Rancangan Khotbah Minggu, 4 Oktober 2020
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo
18 TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
19 Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu.
20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.
21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
23 Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”
24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
25 Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.
19 Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu.
20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.
21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
23 Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”
24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
25 Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.
Kitab Kejadian dimulai dengan dua cerita berbeda tentang penciptaan, tetapi keduanya saling melengkapi. Selain mengetengahkan kisah penciptaan itu sendiri, kedua cerita tersebut hendak menyajikan gambaran Tuhan Sang Pencipta.
Dalam kisah penciptaan pertama (Kej. 1), Tuhan digambarkan sebagai sosok yang berbicara dari jauh, melalui firman-Nya Dia menciptakan atau menghadirkan keteraturan dari kekacauan alam semesta. Itulah yang terungkap dalam cerita enam hari penciptaan yang direncanakan dan dilakukan dengan pola atau tatanan yang baik dan terstruktur dengan cermat. Berulang kali Tuhan menyatakan hasil dari penciptaan-Nya itu sebagai sesuatu yang “baik”, dan pada puncaknya seluruh ciptaan dinyatakan “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Khusus untuk penciptaan manusia, menurut Kejadian 1:27, Tuhan menciptakan manusia pada waktu yang bersamaan, laki-laki dan perempuan, keduanya sepenuhnya dalam gambar dan rupa Allah. Dalam Kejadian 1, kita dapat melihat bahwa (dari jauh melalui firman-Nya) Tuhan menciptakan keteraturan alam semesta yang sebelumnya begitu kacau, dan dalam pandangan Tuhan semuanya itu “amatlah baik”. Allah menciptakan yang “baik”, mendatangkan dan atau menghadirkan yang “baik” dengan maksud yang “baik”, yaitu supaya alam semesta dipenuhi dengan “ke-baik-an”, dan hasilnya dapat sesuai dengan kehendak Tuhan.
Sekarang, ketika kita beralih ke kisah penciptaan kedua (Kej. 2:4b-25), kita dapat melihat gambaran tentang Tuhan yang agak berbeda. Kalau sebelumnya Tuhan digambarkan sebagai sosok yang berbicara dari jauh (Kej. 1), sekarang di Kejadian 2:4b-25 Dia digambarkan sebagai sosok yang lebih dekat, Dia bahkan “turun dan kotor” bersama dengan ciptaan, Dia membentuk manusia (adam) dari tanah atau tanah liat (adamah), dan membuatnya menjadi makhluk yang hidup dengan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7). Ini mirip dengan tindakan pemberian napas buatan untuk orang-orang yang detak jantung atau pernapasannya terhenti karena tenggelam atau terkena serangan jantung.
Lalu Tuhan menempatkan manusia yang dibentuk-Nya itu di taman Eden, sebuah taman yang terletak di selatan Mesopotamia kuno (sekarang Irak), taman yang konon sangat indah, mirip dengan taman raja pada zaman kuno. Taman ini menjadi semacam “laboratorium” ilahi, tempat di mana Dia melakukan “uji coba” atas ciptaan-Nya, terutama manusia yang dibentuk-Nya dari tanah itu. Permasalahan utama yang hendak diselesaikan oleh Tuhan di sini adalah bahwa tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja (Kej. 2:18a). Allah pun mengajukan jawaban sementara (hipotesis) atas persoalan utama tersebut dengan pernyataan singkat: “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18b).
Seorang Diri itu Tidak Baik!
