Catatan Pengantar:
Tulisan ini telah dimuat di Jurnal STT BNKP Sundermann Edisi V Tahun 3, Januari-Juli 2013
(Hardcopy Jurnal tersebut dapat dipesan melalui Pdt. Gloriati Ndraha, HP: 085276328969)
“Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya”
(Mat. 25:13)
Kita Masih Belum Siap
Pada tahun 2011-2012 yang lalu, saya melakukan penelitian magister saya yang ada kaitannya dengan peristiwa gempa bumi di Nias pada tanggal 28 Maret 2005.[1] Dalam waktu yang hampir bersamaan, di akhir tahun 2011, Dosen/Tim Peneliti dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, dimana saya termasuk anggota tim, melakukan penelitian tentang “Nias Baru Pasca Gempa Bumi 28 Maret 2005”.
Secara pribadi, melalui kedua penelitian ini, saya baru menyadari betapa kita selama ini masih belum siap menghadapi “gempuran” aneka bencana di Nias. Hal inilah yang terlihat dalam pelayanan gereja-gereja di Nias, dimana secara umum masih belum menunjukkan kesiapan yang memadai dalam melayani jemaat dan masyarakat Nias, baik ketika gempa bumi itu terjadi maupun pasca gempa bumi dimaksud. Pelayanan yang kita lakukan masih lebih pada bagian permukaan (superficial)secara spiritual, bersifat sporadis, kurang terencana, dan kurang terarah. Kita seakan tidak berdaya menghadapi persoalan bencana, baik persoalan seputar isu-isu teologis, maupun persoalan praksis seputar pelayanan yang (seharusnya) lebih holistik kepada jemaat dan masyarakat Nias. Dalam realitas yang seperti ini kita ibarat seseorang yang baru menyiapkan diri dalam keterburu-buruan, sementara situasi sudah sangat genting. Orangtua kita dahulu mengatakan: “No so sa’ae tou nemali ba mbagi-nora, ba awena tadalidali mbalatuda”.
Nias yang Rawan Bencana
Nias merupakan wilayah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan yang bergelombang ganas terutama di pantai sebelah barat. Curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun, misalnya saja tahun 2010 rata-rata curah hujan adalah sekitar 260,9 mm perbulan (sekitar 3131 mm per tahun), atau rata-rata 22 hari dalam sebulan,[2] struktur tanah labil, rawan banjir dan tanah longsor yang sering menyebabkan kerusakan pada jalan dan jembatan.
Selain itu, Nias (dan Indonesia secara keseluruhan) “duduk” di atas 3 lempeng besar yang sangat aktif sehingga ancaman bencana alam tidak bisa dihindari.[3] Sejak tahun 1840 sampai sekarang, tercatat Nias telah dihantam oleh bencana alam besar lebih dari 5 (lima) kali, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.[4] Bencana alam seperti ini merupakan peristiwa yang buruk bagi sejarah umat manusia, tidak hanya bencana itu sendiri tetapi juga dampaknya bagi kehidupan manusia dan sumber daya alam. Bencana alam terakhir terbesar yang menghantam Nias adalah peristiwa gempa bumi yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 dengan kekuatan 8,7 pada skala Richter.[5] Setelah peristiwa gempa bumi dahsyat ini, gempa susulan terus terjadi. Menurut rekaman Badan Meteorologi dan Geofisika – Stasiun Geofisika Gunungsitoli, rata-rata frekuensi gempa di kepulauan Nias pada tahun 2010 adalah 59,58 (baik sumber lokal/dekat maupun jauh/tele, baik yang dirasakan maupun tidak), dengan skala antara 5,1 dan 7,2 SR.[6] Hal ini menunjukkan bahwa Nias merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling rawan dihantam oleh bencana alam.
