Rancangan Khotbah Natal Umum, 25 Desember 2016
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]
Mari kita memahami Yesaya pasal 9 dalam konteks pasal 7 sampai pasal 12. Sejak tahun 745 SZB (SM) hingga beberapa tahun ke depannya, raja Asyur Tiglat-Pileser mengancam kedaulatan bangsa-bangsa di daerah Palestina, karena ia ingin memperkuat kerajaannya. Rezin raja Aram, dan Pekah raja Israel (utara), mengadakan suatu persekutuan yang pada awalnya ditujukan untuk menangkal ancaman Tiglat-Pileser itu. Mereka mengajak Ahas raja Yehuda (Israel Selatan) untuk masuk ke dalam persekutuan itu, tetapi Ahas menolaknya. Akibatnya, kedua kerajaan ini (Aram dan Isrut) berbalik mengancam Yehuda, menyerangnya dan mempersiapkan seorang raja boneka, yaitu anak Tebeel (7:6).
Banyak kota Yehuda hancur dan ratusan ribu orang tewas (2 Taw. 28:5-8), tetapi Yerusalem belum dapat dikuasai. Ancaman dan serangan dari persekutuan raja Aram dan raja Israel Utara ini membuat Ahas dan penduduk Yerusalem gemetar (7:2). Raja Ahas bukannya memohon pertolongan dari Tuhan, dia justru meminta pertolongan kepada raja Asyur tadi (2 Taw. 28:16), dan malah memberikan banyak upeti kepada raja Asyur tersebut (2 Taw. 28:21). Apakah permasalahan Ahas dan Yehuda selesai? Tidak! Karena ternyata raja Asyur yang telah dibayarnya itu datang bukan untuk menolong dia, melainkan menyesakkannya (2 Taw. 28:20). Ternyata “bayaran” tidak menjamin datangnya pembebasan, kedamaian, dan keberhasilan, malah sering menjadi “bumerang” bagi pemberi dan penerimanya.
Dalam situasi genting seperti inilah Yesaya tampil sebagai nabi Tuhan untuk mengajak raja Ahas dan segenap rakyatnya agar merendahkan diri di hadapan Tuhan, dan Yesaya juga sekaligus menyampaikan berita pengharapan keselamatan. Yesaya meyakinkan raja Ahas bahwa rencana raja Aram dan raja Israel Utara itu tidak akan berhasil, termasuk ancaman besar dari Asyur, sebab Allah telah berjanji kepada raja Daud bahwa tahta kerajaannya hanya akan diduduki oleh keturunannya saja (2 Sam. 7:12-16). Raja Ahas sudah terlanjur takut pada waktu itu, dan hal itu membuat dia tidak percaya akan perkataan Yesaya, sehingga Allah, melalui Yesaya, memberikan dia tanda. Tanda itu diungkapkan oleh Yesaya (baca Yes. 7:14-17).
Seperti kebanyakan nubuatan PL, nubuatan ini terpenuhi dalam waktu yang dekat dan di kemudian hari. Dalam waktu dekat, tanda itu terjadi, dan itulah yang diungkapkan di pasal 9:1-7. Munculnya raja Hizkia, anak Ahas, membawa harapan baru. Pada zaman Hizkia ini keadaan Yehuda jauh lebih baik, karena dia melakukan pembaharuan dalam banyak bidang kehidupan, dan memilih untuk lebih takut akan Tuhan (lih. 2 Taw. 29 dst). Ucapan Allah tentang penghancuran musuh-musuh umat Allah juga dibuktikan-Nya dengan kekalahan Aram dan Israel Utara yang tadinya menjadi ancaman serius bagi bangsa Yehuda. Kerajaan Asyur yang pada zaman Hizkia berada di bawah kekuasaan raja Sanherib masih mengancam Yehuda dan Yerusalem, dibuat jatuh oleh kekuasaan Tuhan, dan malah raja Sanherib itu dibunuh oleh anak kandungnya sendiri (lih. 2 Taw. 32:20-23). Itulah maksudnya “Imanuel”, Tuhan menyertai umat-Nya. Dan, itulah maksud dari perkataan Yesaya 9:1-6 [2-7], dengan penekanan utama pada datangnya sukacita, dan kelahiran raja dari keturunan Daud yang memerintah umat Tuhan.
