Rancangan Khotbah Minggu, 31 Januari 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
31 Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat. 32 Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa. 33 Di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan dan ia berteriak dengan suara keras: 34 “Hai Engkau, Yesus orang Nazaret, apa urusan-Mu dengan kami? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah.” 35 Tetapi Yesus menghardiknya, kata-Nya: “Diam, keluarlah dari padanya!” Dan setan itupun menghempaskan orang itu ke tengah-tengah orang banyak, lalu keluar dari padanya dan sama sekali tidak menyakitinya. 36 Dan semua orang takjub, lalu berkata seorang kepada yang lain, katanya: “Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan merekapun keluar.” 37 Dan tersebarlah berita tentang Dia ke mana-mana di daerah itu.
Pada ayat-ayat sebelumnya, Yesus diusir dari kampung halaman-Nya di Nazaret saat Dia memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada mereka dan memberitahukan siapa Dia sebenarnya, Mesias (lih. Luk. 21-30). Orang-orang dari kampung halaman-Nya sendiri tidak mengakui siapa Dia. Namun demikian, hari ini kita melihat pengakuan yang luar biasa dari mereka yang tidak percaya kepada-Nya dan tunduk kepada-Nya di Nazaret. Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, dan semakin takjub melihat tindakan-Nya yang membebaskan seorang yang kerasukan setan hanya dengan kata-kata saja. Orang-orang yang melihat dan mendengar Yesus sadar dan takjub bahwa ternyata “ada kuasa di dalam perkataan Yesus”, tidak seperti para pemimpin atau para rabi agama Yahudi. Mengapa perkataan Yesus penuh dengan wibawa dan kuasa? Karena Yesus memiliki otoritas ilahi yang membedakan Dia dari para pemimpin/rabi agama Yahudi lainnya.
Ada kuasa dalam perkataan Yesus ketika Dia mengajar, dan itu yang dirasakan oleh para pendengar-Nya. Kita tidak tahu apa saja yang disampaikan oleh Yesus dalam ajaran-Nya yang penuh dengan kuasa tersebut (ay. 31). Seterusnya, ada kuasa dalam perkataan Yesus ketika Dia membebaskan seorang yang kerasukan setan. Pada zaman itu, kerasukan setan atau roh jahat merupakan momok yang cukup menakutkan. Roh jahat pernah disebut sebagai legion, suatu nama yang identik dengan legium Romawi sekitar abad ke-2 SM, suatu pasukan (kelompok tentara) yang amat menakutkan dan telah meninggalkan luka traumatis bagi masyarakat. Tetapi, kedatangan Yesus telah mendatangkan harapan baru, harapan yang membuat mereka takjub di tengah-tengah situasi yang sulit. Setelah sekian lama mereka menantikan ‘pembebasan’, kini Yesus datang memberitakan kabar sukacita tersebut, kabar baik kepada orang-orang miskin, berita pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, pembebasan orang-orang yang tertindas, dan berita tahun rahmat Tuhan (lih. Luk. 4:18-19). Pada teks khotbah hari ini, diberitakan, bahwa Yesus menunjukkan salah satu contoh ‘pembebasan’ dimaksud melalui pembebasan seorang yang kerasukan setan.
Ada yang menarik dari kisah pembebasan orang yang kerasukan setan ini, dan kita dapat berefleksi dari kisah tersebut:
Pertama, disebutkan bahwa “di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan”. Apa? Rumah ibadat mestinya menjadi simbol kehadiran Tuhan di tengah-tengah umat-Nya, simbol sukacita dan pembebasan. Tetapi, kini seorang yang kerasukan setan itu berada dalam rumah ibadat, tempat yang diakui sebagai ‘rumah Tuhan” tersebut. Ini jelas menjadi pukulan telak bagi para pemimpin agama Yahudi, atau para pemimpin di rumah ibadat pada waktu itu. Rumah ibadat menjadi tempat yang ‘nyaman’ bagi ‘setan’ untuk memasuki diri/hidup manusia. Ironis memang kalau ternyata rumah ibadat telah menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang yang ‘kesetanan’, termasuk para pemimpin agama/ibadah yang mungkin juga ‘kesetanan’ mendengar pengajaran Yesus yang penuh dengan wibawa dan kuasa itu. Ingat peristiwa sebelumnya, ketika Yesus membaca kitab nabi Yesaya di rumah ibadat di Nazaret (Luk. 4:16-19), kemudian Yesus menyatakan siapa diri-Nya sebenarnya (Luk. 4:21), semua orang yang ada di rumah ibadat itu sangat marah dan mereka menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu (Luk. 4:22, 28-30). Inilah contoh kasus di mana rumah ibadat telah menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang yang kesetanan pada waktu itu. Tetapi, kini, seperti disebutkan dalam teks khotbah hari ini, Yesus membebaskan seorang yang kerasukan setan di rumah ibadat di Kapernaum. Ini jelas berita sukacita yang besar bagi dunia, bagi orang-orang yang dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati menerima Yesus dalam hidupnya. Ada kuasa dalam perkataan Yesus, dan kuasa itu sungguh-sungguh membebaskan.
