Sunday, December 4, 2016

Tekun dalam Pengharapan, Kokoh dalam Persekutuan (Roma 15:4-13)



Khotbah Minggu Adven II, 04 Desember 2016
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]




Walaupun Paulus belum pernah ke Roma ketika dia menulis suratnya ini, namun kota Roma yang terkenal pada zaman itu sudah dapat dibayangkan. Salah satunya adalah tentang situasi jemaat Kristen yang ada di sana, terdiri dari Kristen Yahudi dan Kristen non Yahudi. Mereka ini berada di tengah-tengah bangsa lain, dan menjadi semacam “minoritas”, sama seperti keberadaan orang Kristen di Indonesia saat ini. Persoalannya adalah bagaimana dapat “bertahan” dalam situasi dunia, dhi kota Roma dimana orang Kristen pada saat itu adalah “minoritas”?

Pertama-tama dan terutama, orang Kristen harus mengandalkan Tuhan Allah. Hal ini tergambar dalam pernyataan Paulus bahwa Allah adalah sumber ketekunan dan penghiburan, sumber pengharapan (ay. 5, 13). Di sini Paulus mencoba mengajak jemaat Kristen untuk menyadari bahwa satu-satunya sumber kekuatan untuk bertahan di kota Roma tersebut adalah Tuhan Allah sendiri. Orang Kristen tidak bisa berbuat banyak, sekali lagi mereka adalah “minoritas”, bukan kelompok masyarakat yang berpengaruh, karena itu mereka harus tetap bertahan dengan berpegang teguh pada pengharapan di dalam Tuhan.

Dalam konteks Indonesia, kita (orang Kristen) adalah kelompok masyarakat yang tidak begitu banyak (“minoritas”), tidak begitu berpengaruh, dan malah sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil, baik dari kelompok “mayoritas” maupun dari pemerintah sendiri. Kita tidak bisa berbuat banyak, kita hanya bisa mencoba bertahan dalam situasi seperti itu sambil terus menerus berdoa “Tuhan tolonglah kami ...”. Mengandalkan Tuhan dalam situasi seperti itu memang menjadi semacam “obat mujarab” untuk menolong kita bertahan dan berharap terus bahwa “mukjizat” akan datang. Bagi kita, Tuhan adalah sumber penghiburan dan kekuatan.

Namun, pengharapan kita ini tidak hanya terkait “minoritas dan mayoritas”. Pengharapan kita juga harus tetap teguh di dalam Tuhan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan berbagai macam kerikilnya itu. Berbagai tantangan bahkan ancaman menghantam kita, kadang-kadang datang secara tiba-tiba, apalagi dengan kondisi cuaca yang “kurang bersahabat” sehingga banyak orang yang mengeluh dan menjerit. Siapa yang kita andalkan? Pada siapa kita berharap? Paulus mengajak kita untuk tetap berharap pada Tuhan saja, sebab Dialah sumber pengharapan kita yang sejati dan kekal.

Kedua,dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda, Yahudi dan non Yahudi, orang Kristen tidak boleh saling melemahkan, justru harus saling menopang/menguatkan. Hal ini terungkap dalam pernyataan Paulus yang mengajak jemaat untuk saling menerima, sebab Kristus sendiri telah menerima mereka (ay. 7), serta karena pengharapan yang dari Allah itu berlaku bagi mereka yang bersunat dan tak bersunat (bangsa-bangsa lain, ay. 8-12). Benar bahwa Allah menyatakan janji-Nya dulu kepada nenek moyang Israel (ay. 8), dan itu telah ditulis sejak dahulu (ay. 4), namun harus disadari bahwa pada prinsipnya Allah menginginkan janji itu dinyatakan juga kepada bangsa-bangsa, sehingga mereka pun dapat bersukacita dan memiliki pengharapan di dalam Tuhan (ay. 9-12).

Paulus tahu bahwa (biasanya) orang Kristen Yahudi itu termasuk “kuat” (merasa diri superior), dan orang Kristen non Yahudi itu “lemah” (dianggap inferior). Namun, Paulus justru menganjurkan jemaat untuk saling menopang, yang kuat harus menolong yang lemah, sebab demikianlah adanya sifat Allah yang senantiasa menguatkan dan menghibur jemaat-Nya. Sebaliknya, apabila jemaat Kristen yang “minoritas” itu justru saling “menggigit”, maka mereka tidak dapat bertahan di tengah-tengah masyarakat Roma yang majemuk itu, apalagi perbuatan “saling menggigit” itu sendiri pun bukanlah tipe orang-orang yang percaya kepada Kristus Yesus.

Mengandalkan Tuhan memang mutlak diperlukan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini, namun hal yang juga sangat penting adalah bagaimana orang Kristen sendiri bertahan dengan menguatkan “persekutuannya” sendiri, bukan sebaliknya saling menjatuhkan. Menarik sekali bagian pertama dari visi BNKP “teguh dalam persekutuan” (mo’arota ba wahasambua), sebab melalui visi ini jemaat Kristen, khususnya BNKP diajak untuk memperkuat persekutuannya, mulai dari dalam keluarga, lingkungan (sektor), jemaat, resort, hingga tingkat sinodal. Di BNKP sendiri di semua aras, warga jemaatnya beraneka ragam, karena itu kita harus saling menopang dan menghargai, sebagaimana Allah sendiri selalu menopang kita dan mengangkat kita menjadi umat yang dikasihi-Nya.

Kita tahu bahwa di jemaat kita ada yang “kuat” ada juga yang “lemah”, baik dalam hal “iman” maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kita memang berbeda-beda, dan karena itu kita harus saling menerima, saling menopang, dan saling menghargai. Berkat keselamatan dan pengharapan itu diberikan Tuhan kepada kita semua, baik yang “kuat” maupun yang “lemah”. Karena itu kita tidak boleh saling “klaim” bahwa berkat ini, berkat itu, ... dst hanyalah untuk diri sendiri. Kita telah diterima apa adanya oleh Tuhan, orang lain pun diterima juga oleh Tuhan; kita telah diselamatkan, ditopang/dikuatkan dan dihiburkan oleh Tuhan, orang lain pun demikian. Jadi, kalau kita mau jemaat kita tetap bertahan dalam situasi apa pun, maka marilah kita saling menerima dan mendukung, dan marilah kita bergandengan tangan menghadapi tantangan dan ancaman bersama, mari kita kokohkan persekutuan kita. Maka, pengharapan kita di dalam Tuhan tidak akan sia-sia.

Berharaplah terus pada Tuhan, dan teguhkanlah persekutuan kita.


[1] Khotbah Minggu, 03/12/16, di Jemaat BNKP Tuhemberua, Resort 26.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...