adalah murni kasih karunia Tuhan, istilah Martin Luther “Sola Gratia”. Orang-orang yang telah menerima dan merasakan kasih karunia Tuhan tentu dapat menundukkan dirinya di bawah otoritas Allah, dan itu terlihat dari iman dan tindakannya setiap hari. Kalau tidak, maka dia “ibarat kacang, lupa akan kulitnya”, tidak tahu berterima kasih, tidak mensyukuri kehidupan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya.
[1]Bahan Khotbah Minggu Perayaan Misi dan Reformasi BNKP Jemaat Bogor Resort 45, tanggal 01 Oktober 2017, oleh Pdt. Alokasih Gulo.