Oleh: Pdt. Alokasih Gulö, S.Th, M.Si
Pendahuluan
Hubungan antara Gereja (agama) dan Politik merupakan hal yang sangat penting dibicarakan baik dalam lingkup akademisi maupun dalam lingkup masyarakat pada umumnya. Hubungan itu berbeda dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan zaman yang juga berpengaruh pada pola pikir manusia. Terkadang hubungan antara keduanya menimbulkan polemik. Hal ini disebabkan karena masih adanya pemahaman bahwa bidang pelayanan gereja tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Gereja harus dibatasi kegiatannya pada urusan-urusan teologi. Pada pihak lain, ada pihak yang berpandangan bahwa kegiatan gereja tidak dapat dipersempit hanya pada urusan-urusan yang abstrak/teologi. Gereja justru harus memperlihatkan keprihatinannya pada persoalan-persoalan sosial yang sangat konkret, misalnya persoalan-persoalan politik.
Hubungan antara gereja dan politik ini memang merupakan persoalan yang menjadi perdebatan dalam sejarah partisipasi gereja dalam politik. Beranjak dari perspektif yang lebih luas, yaitu dalam konteks “Negara”, Andreas A. Yewangoe melihat hubungan gereja dan negara bukanlah sesuatu yang gampang untuk dirumuskan.[1] Sejarah sudah memperlihatkan kepada kita bahwa seringkali terjadi perlombaan untuk saling mendominasi, saling menaklukkan, dan saling menyerang, walaupun kadang-kadang terjadi hubungan yang harmonis di antara keduanya.[2]
Empat Macam Relasi
Pertanyaan klasik ialah apakah orang-orang Kristen perlu melibatkan diri dalam politik? Atau, apakah orang-orang Kristen sebaliknya mengasingkan diri dari politik itu? J. Philip Wogaman mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seperti ini, pertama-tama dengan menyajikan penelusurannya akan relasi agama (dalam hal ini kekristenan) dan negara. Dengan mengacu kepada sejarah, ia menyebutkan setidak-tidaknya 4 (empat) macam relasi.[3]
Pertama, Teokrasi, di mana negara berada di bawah kontrol pemimpin-pemimpin agama. Dalam masyarakat primitif, bentuk negara seperti ini sangat lazim, seperti di dalam teokrasi Ibrani kuno. Demikian juga di Utah Amerika Serikat pada era permulaan munculnya golongan Mormon. Lalu di Tibet, dan dalam arti tertentu, Iran sekarang.
Kedua, Erastianisme. Istilah ini berasal dari nama seorang Swiss-Jerman di abad ke-16, Thomas Erastus. Di sini negara, atau lebih tepat para politisi berusaha mengendalikan gereja. Mereka mencari keuntungan-keuntungan politik dengan memperalat gereja. Singkatnya, gereja dipolitisasi bagi keuntungan-keuntungan politik.
Ketiga, pemisahan gereja dan negara secara ramah. Di banyak negara pemisahan itu berlaku secara legal, tanpa kekerasan dan rasa benci. Itulah yang secara konstitusional terjadi di Amerika Serikat, kendati di dalam kenyataannya tidak selalu begitu.
Keempat, pemisahan gereja dan negara yang tidak ramah. Khususnya dalam dua abad terakhir pemisahan seperti ini marak. Gerakan anti-klerikalisme (anti-gereja) misalnya di Perancis pada abad ke-19. Juga di Mexico terjadi hal serupa, ketika para imam dilarang memakai pakaian imam. Di kebanyakan negeri Marxis juga pemisahan seperti ini terjadi. Negara Albania dulu merupakan contoh yang sangat jelas bahwa negara sama sekali tidak mau tahu dengan gereja.
Keempat macam relasi ini tidak selalu ideal, artinya dalam praktiknya sering terjadi campuran antar beberapa macam relasi. Wogaman sendiri menolak dengan tegas teokrasi dan bahkan menyebutnya sebagai suatu ilusi. Demikian juga dengan erastianisme, yang dalam praktiknya tidak jauh beda dengan jebakan-jebakan yang di dalamnya teokrasi terjatuh, yaitu agama diperalat untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Masalah lain yang bisa muncul adalah masalah teologis, dimana akan ada kelompok masyarakat yang merasa memiliki kebenaran Tuhan dan yang lain tidak memilikinya. Akibatnya terbuka peluang untuk berbuat (apapun) atas nama Tuhan. Pemisahan gereja dan negara juga menurut Wogaman merupakan sesuatu yang tidak realistis. Artinya, gereja tidak bisa mengasingkan diri dari dunia politik dengan alasan apa pun.
Bagaimana Gereja Berperan Dalam Politik?
Orang-orang Kristen seharusnya mengambil bagian dalam kegiatan politik. Berangkat dari gagasan bahwa negara merupakan “lembaga masyarakat secara keseluruhan“, maka orang-orang Kristen tidak bisa menghindar dari keterlibatan politik kecuali kalau mereka bukan bagian dari masyarakat itu. Oleh karena itu, mereka adalah bagian penting dari masyarakat itu. Namun, hal ini tidaklah sekadar menyerukan keterlibatan pasif; sebaliknya suatu keterlibatan aktif orang-orang Kristen dalam politik sebagai bagian dari kehidupan kekristenan dan iman mereka.
Hanya, kita harus memberi perhatian pada prinsip-prinsip penting bagi keterlibatan politik orang-orang Kristen. Tentu kita mengakui bahwa ada unsur-unsur kebenaran dalam setiap perspektif yang ada. Persoalan utama dari berbagai perspektif yang ada adalah bahwa orang Kristen terlalu membiarkan adanya pembagian antara komunitas iman dan masyarakat yang lebih luas dimana komunitas iman sebenarnya terikat di dalamnya. Oleh karena anugerah Allah mengalir bagi semua, bukan hanya bagi komunitas Kristen, maka dapat dipahami bahwa Allah itu aktif untuk semua komunitas atau masyarakat. Dengan kesadaran inilah seharusnya orang-orang Kristen ambil bagian secara aktif dalam politik.
