11 Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea.
12 Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh
13 dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!”
14 Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir.
15 Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring,
16 lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria.
17 Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?
18 Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?”
19 Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Pada zaman Alkitab, baik PL maupun PB, penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak ada obatnya.[1] Di kalangan orang Ibrani penyakit ini dianggap najis dan berbahaya, karena dapat menular. Oleh sebab itu, orang yang sakit kusta harus diasingkan dari masyarakat (Kel. 13, Kel. 14). Penyakit ini dianggap sebagai simbol dosa, penyakit dari Tuhan, sebab ada beberapa contoh kasus dimana orang kena sakit kusta setelah melakukan pelanggaran atau kesalahan.[2] Orang yang menderita kusta dinyatakan sakit dan atau sembuh oleh imama (Im. 13:1-59; 14:1-32). Apabila ia sembuh, harus diadakan upacara pentahiran oleh seorang imam (Im. 14:2-20; Luk. 1:44). Secara fisik, orang yang berpenyakit kusta tentu saja sangat menderita. Tetapi, penderitaan yang paling menyakitkan adalah penderitaan psikis. Penderitanya diasingkan, tidak boleh mendekat orang sehat, dan apa pun yang tersentuh dengannya dianggap najis. Pada zaman PB, semua penderita penyakit kusta dilarang memasuki kota Yerusalem dan kota-kota lain yang bertembok keliling. Di dalam sinagoge ada ruangan khusus yang terpencil dan sempit yang dikhususkan bagi mereka. Jadi penyakit kusta adalah penyakit yang benar-benar telah memisahkan manusia dari sesamanya.
Bisa dibayangkan betapa menderitanya orang-orang kusta pada zaman Alkitab. Tidak ada harapan kesembuhan bagi mereka, tidak ada masa depan, tidak ada kehidupan. Namun demikian, dalam teks khotbah hari ini, Lukas menunjukkan sesuatu yang amat menentukan bagi orang-orang kusta yang terpinggirkan, dan pembelajaran berharga bagi kita yang “tak terpinggirkan”. Kepedulian Yesus terhadap mereka yang terpinggirkan, yaitu kesepuluh penderita kusta, dan secara khusus paling tidak ada seorang Samaria yang merupakan kelompok masyarakat terpinggirkan pada zaman PB. Itulah misi Yesus ke dunia, menunjukkan kepedulian kepada mereka yang oleh karena berbagai faktor, terasingkan, menderita, termiskinkan, dll. Inilah misi yang sesungguhnya, kepedulian terhadap sesama, terutama kepada sesama yang sedang berada dalam situasi kurang baik. Itulah pemberitaan Injil yang sesungguhnya, pemberitaan kabar sukacita kepada orang-orang yang selama ini terpinggirkan, kurang diperhatikan, kurang dihargai dalam masyarakat, disepelekan, mengalami berbagai macam penderitaan, dll. Itulah misi Yesus, yang merupakan misi gereja kita juga.
Menarik juga melihat bagaimana Yesus menerima mereka yang selama ini dijauhi oleh masyarakat. Yesus berkenan memberikan respons terhadap teriakan mereka: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (ay. 13). Yesus tahu bahwa kesepuluh orang kusta ini mestinya dijauhi, kalau bisa diusir, apalagi orang Samaria, tetapi Yesus tidak melakukan itu. Disebutkan bahwa Yesus merespons mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam” (ay. 14). Dalam proses itulah kemudian orang-orang penderita kusta ini sembuh. Yesus menyuruh mereka kepada imam-imam sebagai pihak yang berwenang menentukan apakah mereka sudah sembuh atau belum; dan ternyata hasilnya SEMBUH. Misi Yesus inilah yang harus kita beritakan, baik melalui kata-kata, maupun melalui pelayanan nyata kepada orang-orang yang sedang menderita di sekitar kita. Kepedulian kita akan diuji ketika kita bertemu dengan orang-orang yang selama ini terpinggirkan.
Kisah ini tidak berhenti pada kesembuhan para penderita kusta. Diceritakan lebih lanjut bahwa salah seorang dari kesepuluh orang kusta tersebut kembali kepada Yesus, memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada Yesus (ay. 15-16). Disebutkan pula bahwa orang tersebut adalah orang Samaria (yang pada zaman PB disingkirkan oleh masyarakat Yahudi). Ayat 17-18 memperlihatkan kepada kita “keheranan” Yesus atas kesembilan orang lainnya yang tidak kembali kepada-Nya, tidak seperti orang Samaria tersebut. Benar bahwa orang Samaria selama ini dianggap sebagai orang asing, tidak diterima sebagai bagian dari komunitas Yahudi/Israel. Tetapi, justru orang Samaria (orang asing) inilah yang memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada Yesus atas kesembuhan yang telah dialaminya. Yesus pun memuji iman orang Samaria tersebut. Ia berkata kepadanya: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (ay. 19).
Orang Samaria adalah orang yang dianggap sebagai orang asing dan tidak menyenangkan pada zaman PB, tetapi justru dialah satu-satunya orang yang datang memuliakan dan mengucap syukur kepada Allah, sedangkan kesembilan lainnya tidak diketahui lagi rimbanya. Dalam kisah ini, Yesus, oleh Lukas, menunjukkan bahwa iman seseorang itu tidak ditentukan oleh latar belakang kehidupannya, entah sebagai orang Yahudi ataupun orang Samaria (orang asing). Ketika seseorang menyadari sumber kesembuhannya dari Tuhan, dan kembali kepada Tuhan untuk memuliakan dan mengucap syukur kepada-Nya, itulah iman yang sesungguhnya. Merespons Yesus dengan benar berarti memuji dan memuliakan Allah.
[1] Pada zaman modern penyakit kusta ini
dikenal sebagai lepra/hansen. Obatnya baru ditemukan oleh seorang ilmuwan
Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1837.
[2] Beberapa contoh kasus dimaksud: (1) Miryam
dihukum Tuhan dengan penyakit kusta karena mengata-ngatai dan iri hati terhadap
Musa (Bil. 12:1-2,9-10). (2) Gehazi (bujangnya Elisa) dihukum dengan kusta
karena meminta pemberian dari Naaman yang sebelumnya sudah ditolak Elisa (2Raj.
5:21-27). (3) Ketika Raja Uzia merasa kuat, sombong, tinggi hati dan tidak
setia kepada Tuhan maka Tuhan menghukumnya dengan penyakit kusta (2Taw.
26:16-21).