Teks ini dengan jelas menyajikan permasalahan utama yang diidentifikasi oleh Allah di laboratorium-Nya, taman Eden, yaitu “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”. Pernyataan Tuhan “tidak baik …” di pasal 2 ini terdengar seperti “antitesis” dari pernyataan sebelumnya di pasal 1 ketika Allah melihat segala yang diciptakan-Nya itu begitu baik. Sekarang, berdasarkan pengamatan yang intensif, observasi yang sekian lama sudah dilakukan-Nya, Allah melihat bahwa ternyata ada sesuatu yang tidak baik, yaitu kalau manusia itu seorang diri saja. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sejak awal Allah tidak menghendaki adanya kehidupan yang teralienasi, Allah memandang tidak baik kalau manusia hidup terasing dan menyendiri untuk dan oleh dirinya sendiri. Oleh sebab itu, setelah melalui pertimbangan dan analisis yang matang, Allah mengajukan jalan keluarnya, yaitu “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (ay. 18b). Karena tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, maka lebih baik diberikan kepadanya penolong yang sepadan. Kalau pada cerita penciptaan di pasal sebelumnya (Kej. 1), manusia diciptakan sebagai “makhluk ilahi” (diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, Kej. 1:26-27), maka pada cerita penciptaan di pasal 2 ini manusia dibentuk dari tanah sebagai “makhluk individu” (Kej. 2:7), dan kemudian diarahkan untuk menjadi “makhluk sosial”, yaitu makhluk yang sebaiknya membangun relasi sosial dengan yang lain, entah dengan alam atau pun dengan sesamanya. Jadi, jelas bahwa sejak awal Allah tidak menghendaki manusia (dan makhluk lain) teralienasi atau saling mengasingkan, bagi Allah alienasi atau keterasingan itu tidak baik. Lengkaplah sudah cerita penciptaan (manusia) dalam kitab Kejadian 1 dan 2 ini, mulai dari makhluk ilahi, kemudian diteruskan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Dalam kisah penciptaan pertama (Kej. 1), Tuhan digambarkan sebagai sosok yang berbicara dari jauh, melalui firman-Nya Dia menciptakan atau menghadirkan keteraturan dari kekacauan alam semesta. Itulah yang terungkap dalam cerita enam hari penciptaan yang direncanakan dan dilakukan dengan pola atau tatanan yang baik dan terstruktur dengan cermat. Berulang kali Tuhan menyatakan hasil dari penciptaan-Nya itu sebagai sesuatu yang “baik”, dan pada puncaknya seluruh ciptaan dinyatakan “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Khusus untuk penciptaan manusia, menurut Kejadian 1:27, Tuhan menciptakan manusia pada waktu yang bersamaan, laki-laki dan perempuan, keduanya sepenuhnya dalam gambar dan rupa Allah. Dalam Kejadian 1, kita dapat melihat bahwa (dari jauh melalui firman-Nya) Tuhan menciptakan keteraturan alam semesta yang sebelumnya begitu kacau, dan dalam pandangan Tuhan semuanya itu “amatlah baik”. Allah menciptakan yang “baik”, mendatangkan dan atau menghadirkan yang “baik” dengan maksud yang “baik”, yaitu supaya alam semesta dipenuhi dengan “ke-baik-an”, dan hasilnya dapat sesuai dengan kehendak Tuhan.
Sekarang, ketika kita beralih ke kisah penciptaan kedua (Kej. 2:4b-25), kita dapat melihat gambaran tentang Tuhan yang agak berbeda. Kalau sebelumnya Tuhan digambarkan sebagai sosok yang berbicara dari jauh (Kej. 1), sekarang di Kejadian 2:4b-25 Dia digambarkan sebagai sosok yang lebih dekat, Dia bahkan “turun dan kotor” bersama dengan ciptaan, Dia membentuk manusia (adam) dari tanah atau tanah liat (adamah), dan membuatnya menjadi makhluk yang hidup dengan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7). Ini mirip dengan tindakan pemberian napas buatan untuk orang-orang yang detak jantung atau pernapasannya terhenti karena tenggelam atau terkena serangan jantung.
Lalu Tuhan menempatkan manusia yang dibentuk-Nya itu di taman Eden, sebuah taman yang terletak di selatan Mesopotamia kuno (sekarang Irak), taman yang konon sangat indah, mirip dengan taman raja pada zaman kuno. Taman ini menjadi semacam “laboratorium” ilahi, tempat di mana Dia melakukan “uji coba” atas ciptaan-Nya, terutama manusia yang dibentuk-Nya dari tanah itu. Permasalahan utama yang hendak diselesaikan oleh Tuhan di sini adalah bahwa tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja (Kej. 2:18a). Allah pun mengajukan jawaban sementara (hipotesis) atas persoalan utama tersebut dengan pernyataan singkat: “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18b).
Seorang Diri itu Tidak Baik!
