Bahan Khotbah Natal I, 25 Desember 2016
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]
Pengantar
Tema awal yang sangat penting dalam tulisan Yohanes adalah “Firman yang menjadidaging” (LAI: Firman itu telah menjadi manusia). Inilah yang kemudian kita kenal sebagai Inkarnasi Allah. Firman yang telah menjadi manusia ini sejak pada mulanya bersama-sama dengan Allah (ay. 1-3), datang untuk membawa terang (4-9), dan datang serta diam di antara manusia (10-14).
Menurut Yohanes, Yesus telah bersama-sama dengan Allah sejak pada mulanya (sejak penciptaan). Apa yang terjadi sekarang ialah bahwa Firman Allah yang kekal itu turun ke bumi mengambil rupa manusia, “Firman menjadi daging” (telah menjadi manusia). Ini bukanlah pertama sekali Allah terlibat dalam sejarah manusia. Sebelumnya Allah telah bekerja di dunia ini melalui perjanjian, hukum, hakim-hakim, raja-raja, dan nabi-nabi. Namun sekarang Allah melibatkan diri-Nya sendiri secara langsung, sebagai Firman Allah yang menjadi (daging) manusia dan tinggal bersama manusia dalam bentuk diri manusia.
Ungkapan “Firman bersama-sama dengan Allah” (ay. 1-2) selalu didahului dengan ungkapan khas penciptaan di kitab Kejadian, yakni “pada mulanya”. Hal ini memberi indikasi kuat bahwa injil Yohanes sedang membawa pembacanya kepada tradisi penciptaan dengan “Firman” Ilahi oleh Allah, sekaligus menjawab tantangan “rasionalitas” pikiran Yunani yang mereduksi keilahian Yesus dengan menganggap-Nya tidak berasal dari “kekekalan” (pada mulanya) dan bahwa Yesus terpisah dari Allah. Penegasan ini sangat penting untuk memberikan kepastian dan atau semacam dasar kepercayaan kepada pembacanya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah (20:31) yang memiliki kemuliaan ilahi (1:14).
Dalam semangat yang sama, Yohanes menegaskan bahwa Firman yang bersama-sama dengan Allah itu sejak pada mulanya telah “bersama-sama” (“terlibat”) dengan Allah dalam suatu aktivitas ilahi, yakni aktivitas yang daripadanya segala sesuatu dijadikan (ay. 3), atau dalam tradisi penciptaan dikenal sebagai aktivitas penciptaan dan sejarah. Apa artinya? Yaitu bahwa Firman itu adalah Allah sendiri, Allah yang sudah ada sejak pada mulanya, Allah yang bergerak atau terlibat dalam medan sejarah “alam semesta”, Allah yang membuat segala sesuatu ada, dan karenanya Dia jugalah yang menata alam semesta ciptaan-Nya itu.
Firman itu Membawa Terang (ay. 4-9)
Dengan sangat hati-hati penulis injil ini menegaskan bahwa Yohanes bukanlah terang, dia hanyalah utusan Allah, saksi yang memberi kesaksian tentang terang itu (ay. 4-5). Sekarang, Yohanes menyampaikan kesaksiannya tentang logos itu, tentang terang tersebut.
Baiklah, Firman itu memang bersama-sama dengan Allah sejak pada mulanya, namun apa maknanya bagi para pembaca Yohanes? Apa dampak yang dihasilkan oleh Firman itu? Atau, pertanyaan yang lebih sederhana adalah mengapa Allah (harus) menjadi manusia? Karena dunia telah jatuh ke dalam kegelapan, sehingga dunia ini membutuhkan terang (bnd. ay. 5). Artinya, Allah menjadi manusia untuk membawa terang ke dunia yang telah dipenuhi oleh kegelapan. Dengan demikian, Allah datang untuk melawan kegelapan, dan itulah maksud utama dari kelahiran Yesus menurut Injil Yohanes. Dengan maksud ini kita diyakinkan bahwa di dalam Yesus ada terang yang memberi kehidupan, Dialah yang menerangi setiap orang bahkan yang ada di dalam kegelapan, dan itulah maksud kedatangan-Nya ke dalam dunia (ay. 9). Firman (logos) itu berasal dari kekekalan, sedangkan kegelapan itu tidaklah abadi. Di sini tersirat penegasan bahwa Yesus telah diberikan otoritas untuk menerangi kegelapan, sama seperti kuasa yang dimiliki-Nya untuk menghakimi (lih. 5:27). Sekarang, mau berjalan di mana? Dalam terang atau dalam kegelapan?
Firman itu Datang dan Diam di antara Manusia (ay. 10-14)
Namun, penulis Injil Yohanes tidak berhenti pada sesuatu yang abstrak, tidak berhenti pada suatu ide yang kedengarannya manis dan menjanjikan. Yohanes kemudian membuatnya lebih konkret, pertama-tama menegaskan bahwa kita semua dijadikan sebagai anak-anak Allah oleh karena kehendak Allah sendiri (ay. 12, 13), walaupun masih banyak orang yang tidak menerima Dia. Kedua, yaitu bahwa Firman yang menjadi manusia itu datang dan diam di antara manusia. Penegasan ini pada satu sisi memberi kepastian kepada setiap orang yang masih ragu-ragu akan kemungkinan “turunnya” Allah (yang ilahi) ke dalam dunia (yang materiil), dan pada sisi lain meyakinkan pembacanya untuk berani menjalani kehidupan di tengah-tengah dunia yang pada waktu itu telah dikuasai oleh kegelapan.