Namun, Yesaya tidak berhenti sampai di situ. Dia memperkirakan bahwa anak itu akan lahir pada masa yang akan datang, yang akan memerintah dalam tahta Daud selamanya (Matius 1:18-25, menegaskan bahwa penggenapan nubuatan ini terjadi melalui Maria dan Yusuf dengan kelahiran Yesus).
Tuhan tahu bahwa dalam situasi yang sangat tidak kondusif itu, situasi genting, penuh ancaman dan ketidakpastian, dibutuhkan suatu penguatan, penghiburan, dan pengharapan yang baru. Itulah sebabnya melalui Yesaya, Tuhan memastikan kelahiran seorang anak dengan lima gelar, yaitu: Sang Ajaib – Sahölihöli dödö (Ibr. Pele), Sang Penasihat – Samolala tödö (Ibr. Yoets), Allah yang perkasa – Lowalangi Sabölö (Ibr. El gibbor), Bapa yang Kekal – Ama zi lö aetu (Ibr. Abi-ad), dan Raja Damai – Salawa wa’atulö (sar-syalom).
Secara singkat gelar-gelar tersebut dapat dipahami sebagai berikut:
Gelar pertama: Sang Ajaib – Sahölihöli dödö
Istilah ini biasanya dipakai dalam konteks perbuatan TUHAN, khususnya dalam hal keselamatan, atau hal-hal yang dalam pemikiran dan perkiraan manusia mustahil terjadi. Di pasal 7:14 Yesaya menubuatkan kelahiran anak dari “seorang perawan”. Kelahiran anak dari “seorang perawan” merupakan hal yang mustahil dalam pemikiran dan perkiraan manusia. Selain kelahirannya yang “ajaib”, gelar ini juga mengarah pada ke-ajaib-an lain yang sangat penting, yaitu pengampunan dosa dan keselamatan yang datang bersamanya.
Gelar kedua: Sang Penasihat – Samolala tödö
Di tengah-tengah situasi yang genting tadi di Yehuda, di saat-saat hampir tidak ada jalan keluar karena pengepungan atau ancaman dari segala arah, ketika tidak ada seorang pun yang dapat memberikan petunjuk dan arah langkah yang mendatangkan keselamatan, dirindukan dan atau dibutuhkanlah “Sang Penasihat”. Itulah anak yang lahir itu. Sang Penasihat ini akan mampu memberi jawaban atau tanggapan yang tepat terhadap setiap pertanyaan dan persoalan yang tengah dihadapi oleh umat Tuhan. Menarik sekali syair sebuah nyanyian berjudul “Hanya Yesus Jawaban Hidupku”, atau “Kutahu Tuhan pasti buka jalan”.
Gelar ketiga: Allah yang perkasa – Lowalangi Sabölö
Ternyata anak yang dilahirkan dari seorang perawan ini (Sang Ajaib) merupakan Allah yang perkasa. Dia akan mengalahkan semua musuh umat Tuhan, seperti diungkapkan dalam Yesaya 11:4d “... dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik”. Hanya dengan perkataan sang anak itu saja, musuh dapat dikalahkan, ancaman dapat dienyahkan. Karena keperkasaannya itulah dia dapat melindungi dan menyertai umat Tuhan. Jadi, dia pantas disebut sebagai Imanuel, Tuhan yang selalu menyertai umat-Nya.
Gelar keempat: Bapa yang kekal – Ama zi lö aetu
Tentu ke-kekal-an hanya dapat dialamatkan kepada Tuhan Allah saja. Dengan demikian, gelar ini mengarah kepada Tuhan saja, yang dalam kekristenan dihubungkan dengan Mesias yang tergenapi di dalam Kristus Yesus. Dalam perspektif eskatologi, gelar ini menekankan bahwa sesungguhnya “anak” itu telah ada dari kekal hingga kekal. Dengan demikian, keselamatan yang datang bersama dengan dia, tidak akan pernah berakhir dari selama-lamanya hingga selama-lamanya. Dalam Yohanes 14:6 ditegaskan bahwa Yesus adalah kehidupan.
