Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
2 Adapun keluarga Saul mempunyai seorang hamba, yang bernama Ziba. Ia dipanggil menghadap Daud, lalu raja bertanya kepadanya: “Engkaukah Ziba?” Jawabnya: “Hamba tuanku.”
3 Kemudian berkatalah raja: “Tidak adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah.” Lalu berkatalah Ziba kepada raja: “Masih ada seorang anak laki-laki Yonatan, yang cacat kakinya.”
4 Tanya raja kepadanya: “Di manakah ia?” Jawab Ziba kepada raja: “Dia ada di rumah Makhir bin Amiel, di Lodebar.”
5 Sesudah itu raja Daud menyuruh mengambil dia dari rumah Makhir bin Amiel, dari Lodebar.
6 Dan Mefiboset bin Yonatan bin Saul masuk menghadap Daud, ia sujud dan menyembah. Kata Daud: “Mefiboset!” Jawabnya: “Inilah hamba tuanku.”
7 Kemudian berkatalah Daud kepadanya: “Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku.”
8 Lalu sujudlah Mefiboset dan berkata: “Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?”
Teks ini berbicara tentang kebaikan Daud kepada keturunan Saul, bekas musuh besarnya. Dalam tradisi kerajaan kuno, membinasakan seluruh keturunan, keluarga, dan pendukung raja sebelumnya, apalagi kalau sempat bermusuhan, merupakan hal yang wajar, bahkan “wajib” dilakukan untuk “menyelamatkan” kekuasaannya. Mengapa? Karena ada saja kemungkinan kelompok raja sebelumnya membangun kekuatan untuk menjatuhkan raja yang sedang berkuasa. (catatan: itu juga sebenarnya yang dilakukan oleh raja Salomo ketika dia berkuasa, mencari lawan-lawan politiknya, termasuk mantan panglima tentara ayahnya, lalu menempatkan mereka pada situasi yang dilematis, hingga pada akhirnya mereka “dihukum mati” alias dibunuh). Tetapi, raja Daud melakukan hal yang berlawanan dengan hukum alam kerajaan kuno, dia memang mencari tahu sisa-sisa keturunan Saul, tetapi bukan untuk dibunuh (seperti yang umum dilakukan oleh para raja di sekitarnya), melainkan untuk “diselamatkan”, untuk dikasihani, dengan alasan dia sudah berjanji dengan sahabat dekatnya Yonatan.
Tampaknya, Daud begitu hati-hati ketika mencari orang dari keluarga Saul, untuk menghindari kesalahpahaman yang bisa menciptakan ketakutan bagi mereka. Perhatikan perkataan Daud di ayat 1, khususnya setelah dia bertanya apakah masih ada orang yang tinggal dari keturunan Saul. Dengan segera, Daud memberitahukan maksud pencariannya: “… aku akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan” (ay. 1b). perkataan ini diulang kembali ketika sudah bertemu dengan Ziba, hamba keluarga Saul, raja Daud berkata tentang maksud pencariannya, “aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah” (ay. 3b), dan dipertegas ketika sudah bertemu dengan Mefiboset (anak laki-laki Yonatan yang cacat kakinya), “… aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan …” (ay. 7). Pernyataan ini jelas memberi kelegaan bagi keluarga Saul, dicari dan dipanggil bukan untuk dibinasakan, melainkan untuk dikasihani, untuk diselamatkan.
Daud tidak mengada-ada, dia tidak sedang melakukan politik tipu muslihat, dia memang sungguh-sungguh menunjukkan kebaikan hatinya kepada anggota keluarga Daud dengan alasan yang logis, yaitu perjanjiannya dengan sahabat karibnya Yonatan. Kisah persahabatan mereka ini dapat dibaca di kitab 1 Samuel 18 dan 1 Samuel 20 secara khusus ayat 42, yaitu bahwa keduanya (Daud dan Yonatan) akan tetap menjadi sahabat hingga keturunan mereka, walaupun raja Saul pada waktu itu berusaha membunuh Daud.
Di ayat 7, Daud meminta Mefiboset untuk tidak takut. Mefiboset mungkin saja takut kalau Daud hanya mencarinya untuk memperlakukan dia seperti cara umum para perampas kekuasaan Timur, yang sering kali membunuh semua keluarga raja pendahulunya. Mefiboset juga tampaknya tinggal dalam persembunyian di Lodebar (ay. 4). Namun, Daud meyakinkan dia bahwa hidupnya terjamin, tidak akan dibunuh, oleh karena perjanjian raja Daud dengan ayahnya Yonatan.