Kalau kita kembali ke zaman dulu, zaman leluhur Ono-Niha, sesungguhnya mereka telah menyadari betapa rawannya Nias ini terhadap aneka bencana alam, terutama gempa bumi. Hal ini menurut Garang dapat kita simak dari aspek religius-kultural masyarakat Nias yang menunjukkan adanya peristiwa tersebut, misalnya:
1) Pemahaman yang mengaitkan peristiwa gempa bumi dengan dewa penguasa bumi menurut agama Nias, yaitu Laturedanö, yang marah dan menggoncang bumi karena adanya ketidakharmonisan, konflik, atau peperangan di bumi.[7]
2) Dalam syair hoho, Pulau Nias juga disebut sebagai hulu solayalaya (=pulau yang terapung-apung atau menari-nari), uli danö atau uli ndrao (=kulit bumi); ulidanö hae (=mengayun-ayunkan anak agar tertidur), dan lain sebagainya. Nama dan penamaan pulau Nias ini menunjukkan betapa labilnya Pulau Nias.[8]
3) Bangunan rumah tradisional Nias secara masif dibangun menggunakan konstruksi kayu yang sangat kokoh dan ditunjang oleh pilar-pilar besar (tiang) yang tinggi sebagai penyangganya. Etnografis penduduk Nias membangun rumah sedemikian, mungkin karena mengantisipasi serangan musuh atau binatang buas. Namun, dalam konteks ini juga bukan tidak mungkin struktur dan konstruksi ini untuk mengantisipasi (mencegah) runtuhnya bangunan karena gempa.[9]
Kerajaan Allah dalam Pewartaan Yesus
Mari kita lihat sejenak ide tentang “Kerajaan Allah” sebagaimana terungkap melalui perumpamaan Tuhan Yesus, misalnya tentang “Gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh” (Mat. 25:1-12). Yesus tidak sedang berbicara tentang persoalan “kemurahan atau ketidakmurahan hati” para gadis dalam perumpamaan ini; Dia juga tidak sedang mendiskreditkan kelompok perempuan tertentu! Di akhir perumpamaan ini Yesus mengatakan maksud-Nya: “Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya” (Mat. 25:13). Gagasan utamanya di sini adalah tentang kesiapsiagaan dalam menyongsong dan menghadapi kedatangan kerajaan Allah itu. Dengan kata lain, kerajaan Allah yang diberitakan itu berkaitan dengan “kedaruratan”, atau “kesegeraan”. Hal inilah yang terungkap melalui ucapan Yesus ketika Dia mengatakan bahwa kerajaan Allah sudah dekat (Mat. 3:1), berjaga-jagalah (Mat. 25:13), dan siap-sedialah (Mat. 24:44; Luk. 12:40).
Lebih luas, Widyatmadja menegaskan bahwa kerajaan Allah yang diproklamasikan oleh Yesus bukanlah sekadar pewartaan agama, melainkan menyentuh segala aspek kehidupan.[10] Kerajaan Allah bukanlah sesuatu yang abstrak, yang jauh di seberang sana, yang hanya dapat didengar, yang hanya dapat dibayangkan, yang hanya dapat dilihat dari jauh dan tidak dapat dijangkau; kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus adalah nyata, telah ada di antara manusia (Luk. 17:21). Dalam pelayanan Yesus memberitakan kerajaan Allah, kuasa-Nya menyentuh seluruh realitas kehidupan manusia, baik spiritual maupun fisik, baik mental maupun sosial, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Kerajaan Allah di Nias Dalam Konteks Bencana
Browning mengatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh gereja tidak dapat memisahkan diri dari konteksnya, baik konteks internal pelayanan itu sendiri (gereja) maupun konteks masyarakat yang lebih luas dengan aneka realitas kehidupan yang berlangsung di dalamnya.[11]Dan, konteks kita, baik internal maupun eksternal, adalah konteks bencana. Kita memang sulit menemukan orang yang menghendaki terjadinya peristiwa bencana, namun sulit juga menemukan orang yang mampu menghentikan terjadinya bencana tersebut, bahkan untuk memprediksikannya saja merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Apa artinya bagi kita? Yaitu bahwa paradigma menyatakan “kerajaan Allah” di Nias dalam konteks bencana, merupakan suatu hal yang penting.