Lalu apa arti dari semua ini? Kerelaan Allah menjadi manusia, dan kini diam di antara manusia menunjukkan solidaritas ilahi akan dunia, menunjukkan bahwa Allah solider terhadap umat manusia dengan segala kesengsaraannya, menunjukkan bahwa Allah peduli secara nyata dengan penderitaan, kesulitan, bahkan keragu-raguan manusia. Ini merupakan berita sukacita besar, bukan saja kepada pembaca awal dari tulisan Yohanes ini, melainkan juga bagi manusia di sepanjang masa.
Pokok-pokok Renungan
1) Perayaan kelahiran Kristus menjawab keraguan kita tentang keilahian Yesus. Memang kita bisa saja tidak lagi ragu akan hal itu, tetapi dalam faktanya keraguan itu masih saja ada. Hal ini dapat dilihat misalnya pada bagian berikut:
“Suatu hari saya mengikuti kebaktian minggu di suatu jemaat BNKP yang ada di wilayah perkotaan. Saya duduk di bagian belakang bersama dengan warga jemaat biasa. Tanpa sengaja, saya melihat seorang warga jemaat sedang ber-sms-an dengan seseorang dan isi sms-nya itu adalah tentang “ilmu kekebalan tubuh” dan berbagai jimat lainnya sebelum berangkat. Saya tidak menyangka bahwa ada warga jemaat di perkotaan yang bahkan sedang mengikuti kebaktian pun masih saja melakukan praktik “kegelapan” seperti itu”.
2) Sekarang, mau berjalan di mana? Dalam terang atau dalam kegelapan?
3) Yohanes mungkin tidak tahu banyak tentang kisah Natal seperti yang biasa kita rayakan dewasa ini, tetapi dia tahu betul tentang semangat atau jiwa dari Inkarnasi itu, yaitu bahwa karena Yesus, perwujudan kasih karunia Allah (1:16) menjadi daging, maka kita diberikan kesempatan untuk mengenal Allah yang tidak dapat diketahui (1:18), dan mengakui diri sebagai anak-anak Allah yang dikasihi. Inilah sesungguhnya hadiah Natal itu, identitas yang baru, kesempatan yang baru, kemanusiaan yang baru, semuanya melalui Allah di dalam Kristus. Inilah hadiah Natal, dan sepantasnya menarik seluruh perhatian kita hari ini, bahkan sepanjang tahun.
[1] Khotbah Natal Siang, Minggu, 25/12/2016, di Jemaat BNKP Orahili Sifalaete
[2] Injil Yohanes menampilkan Yesus sebagai “Pengungkap (yang menyatakan)”, Firman/Logos, bukan Hikmat/Sophia seperti yang dilakukan oleh Injil Lukas dan Matius. Kata “logos” dalam bahasa Ibrani adalah dabar, dan kata “sophia” adalah hokma. Bahwa Yohanes tidak pernah secara eksplisit mengaitkan Yesus dengan tradisi hikmat memang telah menjadi semacam teka-teki terutama bagi para ahli biblika, sampai-sampai ada yang memadukan kedua tradisi tersebut, yakni tradisi “logos” dan tradisi “sophia”. Beberapa ahli juga mengasumsikan Logos sejalan dengan hikmat dengan alasan bahwa banyak sebutan terkait “logos” di bagian prolog injil ini yang nampaknya berbicara juga tentang hikmat dalam tradisi “sophia”. Tetapi, lagi-lagi, Yohanes tidak pernah secara tegas menunjuk Yesus sebagai Hikmat. Ada ahli yang mencoba menjawab teka-teki ini dengan mengatakan bahwa Yoh. 1:1 dengan kekhasan kata “logos” sebenarnya berpadanan dengan Kej. 1:1, dimana kedua teks ini dimulai dengan kalimat “pada mulanya” (Yun. LXX en arch). Kejadian 1 menceritakan penciptaan oleh Allah dengan “Firman” Ilahi.Selanjutnya, prolog di Yoh. 1:1-5 memiliki kesejajaran dengan Kej. 1:1-5. Di kedua teks tersebut, “logos” atau Firman, dan “terang” terjalin dengan lekat. Tradisi Memra Targum menekankan “logos” sebagai bentuk natur-ilahi Allah. Lalu, apakah “logos” itu? Apa maknanya?
Dalam tradisi Israel/Yahudi “logos” berarti Firman Allah yang pada dasarnya merupakan sebuah metafora untuk aktivitas Allah dalam penciptaan dan sejarah. Dalam pemikiran Yunani kata ini menandakan “rasionalitas” dan “wacana” dan tentunya termasuk pidato. Bagi Stoa, kata ini berarti prinsip abadi dari tatanan rasional – struktur akhir dari realitas – yang menata alam semesta dan menyelenggarakannya bersama-sama. Keduanya melambangkan “pikiran batiniah” dan “ekspresi yang dikeluarkan” atau ucapan/pidato.
Jadi, dapat dikatakan bahwa ungkapan Logos dalam injil Yohanesberasal daritradisi Ibrani, juga dikenal dalam tradisi Yunani. Inkarnasi “logos/Firman” yang disampaikan oleh Yohanes berhubungan dengan “pemuliaan” pada saat-saat kematian-Nya. Hal ini menentang pikiran gnostisisme yang menganggap martir itu tidak pernah ada. Sedangkan dalam kekristenan, sebagaimana kita sadari bersama, martir itu merupakan realitas yang kadang-kadang harus dijalani. Pemuridan yang setia bisa saja mengakibatkan martir. Kristologi Logos itu memiliki konsekuensi historis dan politis. Kristologi logos berkaitan dengan dan menguatkan pemuridan (bnd. 1:12).
Thank's
ReplyDeleteTuhan itu alpadandan umegatidak berawal dan tidak berujung .
ReplyDelete