Daud tidak sekadar menyampaikan janji manis kepada Mefiboset, dia sungguh-sungguh melakukannya dengan mengembalikan segala ladang Saul (yang sempat “dirampas” sebagaimana lazimnya ketika raja sebelumnya jatuh atau turun takhta). Ketika raja baru naik takhta, dan raja lama tersingkir, maka sudah lazim segala milik raja lama tersebut akan menjadi milik raja baru tersebut (bnd. 2 Sam. 12:8). Nah, Daud berjanji (dan melakukannya) bahwa dia akan mengembalikan ladang Saul tersebut kepada keluarga Saul, yaitu Mefiboset.
Selain itu, raja Daud juga memberi kesempatan kepada Mefiboset untuk makan sehidangan dengan raja. Makan sehidangan dengan raja, atau makan di meja raja, merupakan suatu tanda kehormatan umum di negara-negara Timur (lih. 1Raj. 2:7; 2Raj. 25:29), dan malah jauh lebih terhormat, jauh lebih berharga dari tanah milik yang dikembalikan itu. Walaupun mungkin Ziba (hamba keluarga Saul, ay. 2) harus “kehilangan penguasaannya” atas sebagian tanah milik bekas tuannya Saul, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mefiboset, yang cacat kakinya, secara fisik lemah, kini mendapatkan hak istimewa dengan menjadi teman raja, dan makan di mejanya.
Menarik memang pendekatan yang dipakai oleh Daud di sini, bertolak belakang dengan kebiasaan raja-raja pada umumnya pada waktu itu yang membinasakan keluarga/kerabat/pendukung raja sebelumnya, bertolak belakang dengan tradisi raja-raja pada waktu itu yang suka menghabisi lawan-lawan politiknya. Daud sadar bahwa keluarga Saul dapat saja menjadi ancaman baginya dan keturunannya ke depan, tetapi boro-boro membungkam atau menghabisi mereka, dia malah “merangkul” mereka. Ini merupakan strategi yang luar biasa, walaupun juga sangat riskan, sebab bisa saja “lawan” yang dirangkul tersebut menjadi “musuh dalam selimut”. Tetapi, dalam pengasihannya itu, raja Daud tentu berusaha mengantisipasinya, dia meminta Mefiboset makan sehidangan dengan dia, memperlakukannya layaknya anak raja, tetapi mungkin saja “mengawasi” gerak-geriknya. Bagaimana pun juga, Daud menunjukkan kasih Allah kepada Mefiboset, walaupun dia disebut cacat kakinya. Sangat mudah bagi Daud untuk membunuhnya, tetapi hal itu tidak dilakukannya, sebab kasihnya dan perjanjiannya dengan Yonatan jauh lebih penting daripada meneruskan tradisi raja-raja kuno di sekitarnya. Lagi pula, raja Daud, melalui strategi ini, hendak menyelamatkan masa depan kerajaannya, dengan menyudahi permusuhan itu, dan yang jauh lebih penting adalah membangun kekuasaan dan tentunya kerajaan Israel yang kuat. Dan, kita tahu, puncak kejayaan Israel terjadi pada zaman Daud, hingga kemudian namanya yang lebih dikenang sampai saat di Israel sebagai raja yang luar biasa.
Bagaimana respons Mefiboset? Ayat 8 dengan singkat menyebutkan bahwa Mefiboset sujud di hadapan raja Daud dan berkata: “Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?” Dia “menghina” diri sendiri sebagai “anjing mati”, dan itu cukup ekstrem, paling tidak untuk orang seperti Mefiboset. Bagaimana mungkin anak seorang pangeran (Yonatan), atau cucu seorang raja (Saul) menjelekkan diri sendiri dengan sebutan “anjing mati?” Mefiboset tahu bagaimana permusuhan antara Saul, leluhurnya, dengan Daud yang kini telah menjadi raja, dia tahu bagaimana perlakukan leluhurnya Saul ketika masih menjadi raja Israel kepada Daud, diperlakukan seperti buron kelas wahid. Mefiboset mungkin merasa “bersalah” atas perlakuan keluarga Saul atas Daud, dan kini menyadari ketidakberdayaannya di hadapan Daud, apalagi dengan kondisinya yang cacat kakinya. Anjing mati layak dibuang, dan Mefiboset menyadarinya, dia pada dasarnya adalah orang yang terbuang seiring dengan kejatuhan keluarga Saul. Dia sungguh tahu diri bahwa Daud yang ada di hadapannya sekarang adalah raja, bukan lagi rakyat biasa yang dulu diburu oleh Saul.