Sekarang mari kita lihat Nias dalam konteks bencana dimaksud dan bagaimana hubungannya dengan paradigma kerajaan Allah. Para ahli gempa pada satu sisi dapat “berandai-andai” atau “menebak” peristiwa gempa bumi, namun pada sisi lain mereka tidak dapat memastikan kapan dan bagaimana terjadinya gempa bumi dimaksud. Demikian juga dengan leluhur Ono-Niha, pada satu sisi mereka mengetahui bahwa Nias memang rawan terhadap aneka bencana, namun di sisi lain mereka belum dapat memberikan tanda-tanda pasti tentang kapan dan bagaimana terjadinya bencana tersebut, baik gempa bumi maupun bencana yang lain seperti banjir dan tanah longsor. Saya kira kita pun saat ini (seharusnya) berada dalam garis pemikiran yang seperti itu, pada satu sisi menyadari ke-rawan-an Nias terhadap aneka bencana, tetapi pada sisi lain mengakui ketidaktahuan kita akan hari maupun saat terjadinya bencana tersebut. Inilah gagasan dasar dari paradigma kerajaan Allah dalam konteks bencana di Nias.
Gagasan yang kedua adalah tentang kesiapsiagaan. Kita harus belajar dari leluhur Ono-Niha, yang telah menyiapkan diri menghadapi realitas alam Nias yang memang selalu mengalami bencana. Terlepas dari kepelbagaian perspektif tentang aspek religius-kultural Nias, termasuk syair hoho dan bentuk bangunan rumah tradisionalnya, saya justru melihat kesadaran mereka yang sangat tinggi akan kelabilan alam Nias. Mereka malah menjadikan realitas itu sebagai bagian tidak terpisahkan dengan kehidupan keagamaan, sosial dan budaya Nias. Pada akhirnya, mereka mengerti betul bahwa hidup di Nias adalah hidup dalam “kegentingan”, karenanya rumah pun dibangun sedemikian rupa untuk menolong mereka menghadapi “kegentingan” hidup dimaksud.
Apa yang dilakukan oleh leluhur Ono-Niha di atas sangatlah menarik, karena secara teologis mereka sudah memiliki paradigma “Kerajaan Allah” walaupun secara teoretis mereka belum mengenalnya. Secara ilmiah mereka memang bukanlah ahli gempa atau bencana lainnya (scientist), namun kesadaran mereka akan “kelabilan” pulau Nias dan karenanya perlu kesiapsiagaan, justru sangat teologis dan ilmiah. Fakta ini tidak hanya menyangkut soal bangunan rumah tradisional, tetapi juga sikap mereka yang sangat menghargai alam atau lingkungan hidup di mana mereka berada, termasuk membaca tanda-tanda atau gejala alam untuk bercocok tanam, membangun rumah dan atau kampung (banua). Luar biasa bukan? Nah, ternyata mereka memiliki teologi dan ilmu yang sekarang kita sebut sebagai “kearifan lokal” (local genius/local wisdom).[12] Dengan kearifan inilah mereka dapat “bertahan hidup” di Pulau Nias yang rawan bencana. Dengan paradigma seperti inilah mereka berusaha menjawab tantangan dan ancaman bencana yang setiap saat terjadi di Nias.
Berangkat dari gagasan di atas gereja terpanggil untuk menunaikan tugas panggilannya di Nias, baik kepada warga gereja maupun kepada masyarakat Nias secara umum. Paradigma ini hendak mengatakan bahwa dalam konteks bencana, diperlukan suatu kesiapsiagaan menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Kedaruratan kerajaan Allah tidak berarti “tergesa-gesa”, tanpa perencanaan dan kesiapan. Kedaruratan ini justru mendorong kita untuk “berjaga-jaga”, sedapat mungkin mengurangi risiko bencana yang mungkin terjadi kapan dan di mana pun.
Oleh sebab itu, pertama-tamakita perlu memikirkan upaya penggalian dan pengkajian kearifan lokal Nias dalam konteks bencana, untuk kemudian belajar dari padanya, karena kearifan lokal tersebut sangatlah teologis dan ilmiah. Kedua,kita juga perlu mewujudnyatakan pembentukan badan yang secara khusus memberi perhatian dan pelayanan dalam hal bencana.[13] Badan inilah yang sejak dini mempersiapkan segala sesuatu berkaitan dengan bencana, mulai dari pengorganisasian penanganan bencana, pemberdayaan atau pendidikan tentang bencana kepada masyarakat sehingga mendorong tumbuh dan berkembangnya paradigma kerajaan Allah dalam konteks bencana, hingga penyelenggaraan diskusi ilmiah seputar isu-isu teologis tentang bencana. Dengan demikian, pelayanan kita di Nias dalam konteks bencana sungguh-sungguh ditempatkan dalam paradigma dan kerangka kerajaan Allah.