Gelar kelima: Raja Damai – Salawa wa’atulö
Kita tentunya sudah dapat membayangkan bagaimana situasi kehidupan di Yehuda ketika mereka sedang dikepung dari segala arah oleh raja Aram, raja Israel Utara, dan raja Asyur sendiri. Mereka tidak dapat berbuat banyak, tidak menikmati kebebasan di dalam maupun di luar negeri mereka, pasokan kebutuhan sehari-hari sulit didapatkan, sementara itu ancaman raja-raja besar dari luar tersebut setiap saat dapat masuk dan menghancurkan kehidupan mereka. Siapa yang dapat diandalkan? Raja mereka sendiri Ahas memilih untuk “menyerah” dengan segala konsekuensinya. Dalam situasi yang seperti itulah dibutuhkan seorang raja yang dapat mendatangkan damai bagi umat Tuhan. Dan, ke-ajaib-an itu datang dengan kelahiran seorang anak dari keturunan Daud, raja Hizkia dalam arti tertentu, tetapi dalam kekristenan dipahami bahwa anak yang lahir itu adalah Yesus, Sang Mesias, Raja Damai yang sesungguhnya, Pendamai bagi semua makhluk (bnd. Yes. 11).
Anak dengan kelima gelar seperti inilah yang lahir itu, yang memerintah umat Tuhan. Disebutkan di awal ayat ini “lambang pemerintahan ada di atas bahunya”. Konteksnya jelas memperlihatkan pewarisan kerajaan Daud sebagaimana telah dijanjikan kepada raja Daud dulunya (lih. 2 Sam. 7:12-16). Raja dari keturunan Daud inilah yang dapat mendatangkan damai bagi semua.
Tadinya, bangsa Israel berada dalam kesengsaraan yang luar biasa karena situasi sosial-politik dan ekonomi yang mencekam, tetapi kini mereka dapat merasakan kehidupan yang “nikmat”, kehidupan yang jauh lebih baik, kehidupan yang mendatangkan sukacita yang besar, karena kegelapan digantikan dengan terang, kaum penindas dikalahkan, ketidakadilan digantikan dengan keadilan, ketidakbenaran digantikan dengan kebenaran, dan kehidupan mereka dipulihkan seutuhnya oleh Tuhan. Ini semua menggambarkan kedamaian yang akan dinikmati oleh umat Tuhan ketika Sang Anak itu datang, Raja Damai.
Sampai malam ini, kita tentu sangat membutuhkan “damai”, dan kita tentu terus berusaha mendapatkannya. Tentu juga pemahaman kita mengenai “damai” itu beragam, antara lain:
1. DAMAI – Kekayaan/pekerjaan yang hebat, keturunan, kehormatan atau kemuliaan
2. DAMAI – Pendidikan dan gelar tinggi dan banyak sampai ada yang dulunya membeli gelar
3. DAMAI – gaya hidup glamor (hedonisme), materialis, konsumeris, dan individualis
Kalau mau jujur dan sedikit lebih rendah hati, DAMAI ini semua sifatnya “semu”. DAMAI yang sesungguhnya hanya ada di dalam Tuhan, hanya ada ketika kita hidup menurut jalan Tuhan, bukan jalan dunia ini.
Kita membutuhkan damai:
- Bebas dari segala ancaman dan rasa takut (dulu daerah kita sangat ditakuti, istilah “05”, termasuk kampung halaman saya di Ma’u), termasuk bebas dari rasa takut karena teror bom dan yang sejenisnya;
- Bebas dari segala macam kekuatiran, ketidakpastian;
- Bebas dari segala macam kebencian, kelicikan, kemunafikan;
- Bebas dari segala macam praduga/curiga yang tidak jelas dan tidak berdasar;
- Bebas dari sikap saling menjatuhkan, dendam dan sakit hati;
DAMAI adalah dapat menikmati kehidupan dengan bebas dalam keadilan, kebenaran, dan kedamaian itu sendiri. DAMAI adalah menjalani kehidupan sedemikian rupa dalam terang kasih Tuhan. DAMAI adalah hidup dikuasai oleh Raja Damai itu dan bukan oleh berbagai kesuksesan, prestise, dan kebanggaan duniawi. Itulah maksud utama kedatangan Kristus yang kelahiran-Nya kita rayakan malam ini, supaya kita dapat menikmati kedamaian yang sejati, supaya segala ketakutan kita hilang dan digantikan dengan keberanian menghadapi dan atau menjalani kehidupan dengan segala dinamikanya itu, sebab para malaikat berkata: “... jangan takut ... sebab hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2:11).
[1] Khotbah Natal Umum Malam, 25/12/2016, di Jemaat BNKP Hebron