Rancangan Khotbah Minggu, 28 Agustus 2016
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]
3:18 Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
3:19 Demikianlah kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah,
3:20 sebab jika kita dituduh olehnya, Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu.
3:21 Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah,
3:22 dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari pada-Nya, karena kita menuruti segala perintah-Nya dan berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.
3:23 Dan inilah perintah-Nya itu: supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, Anak-Nya, dan supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus kepada kita.
3:24 Barangsiapa menuruti segala perintah-Nya, ia diam di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dan demikianlah kita ketahui, bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu Roh yang telah Ia karuniakan kepada kita.
Sering ada ungkapan: “Dari buahnya suatu pohon terlihat dengan jelas”. Memang, sebagian besar pohon dapat kita kenal walaupun belum berbuah; namun apakah pohon itu baik atau buruk, sehat atau berpenyakit, manis atau pahit/asam, akan semakin terlihat dari buahnya. Dari mana kita tahu jenis dan kualitas suatu durian misalnya? Dari buahnya semua akan terlihat dengan jelas, sebab buahnya itulah yang dapat kita rasakan/nikmati.
Demikian juga dengan manusia, akan terlihat dari buah kehidupannya, yaitu tingkah lakunya. Seseorang boleh saja mengaku sebagai orang baik-baik, namun pengakuannya itu tidak ada artinya apabila tidak ditunjukkan dengan tingkah laku yang baik-baik pula. Atau, seseorang boleh saja mengaku sebagai anak-anak Tuhan atau hamba Tuhan, namun tingkah lakunyalah yang akan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Pengakuan tentang siapa kita penting, namun pengakuan itu akan semakin bernilai apabila diiringi dengan perbuatan yang baik.
Perpaduan antara pengakuan dan perbuatan seperti ini mendapat penekanan dari surat 1 Yohanes ini. Menurut Yohanes, anak-anak Allah akan selalu memperlihatkan kebenaran dalam tingkah lakunya. Lalu, apakah kebenaran yang dimaksud? Menurutnya, menjadi benar berarti mengasihi sesama; kedengarannya cukup sederhana. Namun, kita harus sadar bahwa mengasihi sesama di sini tidak sekadar mengatakan secara verbal bahwa kita mengasihi sesama kita, atau kita mengasihi orang-orang di sekitar kita. Kata-kata “mengasihi” sudah terlalu banyak terungkap di dunia ini, setiap saat kita mendengarnya, bahkan kita mungkin sering mengatakannya. Mengasihi sesama yang dimaksud di sini adalah mengasihi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
Pertanyaannya ialah bagaimana caranya mengasihi dengan perbuatan dan dalam kebenaran dimaksud? Tentu banyak caranya, namun menurut surat 1 Yohanes ini mengasihi sesama dengan perbuatan dan dalam kebenaran berarti rela berkorban bagi sesama, sama seperti Yesus telah menyerahkan nyawa-Nya untuk manusia (lih. 1 Yoh. 3:16). Dalam kaitan dengan “pengorbanan” ini Yohanes tidak meminta kita untuk harus selalu menyerahkan nyawa bagi sesama seperti yang dilakukan oleh Yesus. Pengorbanan seperti itu memang kadang-kadang terjadi, namun inti dari pesan tulisan Yohanes tentang mengasihi/pengorbanan ini adalah “kesediaan untuk menyerahkan apa yang mempunyai nilai bagi kehidupan kita sendiri, untuk memperkaya (menolong) orang lain” (bnd. 1 Yoh. 3:17). Pengorbanan seperti ini sangat penting, sebab di sekitar kita masih banyak orang yang hidup dalam kekurangan atau kemiskinan, hidup dalam berbagai keterbatasan, hidup dalam penderitaan, dll. Benar bahwa Presiden Jokowi sudah datang ke Nias, malah tidur satu malam di daerah kita, namun hal itu tidak otomatis mengakhiri semua penderitaan, kekurangan, atau kemiskinan masyarakat kita. Oleh sebab itu, harus ada upaya untuk menolong mereka, menunjukkan kepekaan dan kepedulian kita terhadap sesama, tentu sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Mengasihi sesama dengan menolong orang-orang yang memang membutuhkan uluran tangan kita, tentu membutuhkan kerelaan untuk berkorban, yaitu kesediaan untuk menyerahkan apa yang mempunyai nilai bagi kehidupan kita sendiri, untuk memperkaya (menolong) orang lain. Tentu ini cukup berat/sulit! Menolong orang lain sebagai wujud kepekaan dan kepedulian kita kepada mereka mungkin sudah biasa kita lakukan, apalagi dalam tradisi atau budaya kekeluargaan kita. Setiap saat pun kita menolong sesama, terutama bantuan sosial kalau ada peristiwa dukacita misalnya. Pertolongan yang biasa kita lakukan ini patut dihargai, namun menurut surat 1 Yohanes ini pertolongan atau kepedulian kita seharusnya jauh melebihi kebiasaan kita selama ini. Teks ini menuntut kita untuk melakukan hal yang lebih hebat lagi, yaitu memberikan yang terbaik yang kita miliki atau yang selama ini berharga bagi kita demi menolong orang lain. Ini bukan masalah “besar – kecil”, atau “mahal – murah”, atau “mewah – sederhana”, tetapi perihal “yang terbaik atau yang berharga” yang kita miliki selama ini, bentuknya bisa barang, jasa, atau apa pun yang “berharga” yang kita miliki, dan sekarang kita memberikan itu untuk menolong sesama kita. Kasih seperti inilah yang dimaksud oleh Yohanes, kasih yang terungkap lewat perkataan/lidah dan terwujud dalam bentuk kepedulian/pertolongan kepada sesama yang membutuhkan.
Dengan perbuatan kasih itu, menurut Yohanes, maka kita dapat memastikan bahwa kita adalah pengikut Kristus yang hidup dalam kebenaran Allah, dan kebenaran itulah yang memberi harapan bagi kita bahwa Allah sendiri sangat memahami keberdosaan kita – yang karena dosa itu hati kita menuduh (mengutuki) kita – dan berkenan mengampuni dosa-dosa kita. Artinya, pengorbanan yang kita lakukan didasarkan atas pengorbanan Kristus dalam kehidupan kita, dan pengorbanan itu kemudian sangat menolong diri kita sendiri untuk menjadi tenang menjalani kehidupan, bahkan tenang datang kepada Tuhan Allah kita.
Melalui teks renungan pada hari ini, Yohanes menegaskan bahwa kehidupan Kristen terletak pada kepercayaan yang benar (bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah) dengan kelakuan yang baik (yaitu mengasihi sesama). Famati sifao fo’amuata si sökhi. Melalui teks ini Yohanes memberi pesan bagi kita bahwa kehidupan Kristen yang baik itu berarti menerima dan percaya kepada Kristus sebagai Anak Allah, dan kepercayaan kita itu terwujud dalam perbuatan kasih kita kepada sesama seperti Kristus juga mengasihi manusia.