Saturday, April 6, 2019

MENCARI TUHAN DI SAAT-SAAT YANG (HAMPIR) MEMALUKAN (Mazmur 25:1-7)


Bahan Khotbah Minggu, 07 April 2019
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo[1]


25:1 Dari Daud. Kepada-Mu, ya TUHAN, kuangkat jiwaku;
25:2 Allahku, kepada-Mu aku percaya; janganlah kiranya aku mendapat malu; janganlah musuh-musuhku beria-ria atas aku.
25:3 Ya, semua orang yang menantikan Engkau takkan mendapat malu; yang mendapat malu ialah mereka yang berbuat khianat dengan tidak ada alasannya.
25:4 Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku.
25:5 Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari.
25:6 Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala.
25:7 Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat, tetapi ingatlah kepadaku sesuai dengan kasih setia-Mu, oleh karena kebaikan-Mu, ya TUHAN.


Ada sebuah ungkapan terkenal di Nias: “sökhi mate moroi aila” (lebih baik mati daripada malu). Ungkapan ini merupakan prinsip hidup orang Nias yang menunjukkan kuatnya rasa malu (aib) dalam konteks Nias. Prinsip hidup ini terkait erat dengan pemahaman orang Nias bahwa kehormatan/martabat (lakhömi), reputasi dan nama baik (töi si sökhi), prestise (harga diri), status, dan gengsi merupakan sesuatu yang harus dipertahankan.

Akibat negatif dari prinsip ini misalnya adalah banyaknya orang Nias yang “mati” dililit utang hanya untuk melaksanakan pesta perkawinan yang meriah, demi mempertahankan lakhöminya. Sisi positif dari prinsip hidup “sökhi mate moroi aila” ini adalah adanya usaha-usaha untuk menjaga martabat pribadi dan keluarga. Dalam rangka itu, orang Nias berusaha keras untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dianggap dapat merusak atau mencemari harga dirinya, dan akan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat mempermalukan dirinya sendiri. Moadu vs lö moadu, fangaila.

Pada zaman dulu di Israel, rasa/budaya malu ini juga amat kuat. Mereka merasa malu sekali apabila mereka kalah dalam perang, apabila musuh-musuh mereka beria-ria atas mereka oleh akrena berbagai faktor. Itulah yang dialami oleh pemazmur (Daud) seperti terungkap dalam teks khotbah pada hari ini. Dia sebenarnya sedang berseru kepada Tuhan, memohon pertolongan Tuhan, supaya dia tidak (semakin) mendapat malu. Ada apa sebenarnya?

Pertama-tama Daud “curhat” kepada Tuhan bahwa dia sedang berada dalam situasi sulit, keadaan yang bisa saja membawa dia dalam situasi terburuk dalam hidupnya, rasa malu/aib yang tiada taranya. Tetapi menarik sekali melihat kejujuran Daud, dia menyadari bahwa situasi sulityang bisa membuatnya malu itu terutama disebabkan oleh tindakannya sejak masa mudanya yang tidak terlepas dari dosa dan pelanggaran (lih. ay. 7, 8, 11). Kita memang tidak tahu pasti situasi apa yang sedang mempengaruhi teks ini, namun ayat 7 mengindikasikan suatu situasi ketika Daud masih muda, yaitu ketika dia berbuat dosa dan melakukan pelanggaran tertentu. Alkitab mencatat beberapa dosa, kesalahan, atau pelanggaran Daud, tetapi kalau dikaitkan dengan usia mudanya maka yang lebih memungkinkan adalah dosanya ketika “berzinah” dengan Betseba sekaligus membunuh suami Betseba tersebut dengan pedang musuhnya.

Berikutnya, Daud mengekspresikan perasaan-perasaannya berada dalam situasi yang memalukan itu, yakni: rasa bersalah, tidak nyaman, tidak tenteram, rasa malu, merasa terpojok/terhina karena musuh beria-ria, kebingunan, merasa sengsara, menderita dan tersesak (ay. 17). Dia sadar bahwa ada akibat kesalahan, pelanggaran, atau dosa yang telah dia lakukan, dan dia tidak bisa melarikan diri dari realitas itu. Daud mungkin siap menanggung akibat dosa-dosanya itu, tetapi satu permohonannya kepada Tuhan adalah jangan sampai dia mendapatkan malu yang luar biasa karena musuh-musuh yang beria-ria atas dia. Musuh-musuh Daud akan bersukacita apabila Daud jatuh terlalu jauh dan tidak bisa bangkit lagi, dan inilah yang ditakuti oleh Daud, dia merasa tidak mampu menanggung rasa malu seperti ini. Maka, jalan keluar satu-satunya menurut Daud adalah menyampaikan keluh kesahnya itu kepada Tuhan. Situasi sulit yang bisa mempermalukan dirinya, justru telah mendorong Daud untuk mencari Tuhan, mencari hikmat-Nya, dan bukan mencari yang lain, bukan juga menyalahkan orang lain. Daud ternyata mencari Tuhan dalam situasi sulit, memohon bimbingan Tuhan di saat-saat yang memalukan itu, bukan sebaliknya menyembunyikan atau menjauhkan diri dari Tuhan. Ekspresi Daud ini tertuang di ayat 4-7, bahkan di seluruh pasal 25 ini.