Teks ini dengan jelas menyajikan permasalahan utama yang diidentifikasi oleh Allah di laboratorium-Nya, taman Eden, yaitu “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”. Pernyataan Tuhan “tidak baik …” di pasal 2 ini terdengar seperti “antitesis” dari pernyataan sebelumnya di pasal 1 ketika Allah melihat segala yang diciptakan-Nya itu begitu baik. Sekarang, berdasarkan pengamatan yang intensif, observasi yang sekian lama sudah dilakukan-Nya, Allah melihat bahwa ternyata ada sesuatu yang tidak baik, yaitu kalau manusia itu seorang diri saja. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sejak awal Allah tidak menghendaki adanya kehidupan yang teralienasi, Allah memandang tidak baik kalau manusia hidup terasing dan menyendiri untuk dan oleh dirinya sendiri. Oleh sebab itu, setelah melalui pertimbangan dan analisis yang matang, Allah mengajukan jalan keluarnya, yaitu “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (ay. 18b). Karena tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, maka lebih baik diberikan kepadanya penolong yang sepadan. Kalau pada cerita penciptaan di pasal sebelumnya (Kej. 1), manusia diciptakan sebagai “makhluk ilahi” (diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, Kej. 1:26-27), maka pada cerita penciptaan di pasal 2 ini manusia dibentuk dari tanah sebagai “makhluk individu” (Kej. 2:7), dan kemudian diarahkan untuk menjadi “makhluk sosial”, yaitu makhluk yang sebaiknya membangun relasi sosial dengan yang lain, entah dengan alam atau pun dengan sesamanya. Jadi, jelas bahwa sejak awal Allah tidak menghendaki manusia (dan makhluk lain) teralienasi atau saling mengasingkan, bagi Allah alienasi atau keterasingan itu tidak baik. Lengkaplah sudah cerita penciptaan (manusia) dalam kitab Kejadian 1 dan 2 ini, mulai dari makhluk ilahi, kemudian diteruskan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Allah pun melanjutkan eksperimen-Nya tersebut atas manusia, Dia mau membuktikan bahwa, selain sebagai makhluk ilahi dan individu, manusia merupakan makhluk sosial. Oleh sebab itu, Allah membawa segala binatang hutan dan segala burung di udara kepada manusia, dengan maksud untuk melihat bagaimana manusia tersebut menamainya. Manusia itu pun memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, seperti yang diminta oleh Tuhan kepadanya (ay. 19-20a).
Tindakan penamaan di dunia kuno adalah sarana untuk mendefinisikan dan membentuk karakter dan esensi dari yang dinamai. Dengan menamai ternak dkk, manusia berpartisipasi bersama dengan Tuhan dalam penciptaan (co-creator), tetapi sayangnya eksperimen pertama ini tidak begitu berhasil. Walaupun ternak dkk mungkin kelihatan menarik, tetapi tidak ada satu pun dari antara mereka yang sepenuhnya dapat mengatasi “rasa sakit” dan “rasa hampa” atau kekosongan dari kesepian (kesendirian) manusia. Setelah manusia itu menamai berbagai jenis ternak, binatang, dan burung, dia malah tidak menjumpai satu pun penolong yang sepadan dengan dia (ay. 20b). Tadinya, Allah menghendaki adanya penolong yang sepadan bagi manusia, tetapi dia tidak menemukannya di antara sekian banyak ternak dkk yang dinamainya. Allah memang memberikan kesempatan bagi manusia untuk memilih “penolong yang sepadan” baginya, tetapi penolong dimaksud tidak ditemukannya.
Penolong yang Sepadan
Allah tidak putus asa, Dia tidak berhenti, Dia melakukan eksperimen lain, untuk membuktikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak boleh terasing dari dunia di mana dia berada, yaitu makhluk yang membutuhkan yang lain. Allah kemudian membuat manusia itu tidur nyenyak (ay. 21a), mirip kalau seseorang diberi obat penenang, atau obat tidur, atau malah dibius supaya tertidur sehingga tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekitarnya bahkan pada dirinya sendiri. Mungkin inilah tindakan anestesi (pembiusan) pertama di dunia sebelum dioperasi. Pada saat manusia itu tidur nyenyak, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging, dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu (ay. 21b-22). Sungguh menakjubkan kalau kita membayangkan Tuhan yang telah membentuk manusia itu dari debu, sekarang melakukan operasi pada tubuh, darah, dan tulang manusia. Tuhan, dengan sengaja, tidak membuat perempuan itu dari tanah, seperti yang dilakukannya atas manusia (laki-laki). Allah bisa saja membentuk perempuan dari debu tanah, seperti Dia telah membentuk laki-laki, tetapi jika Dia melakukannya, perempuan itu akan tampak di matanya sebagai makhluk yang berbeda, yang tidak memiliki hubungan alami dengannya. Tetapi ketika Tuhan membentuknya dari bagian diri laki-laki itu sendiri, maka manusia melihat perempuan itu memiliki sifat yang sama, tulang, daging dan darah yang identik dengannya, alhasil keduanya memiliki kekuatan, kemampuan, dan hak yang sama.