Namun, perlu disadari bahwa pelayanan dengan paradigma kerajaan Allah ini tidak semata-mata dilakukan dalam rangka menanggapi peristiwa dan dampak gempa bumi yang tidak terduga itu. Pelayanan ini justru lebih didasari atas pengakuan bahwa Allah sendiri telah melayani kita jauh sebelum gereja melakukannya. Yesus menyatakan kepedulian-Nya kepada semua orang; Ia datang untuk menyampaikan pembebasan bagi yang tertindas, dan sebaliknya secara tegas Dia mengecam para penguasa dan struktur yang melahirkan penderitaan bagi rakyat. Yesus melakukan semuanya itu untuk menyatakan bahwa Dia mengasihi dan memedulikan umat-Nya.[14] Itulah berita kerajaan Allah.
Kita Masih Dapat Menyiapkan Diri
Baiklah, kita jujur saja, bahwa secara umum kita memang belum siap melakukan pelayanan yang komprehensif dalam konteks bencana di Nias. Namun, kita tidak mungkin berpangku tangan saja; kita masih dapat berbuat banyak, toh kerajaan Allah itu terus hadir di Nias. Maka, dengan meminjam istilah Jan Hendriks, “wajah gereja harus berubah jika mengikuti perubahan zaman”,[15]kita pun harus melakukan berbagai pembenahan untuk melayani dalam konteks kita. Di sinilah gereja harus melakukan refleksi mendalam tentang bagaimana pada satu sisi “wajahnya berubah” sesuai dengan konteks dimana ia hadir dan melayani, tetapi pada sisi lain identitasnya sebagai gereja tetap terpelihara.
Kondisi jemaat dan masyarakat kita yang berada dalam konteks bencana dengan segala kompleksitas masalahnya, membutuhkan pelayanan yang dapat mencerminkan kepedulian Allah kepada ciptaan-Nya. Bagi saya, gereja yang sadar akan kompleksitas kebutuhan jemaat dan masyarakatnya secara konstan akan berusaha menghadapi dan menanganinya dengan paradigma, pendekatan dan pelayanan yang lebih terkelola dengan jelas (managed ministry), terencana, dan terarah (kesiapsiagaan), sehingga setiap saat kehidupan dapat dibuat menjadi lebih manusiawi dan ilahi.
Ajarilah aku, ya Allah dan Rajaku,
Agar dapat melihat Engkau di dalam segala sesuatu,
Dan di dalam hal apa pun yang aku perbuat,
Aku melakukan itu semata-mata untuk-Mu
Agar dapat melihat Engkau di dalam segala sesuatu,
Dan di dalam hal apa pun yang aku perbuat,
Aku melakukan itu semata-mata untuk-Mu
(George Herbert)
Pustaka Acuan
Bank Dunia, Mengelola Sumber Daya untuk Membangun Kembali dan Mewujudkan Masa Depan yang Lebih Baik untuk Nias: Analisis Pengeluaran Publik Nias 2007 (Washington: The World Bank, 2007)
BPS Kabupaten Nias, Nias Dalam Angka 2011 (Gunungsitoli: BPS, 2011)
Browning, Don S., The Moral Context of Pastoral Care (Philadelphia: The Westminster Press, 1976)
Daniel J. Louw, “Philosophical Counselling: Towards a ‘New Approach’ in Pastoral Care and Counselling?” HTS Teologiese Studies/Theological Studies 67(2), Art. #900, 7 pages. doi:10.4102/hts.v67i2.900 (2011)
Garang, Phil J., Nias: Membangun Harapan Menapak Masa Depan (Jakarta: Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, 2007)
Gerkin, Charles V., Widening the Horizons: Pastoral Responses to a Fragmented Society (Philadelphia: The Westminster Press, 1986)
Gitowiratmo, St., Teologi Kerajaan Allah-Sebuah Orientasi Untuk Karya Pastoral Gereja (Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 2003)
Gulo, Alokasih, Pelayanan Pastoral BNKP Dalam Konteks Perubahan Sosial Pasca Gempa Bumi 28 Maret 2005 di Nias, Tesis Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2012
Henderson, David W., Culture Shift: Communicating God’s Truth to Our Changing World (Grand Rapids-Michigan: Baker Books, 1998)
Hendriks, Jan, Jemaat Vital dan Menarik (Yogyakarta: Kanisius, 2002)
Lawrenz, Mel & Daniel Green, Overcoming Grief and Trauma (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 1995)
Pramudianto (ed.), Nias Rescuing and Empowering Authority(Tangerang: Sirao Credentia Center, 2005)
Widyatmadja, Josef P., Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)
[1] Selengkapnya lih. Alokasih Gulo, Pelayanan Pastoral BNKP Dalam Konteks Perubahan Sosial Pasca Gempa Bumi 28 Maret 2005 di Nias, Tesis Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2012.