Walaupun menyakitkan, Daud tetap mengakui dosa-dosanya, tidak hanya dosa-dosa saat ini, tetapi juga dosa-dosa pada masa mudanya. Dia tidak menganggap enteng dosa-dosanya dengan berkata: “Ah, dosaku tidak seberapa, saya masih anak-anak waktu itu, belum disidikan”. Dia juga tidak membandingkan dirinya dengan musuh-musuhnya dengan berkata misalnya, “Saya memang bersalah, tetapi dosa-dosa mereka juga jauh lebih banyak daripada saya, jadi yawara mofönu sibai Lowalangi khögu ba da’ö sa’ae”. Intinya, Daud tidak mencari-cari alasan untuk membela kesalahannya, tidak mencari kambing-hitam atas dosa-dosa yang diperbuatnya; dia mengakui dosa-dosanya itu, dan memohon pengampunan Tuhan. Daud tahu bahwa Tuhan adalah Mahapengasih dan penyayang, kasih setia-Nya tidak berkesudahan (lih. juga Rom. 3:26). Jadi, langkah penting yang harus dilakukan untuk mencari Tuhan pada saat-saat memalukan karena dosa adalah memeriksa hati dan mengakui dosa-dosa kita, serta bersandar hanya pada anugerah Tuhan.

Adakah di antara kita pada hari ini yang ingin dipermalukan? Adakah yang senang berada dalam situasi yang memalukan? Tampaknya tidak ada! Tetapi, bukankah kita sering melakukan perbuatan tidak terpuji? Bukankah kita sering melontarkan kata-kata yang memalukan diri sendiri? Bukankah kita sering melakukan tindakan yang mendatangkan aib bagi kita dan keluarga? Hadia lö asese tafalua gamuata saila ita, ma si lö moadu? Di sini perlu pemeriksaan hati.

Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini amat berbeda dengan Daud yang justru merasa bersalah dan malu atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya, dan merasa kuatir apabila orang lain menertawakannya karena kesalahan dan kejatuhan yang mungkin saja akan dialaminya. Dalam beberapa hari ini saya melihat betapa anak-anak kita tanpa malu memosting foto-foto mereka yang berpelukan atau berciuman dengan pacarnya, ada juga foto suami atau istri bersama dengan selingkuhannya. Mereka bangga dengan perbuatan mereka yang amat memalukan itu, mereka tidak peduli dengan “apa kata orang”, yang penting senang (happy).

Lihat juga misalnya para koruptor yang ditangkap, mereka tetap tersenyum dan bahkan mengatakan mereka sedang dizalimi, korban bukan pelaku. Lihat juga para penyebar hoax, baik yang tertangkap maupun yang belum, apakah mereka terlihat malu? Tidak! Mereka menganggap diri sebagai korban, walaupun sesungguhnya mereka pelaku penyebar hoax, mereka tiba-tiba menjadi seperti “beloon”, seolah-olah tanpa dosa, mereka tidak merasa bersalah, mereka tidak merasa malu.

Tentu, orang-orang Kristen tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan seperti saya sebutkan tadi. Salah ya salah, dosa ya dosa, akui saja, mohon belas kasihan Tuhan, milikilah rasa malu atas kesalahan dan dosa-dosamu. Kita juga tidak perlu bangga dengan pelanggaran yang kita lakukan, sebaliknya kita mesti merasa bersalah dan merasa malu.

Karena itu, dengan penuh kerendahan hati, mari kita datang kepada Tuhan, curhat kepada-Nya, akui dosa, kesalahan, pelanggaran, kelalaian, tindakan bodoh kita ..., dan percayalah Tuhan tidak akan membuat kita malu, tidak akan membiarkan musuh-musuh bersuka cita atas situasi sulit itu itu. Tuhan pasti menolong dan bahkan membawa kita ke jalan-Nya, jalan kebenaran dan kehidupan.


[1] Bahan khotbah Minggu, 07 April 2019, Jemaat BNKP Nazaret, Resort 2.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...