Eksperimen ini tidak lagi melibatkan manusia secara aktif di dalamnya seperti ketika dia menamai berbagai jenis ternak sebelumnya. Ini murni pekerjaan Tuhan dalam diri manusia itu, perbuatan Tuhan saja, dan keterlibatan manusia sifatnya pasif. Artinya, kehadiran perempuan itu lebih sebagai “hadiah” dari Tuhan kepada manusia, tetapi perempuan itu adalah bagian dari dirinya. Perempuan inilah yang kemudian menjadi penolong yang sepadan bagi manusia, setelah sekian lama hidup dalam kesendirian, kesepian, dan keterasingan di tengah-tengah “komunitas” taman Eden di mana dia tinggal.
Istilah “penolong yang sepadan” di teks ini menarik, sebab selain kepada perempuan tersebut, kata ini juga dalam PL hanya dipakai untuk Tuhan. Kata “penolong” dalam bahasa Ibrani di sini adalah “ezer”, yang dalam PL dipahami sebagai penolong yang kedudukannya bukan sebagai bawahan, melainkan sebagai orang yang setara atau terkadang lebih tinggi dari orang yang ditolongnya. Tuhan sering disebut sebagai “penolong” bagi manusia yang membutuhkan (lih. Mzm. 10:14; 54:4). Artinya, sejak mulanya, Allah menciptakan perempuan dalam kesetaraan dengan laki-laki, dan demikianlah seharusnya kehidupan manusia, setara dan elegan. Penolong (ezer) yang diberikan oleh Allah kepada manusia berasal dari rusuknya, hendak menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang (hanya) berkembang dengan baik dalam hubungan/relasi yang dekat dan intim dengan yang lain. Allah tidak menginginkan taman Eden itu menjadi taman yang begitu eksklusif, atau taman yang begitu kaku, dan mungkin saja menyeramkan. Allah menginginkan taman itu menjadi taman kehidupan, taman yang menyenangkan dan memberi kenyamanan, taman di mana manusia (dan makhluk lainnya) dapat berinteraksi dalam kebebasan, kebersamaan, dan kesetaraan, bukan sebaliknya keterasingan atau kesendirian.
Wah, ekseperimen Tuhan kali ini sungguh-sungguh berhasil! Kita tidak tahu sampai berapa lama manusia itu tertidur, dan itu tidak terlalu penting di sini. Ketika dia bangun, dia melihat ada sesuatu yang baru di hadapannya, baru tetapi tidak asing; dia langsung menyadari bahwa apa yang dia rindukan selama ini telah ada di hadapannya, Tuhan telah memberikan “penolong yang sepadan” baginya. Dia begitu terpana melihat sosok yang luar biasa di hadapannya, dan dia sadar bahwa sosok itu merupakan bagian dari dirinya, dan sontak dia berseru gembira: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (ay. 23).