Martin Luther King Jr pernah mengatakan: “the church must be reminded that it is not the master or servant of the state, but rather the conscience of the state” (gereja harus diingatkan bahwa gereja bukanlah tuan atau pelayan negara, melainkan suara hati moral atau negara).[4] Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menanggapi pernyataan ini secara positif dengan mengeluarkan mandat politik gereja-gereja PGI, sebagaimana digariskan dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB). Mandat dimaksud adalah “gereja mempunyai tanggung jawab politik dalam arti turut serta secara aktif di dalam mengupayakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945 dengan memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan (justice), dan kasih (love).”
Wogaman[5] memaparkan tujuh level keterlibatan gereja dalam politik, yaitu:
1) Level pertama, influence the ethos (memengaruhi etika). Tugas pertama gereja adalah menegakkan etika atau moral dalam masyarakat dengan menyuarakan kebenaran dan mengoreksi yang salah.
2) Level kedua adalah educating the church's own membership about particular issues (pendidikan politik warga gereja tentang isu-isu penting).
3) Level ketiga adalah church lobbying (lobi gereja). Gereja dapat melakukan lobi-lobi terhadap para pengambil keputusan politik agar keputusan politik yang dibuat baik oleh legislatif maupun eksekutif tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
4) Level keempat, supporting particularc Candidate for office(mendukung calon tertentu). Prinsip ini adalah prinsip pemihakan yang dilakukan oleh gereja dalam situasi tertentu, terutama ketika penguasa bertindak diktator atau diskriminatif dan tidak menegakkan keadilan dan hak-hak asasi manusia (HAM).
5) Level kelima adalah becoming a political party. Di Indonesia sendiri, terutama sejak era reformasi, partai politik berbasis agama (termasuk Kristen) bermuncullan. Lahirnya partai politik seperti ini disponsori oleh warga gereja yang terlibat dalam politik, dan bukan dibentuk langsung oleh salah satu denominasi gereja.
6) Level keenam ialah, civil disobedience (pembangkangan sipil). Dalam situasi krisis, gereja dapat melakukan pembangkangan sipil, yaitu menentang dan melawan pemerintah yang berkuasa dan menolak segala undang-undang yang tidak adil itu (bnd. Kis. 5:29).
7) Level ketujuh, participating in revolution (ikut dalam revolusi). Dalam kondisi khusus yang sangat luar biasa, gereja pun ikut berpartisipasi dalam revolusi untuk menggulingkan pemerintah yang korup.
Dalam kondisi normal, level pertama sampai ketiga dapat dilakukan oleh gereja. Artinya, gereja memang harus tetap menyuarakan suara kenabian, harus melakukan pendidikan politik secara terus-menerus, dan dapat melakukan lobi-lobi demi kebaikan negara-bangsa dan gereja sendiri. Dalam situasi terpaksa (krisis), gereja dapat melakukan level keempat sampai ketujuh.
Catatan Penutup
Gereja tidak bisa dan tidak boleh memisahkan diri dari politik. Namun perlu dicatat bahwa keterlibatan gereja dalam dunia politik bukanlah sekadar mengisi tempat-tempat atau jabatan-jabatan tertentu dalam negara, pemerintahan, atau jabatan politik tertentu. Keterlibatan gereja juga tidak dalam pengertian memperjuangkan sebanyak mungkin para pendeta terlibat dalam arena politik praktis. Ini bukan persoalan jabatan, atau bagi-bagi kekuasaan, apalagi dalam era otonomi daerah di Indonesia. Keterlibatan gereja bukan juga dengan mendukung salah seorang caleg, calon pimpinan daerah, atau calon presiden tertentu hanya karena kepentingan sesaat (pragmatis). Keterlibatan gereja dalam politik/negara adalah sejauh mana gereja memberi warna positif dan hidup bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, entah melalui jabatan, politik praktis, atau dengan seruan-seruan akan isu-isu kontemporer masyarakat. Penggunaan gereja (nama dan atau lembaga) untuk kepentingan orang atau pihak-pihak tertentu juga merupakan suatu aib; demikian juga sebaliknya apabila gereja memanfaatkan politik untuk kepentingan orang atau pihak tertentu. Dalam rangkaian itulah gereja terpanggil untuk menjadi garam dan terang dunia.
Referensi:
Andreas A. Yewangoe, Agama dan Negara: Sebuah Hubungan Yang Tidak mudah, Makalah yang Disampaikan Dalam Kursus “Pendidikan Politik Angkatan III” di Palangkaraya, 20 Oktober 2008.
Sairin, Weinata dan J.M. Pattiasina (ed.), Hubungan Gereja dan Negara dan Hak-Hak Asasi Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
Wallis, Jim, The Great Awakening (2008)
Wogaman, J. Philip, Christian Perspectives on Politics (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000)
[1] Andreas A. Yewangoe, Agama dan Negara: Sebuah Hubungan Yang Tidak mudah, Makalah yang Disampaikan Dalam Kursus “Pendidikan Politik Angkatan III” di Palangkaraya, 20 Oktober 2008.
[2] Weinata Sairin dan J.M. Pattiasina, Hubungan Gereja dan Negara ..., 23.
[3] Selengkapnya lih. J. Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 249-274.
[4] Jim Wallis, The Great Awakening(2008), 32.
[5] J. Philip Wogaman, Christian Perspectives ...