[2] BPS Kabupaten Nias, Nias Dalam Angka 2011 (Gunungsitoli: BPS, 2011), 15.
[3] Secara geografis Nias (dan Indonesia) merupakan habitat pertemuan lempeng tektonik aktif: Indo-Australia (Lautan Hindia) yang bergerak ke Utara dengan kecepatan 7 cm/tahun; lempeng Pasifik (bagian Utara Papua) yang bergerak ke barat dengan kecepatan 10-12 cm/tahun; lempeng Eurasia (Laut Cina Selatan) yang relatif tenang. Panjang lempeng yang bergerak ini kurang lebih 4000 km.
[4] Lih. Pramudianto (ed.), Nias Rescuing and Empowering Authority (Tangerang: Sirao Credentia Center, 2005).
[5] Gempa bumi ini diyakini sebagai lanjutan dari gempa bumi dan bencana tsunami yang meluluhlantakkan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian wilayah Nias pada tanggal 26 Desember 2004. Gempa bumi ini telah menciptakan penderitaan yang dalam bagi masyarakat, baik secara fisik, spiritual, mental dan sosial. Data tentang kerugian akibat gempa bumi ini lih. Bank Dunia, Mengelola Sumber Daya untuk Membangun Kembali dan Mewujudkan Masa Depan yang Lebih Baik untuk Nias: Analisis Pengeluaran Publik Nias 2007 (Washington: The World Bank, 2007), 4.
[6] BPS Kabupaten Nias, Nias Dalam Angka 2011..., 290-291.
[7] Ketika gempa terjadi, Ono-Nihaakan berteriak: “biha tuha, biha tuha”, yang intinya seruan permohonan kepada dewa Laturedanö, sekaligus pernyataan pertobatan, supaya Laturedanöberhenti menggoyangkan bumi. Saya sendiri masih menyaksikan masyarakat/penduduk yang mempraktikkan pemahaman tradisional ini di wilayah arah Tögizita, Nias Selatan, ketika terjadi gempa bumi 28 Maret 2005 yang lalu. Lih. juga Phil J. Garang, Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan (Jakarta: Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, 2007), 81; Pramudianto, Nias Rescuing …, 42-44.
[8] Phil J. Garang, Nias: Membangun Harapan ..., 81.
[9] Ibid.
[10] Josef P. Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 12.
[11] Don S. Browning, The Moral Context of Pastoral Care (Philadelphia: The Westminster Press, 1976), 18-19. Bnd. Daniel J. Louw, “Philosophical Counselling: Towards a ‘New Approach’ in Pastoral Care and Counselling?” HTS Teologiese Studies/Theological Studies 67(2), Art. #900, 7 pages. doi:10.4102/hts.v67i2.900 (2011), 25.
[12] Kearifan lokal (local genius/local wisdom) dipahami sebagai suatu pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
[13] Alokasih Gulo, Pelayanan Pastoral BNKP dalam Konteks ..., 112-113.
[14] Bnd. Josef P. Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik ..., 11-18.
[15] Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 19.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?