Ini merupakan bahasa puitis yang luar biasa, tanda kegembiraan yang meluap-luap karena pada akhirnya manusia itu menemukan penolong yang sepadan dengan dia. Kekosongan atau kehampaan yang dia rasakan selama ini berakhir sudah dengan kehadiran perempuan itu. Pencariannya pun selesai, dan eksperimen Tuhan terbukti, yaitu bahwa “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”, oleh karena itu “manusia membutuhkan penolong yang sepadan dengan dia”. Ya, terbukti bahwa manusia adalah makhluk sosial, di samping makhluk ilahi dan makhluk individu, makhluk yang hanya berkembang dengan baik apabila ia hidup dalam relasi yang setara dan elegan dengan yang lain. Perempuan itu adalah bagian dari diri laki-laki, memutuskan hubungan dengannya sama saja dengan merusak bagian dari tubuh sendiri. Ayat 24 menegaskan hal ini: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Ekspresi puitis laki-laki tadi dapat dikatakan sebagai puisi cinta pertama dalam Alkitab, dan ekspresi lainnya tentang cinta ini dalam Alkitab terungkap dalam kitab Kidung Agung. Pada bagian akhir teks ini disebutkan bahwa keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu (ay. 25). Ini tidak berarti bahwa keduanya tidak punya rasa malu walaupun telanjang (seperti dalam pemahaman modern), tetapi hendak menyatakan bahwa keduanya telah menjadi satu daging (ay. 24), terbuka satu sama lain, saling percaya, bergairah, dan penuh kasih. Persatuan (persekutuan) dua manusia kesepian yang merindukan komunitas yang hidup dan nyaman itu merupakan klimaks besar dari kisah penciptaan kedua ini.
Dalam konteks yang lebih luas, khususnya konteks penyunting Kejadian 2 ini, tersirat pesan yang begitu penting, bahwa suatu komunitas, dhi Israel, hanya akan dapat bertahan dan berkembang dengan baik, di tengah-tengah ancaman dunia kuno, kalau mereka merasa bahwa yang lain merupakan bagian dari dirinya yang setara dengannya, dan bahwa mereka membutuhkan penolong satu sama lain. Benar bahwa ada “harga yang harus dibayar” untuk memperkokoh persekutuan dan relasi mereka, ada bagian dari diri yang mesti diberikan, tetapi toh itu juga untuk mengisi kehampaan hidup selama ini.
Pokok-Pokok Renungan
Allah tidak menghendaki manusia hidup dalam alienasi atau keterpisahan dan keterasingan. Allah tidak menginginkan kehidupan yang hanya diisi dengan kekakuan, kehampaan, dan kesendirian. Dia menghendaki manusia hidup dalam relasi dengan yang lain, baik dengan makhluk lain maupun dengan sesama manusia. Teks renungan kita pada hari ini hendak mengatakan bahwa apabila manusia mau menikmati kehidupan yang lebih baik, yang lebih berwarna, dan yang lebih “menggairahkan”, maka jalan yang baik untuk itu adalah hidup berelasi dengan yang lain. Oleh sebab itu, manusia harus menyadari bahwa dia membutuhkan orang lain, dia tidak bisa hidup dari, oleh, dan untuk dirinya sendiri.
Pertanyaannya ialah relasi seperti apa? Relasi yang elegan, yaitu relasi yang mengakui dan memperlakukan sesama secara setara, tentu dimulai dari dalam keluarga. Tidak mungkin seorang laki-laki, misalnya, mengakui dan memperlakukan orang lain secara setara, kalau dia sendiri tidak mampu mengakui dan memperlakukan istrinya dengan setara. Demikian juga sebaliknya, perempuan mesti mengakui dan memperlakukan laki-laki dengan setara. Dalam konteks yang lebih luas, entah di tempat kerja, di tengah-tengah masyarakat, atau mungkin di gereja, kesetaraan ini amat penting dalam membangun relasi yang intim dan elegan. Benar bahwa mungkin ada perbedaan posisi, status sosial, dan atau jabatan, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk melanggengkan ketidaksetaraan. Ingat bahwa sebelumnya (Kej. 1) Allah menciptakan (semua) manusia menurut gambar dan rupa-Nya, oleh sebab itu kita harus menghargai dan memperlakukan sesama dalam semangat kesetaraan. Penolong yang sepadan berarti rekan yang setara.