Kita tidak tahu persis mengapa rumah ibadat pada waktu itu telah menjadi tempat yang ‘nyaman’ bagi orang(-orang) yang kesetanan. Rumah ibadat tidak kekurangan para pemimpin agama, dan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan berjalan lancar. Tetapi, ternyata itu semua tidak menjamin datangnya pembebasan dalam kehidupan umat, justru sebaliknya mereka kesetanan, bahkan para pemimpin agama pun seperti kesetanan ketika Yesus datang memberitakan kabar baik di rumah ibadat. Kita pun mestinya berefleksi secara mendalam di sini, apakah rumah ibadat kita hari ini telah menjadi tempat yang ‘nyaman’ bagi orang-orang yang kesetanan, atau sebaliknya tempat yang sungguh-sungguh mendatangkan sukacita pembebasan bagi jemaat. Sejauh manakah rumah ibadat kita menolong jemaat melewati masa-masa sulit mereka, menolong mereka terbebas dari berbagai luka traumatis mereka? Yesus datang membebaskan orang yang kerasukan setan di rumah ibadat, dan semua orang takjub melihat peristiwa tersebut. Ternyata, ada kuasa dalam perkataan Yesus, perkataan yang sungguh-sungguh membebaskan.
Kedua, disebutkan bahwa ‘setan’ (roh jahat) yang ada dalam diri orang tersebut sangat mengenal Yesus sebagai orang Nazaret, dan malah mengakui Yesus sebagai ‘Yang Kudus dari Allah’ (ay. 34). Pada peristiwa sebelumnya, di rumah ibadat di Nazaret (lih. Luk. 4:16), orang-orang kampung halaman-Nya di Nazaret tersebut, tidak mengakui Yesus, mereka malah menolak dan mengusir-Nya. Tetapi, sekarang, sosok yang telah kerasukan setan itu, justru sangat mengenal dan mengakui ‘keilahian’ Yesus. Narasi ini jelas menjadi pukulan memalukan bagi orang-orang Nazaret yang telah menolak Yesus di tempat mereka. Ironis memang, setan pun malah lebih mengenal dan mengakui Yesus daripada manusia ‘beragama’. Ini tidak berarti bahwa kita mesti menjadi seperti setan untuk mengenal dan mengakui Yesus. Setan itu pun malah diusir, tetapi paling tidak peristiwa tersebut (seharusnya) menjadi ‘cambuk’ bagi manusia yang ‘menolak’ Yesus sebagai Tuhan yang membebaskan. Sangatlah memalukan kalau orang-orang yang mengaku beragama perilakunya justru lebih ‘setan dari setan’. Orang-orang Nazaret di rumah ibadat mengusir Yesus, sebaliknya Yesus justru mengusir setan di rumah ibadat di Kapernaum. Betapa degilnya hati orang-orang yang mengaku beragama di Nazaret itu.
Benarlah sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “beragama belum tentu ber-Tuhan”. Fenomena seperti ini banyak terjadi hingga hari ini, termasuk di kalangan orang Kristen, ‘beragama tetapi tidak ber-Tuhan’. Di dunia ini kita tidak kekurangan orang-orang yang beragama, sayangnya banyak yang hanya mabuk agama, tetapi miskin kemanusiaannya. Lihatlah betapa ritus-ritus keagamaan kita masih dapat dilakukan bahkan pada masa-masa pandemi Covid-19 ini. Lihatlah rumah-rumah ibadat kita yang berdiri dengan megah, termasuk di masa-masa sulit karena pandemi Covid-19 ini. Kita patut berbangga dengan itu, sebab pandemi Covid-19 tidak mampu menghentikan kita dari kegiatan ibadah ritual keagamaan kita, bahwa kesulitan ekonomi tidak mampu menghentikan kita dari berbagai acara yang mungkin saja menghabiskan banyak uang, termasuk pembangunan rumah ibadat yang megah. Tetapi, sejauh manakah semuanya itu menolong kita merasakan dan mengalami kehadiran Yesus dalam hidup kita? Sejauh manakah semuanya itu menolong kita terbebas dari berbagai kuasa kegelapan, kuasa setan, kuasa roh jahat, yang dapat mewujud dalam perbuatan yang tidak baik? Sejauh manakah gereja kita mendatangkan sukacita pembebasan bagi dunia ini, secara khusus bagi orang-orang di sekitar kita? Sejauh manakah kegiatan-kegiatan gerejani kita sungguh-sungguh merefleksikan kesederhanaan dan keamanan dari Covid-19? Bukankah kita bisa melakukannya secara virtual yg jelas jauh lebih sederhana dan aman? Bukankah selama ini kita menyerukan spiritualitas yang sederhana dengan istilah keugaharian? Atau, jangan-jangan kehadiran kita malah menjadi momok yang menakutkan bagi keluarga, bagi masyarakat, dan bagi siapa pun? Tetapi, orang-orang yang telah menerima Yesus, akan merasakan kuasa-Nya. Sungguh, ada kuasa dalam perkataan Yesus, kuasa yang membebaskan kita semua.
--- selamat berefleksi ---