Penyebutan diri sebagai “anjing mati” juga merupakan bahasa hiperbola yang sudah biasa di dunia timur. Mefiboset tahu bahwa mestinya dia membalas kebaikan hati Daud itu dua kali lipat dari apa yang diterimanya, tetapi dengan segera dia sadar bahwa dia tidak mampu melakukannya. Maksud Mefiboset di sini sebenarnya tidak lebih dari ungkapan terima kasih yang besar, sekaligus mengakui adanya perbedaan derajatnya (yang kini sudah menjadi rakyat biasa) dengan Daud (yang kini sudah menjadi raja). Perkataan Mefiboset ini juga mengingatkan kita pada perkataan serupa yang dulu pernah disampaikan oleh Daud kepada raja Saul (lih. 1 Samuel 24:14).
Seperti yang disampaikan oleh Daud kepada Ziba, bahwa dia hendak menunjukkan kasih yang dari Allah kepada keluarga Saul, dalam hal ini kepada Mefiboset. Jadi, terlepas dari dimensi politis yang memang tak terhindarkan, Daud menempatkan kebaikan hatinya itu dalam kerangka “kasih Tuhan”, yakni kasih kepada orang yang menurut hukum umum “layak dibunuh”, paling tidak “layak dibuang”.
Dari perspektif Mefiboset, kita pun sebenarnya “layak dibuang” dari hadapan Allah, tetapi Dia tidak melakukannya. Tuhan malah menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, walaupun penuh dengan risiko. Allah mencari manusia, bukan untuk dibinasakan melainkan untuk diselamatkan, dan hal itulah yang telah dilakukan-Nya bagi kita, termasuk di Nias. Denninger, misionaris dari RMG Jerman, pada awalnya diutus ke Borneo (Kalimantan) untuk memberitakan Injil. Beliau kemudian ikut melarikan diri ke Jawa dan Sumatera ketika terjadi perang saudara di Borneo. Denninger mestinya meneruskan perjalanan ke tanah Batak untuk memberitakan Injil, tetapi oleh karena istrinya sakit, dia harus berhenti di Padang. Siapa yang menduga bahwa selama perhentian sementaranya di Padang itu, ternyata dia bertemu dengan banyak orang Nias di sana. Niat awal untuk melanjutkan perjalan ke tanah Batak dialihkan dengan melanjutkan perjalanan ke tanah Nias, walaupun belum mendapatkan izin dari badan misi RMG. Akhirnya, beliau tiba di Gunungsitoli pada tanggal 27 September 1865. Sejak itulah berita Injil yang menyelamatkan dan membebaskan masyarakat Nias disampaikan dan sampai saat ini kita masih menikmatinya. Oleh sebab itu, dengan penuh kerendahan hati, kita sujud di hadapan Tuhan sambil berkata: “siapakah aku ini Tuhan, anjing mati yang mestinya dibuang, tetapi telah engkau hidupkan, telah engkau layakkan?” Dalam rangka perayaan misi di Nias, bukankah dulu Nias begitu menyeramkan, tetapi kemudian tangan pengasihan Tuhan telah menjangkau kita?
Sementara dari perspektif Daud, kita mesti meneruskan kasih Allah yang telah kita terima kepada siapa pun, bahkan kepada orang-orang yang menurut ukuran dunia tidak patut diperhitungkan. Kita belajar dari tindakan Daud, bahwa demi meneruskan kasih Tuhan, demi rekonsiliasi, demi kebaikan bersama, maka ego personal mesti dikesampingkan, harus ditundukkan, dan mari nyatakanlah kebaikan kepada siapa pun, bahkan kepada musuh sekalipun. Kita terpanggil untuk memberitakan kabar baik, berita kehidupan kepada siapa pun, bahkan kepada mereka yang "terbuang" di tengah-tengah masyarakat, kita terpanggil untuk menyatakan kasih kemurahan Tuhan kepada setiap orang, termasuk kepada orang-orang yang selama ini tidak dianggap oleh masyarakat dunia. Hal ini memang berat, tetapi dapat dilakukan!