Tindakan penamaan di dunia kuno adalah sarana untuk mendefinisikan dan membentuk karakter dan esensi dari yang dinamai. Dengan menamai ternak dkk, manusia berpartisipasi bersama dengan Tuhan dalam penciptaan (co-creator), tetapi sayangnya eksperimen pertama ini tidak begitu berhasil. Walaupun ternak dkk mungkin kelihatan menarik, tetapi tidak ada satu pun dari antara mereka yang sepenuhnya dapat mengatasi “rasa sakit” dan “rasa hampa” atau kekosongan dari kesepian (kesendirian) manusia. Setelah manusia itu menamai berbagai jenis ternak, binatang, dan burung, dia malah tidak menjumpai satu pun penolong yang sepadan dengan dia (ay. 20b). Tadinya, Allah menghendaki adanya penolong yang sepadan bagi manusia, tetapi dia tidak menemukannya di antara sekian banyak ternak dkk yang dinamainya. Allah memang memberikan kesempatan bagi manusia untuk memilih “penolong yang sepadan” baginya, tetapi penolong dimaksud tidak ditemukannya.
Penolong yang Sepadan
Allah tidak putus asa, Dia tidak berhenti, Dia melakukan eksperimen lain, untuk membuktikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak boleh terasing dari dunia di mana dia berada, yaitu makhluk yang membutuhkan yang lain. Allah kemudian membuat manusia itu tidur nyenyak (ay. 21a), mirip kalau seseorang diberi obat penenang, atau obat tidur, atau malah dibius supaya tertidur sehingga tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekitarnya bahkan pada dirinya sendiri. Mungkin inilah tindakan anestesi (pembiusan) pertama di dunia sebelum dioperasi. Pada saat manusia itu tidur nyenyak, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging, dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu (ay. 21b-22). Sungguh menakjubkan kalau kita membayangkan Tuhan yang telah membentuk manusia itu dari debu, sekarang melakukan operasi pada tubuh, darah, dan tulang manusia. Tuhan, dengan sengaja, tidak membuat perempuan itu dari tanah, seperti yang dilakukannya atas manusia (laki-laki). Allah bisa saja membentuk perempuan dari debu tanah, seperti Dia telah membentuk laki-laki, tetapi jika Dia melakukannya, perempuan itu akan tampak di matanya sebagai makhluk yang berbeda, yang tidak memiliki hubungan alami dengannya. Tetapi ketika Tuhan membentuknya dari bagian diri laki-laki itu sendiri, maka manusia melihat perempuan itu memiliki sifat yang sama, tulang, daging dan darah yang identik dengannya, alhasil keduanya memiliki kekuatan, kemampuan, dan hak yang sama.
Eksperimen ini tidak lagi melibatkan manusia secara aktif di dalamnya seperti ketika dia menamai berbagai jenis ternak sebelumnya. Ini murni pekerjaan Tuhan dalam diri manusia itu, perbuatan Tuhan saja, dan keterlibatan manusia sifatnya pasif. Artinya, kehadiran perempuan itu lebih sebagai “hadiah” dari Tuhan kepada manusia, tetapi perempuan itu adalah bagian dari dirinya. Perempuan inilah yang kemudian menjadi penolong yang sepadan bagi manusia, setelah sekian lama hidup dalam kesendirian, kesepian, dan keterasingan di tengah-tengah “komunitas” taman Eden di mana dia tinggal.
Istilah “penolong yang sepadan” di teks ini menarik, sebab selain kepada perempuan tersebut, kata ini juga dalam PL hanya dipakai untuk Tuhan. Kata “penolong” dalam bahasa Ibrani di sini adalah “ezer”, yang dalam PL dipahami sebagai penolong yang kedudukannya bukan sebagai bawahan, melainkan sebagai orang yang setara atau terkadang lebih tinggi dari orang yang ditolongnya. Tuhan sering disebut sebagai “penolong” bagi manusia yang membutuhkan (lih. Mzm. 10:14; 54:4). Artinya, sejak mulanya, Allah menciptakan perempuan dalam kesetaraan dengan laki-laki, dan demikianlah seharusnya kehidupan manusia, setara dan elegan. Penolong (ezer) yang diberikan oleh Allah kepada manusia berasal dari rusuknya, hendak menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang (hanya) berkembang dengan baik dalam hubungan/relasi yang dekat dan intim dengan yang lain. Allah tidak menginginkan taman Eden itu menjadi taman yang begitu eksklusif, atau taman yang begitu kaku, dan mungkin saja menyeramkan. Allah menginginkan taman itu menjadi taman kehidupan, taman yang menyenangkan dan memberi kenyamanan, taman di mana manusia (dan makhluk lainnya) dapat berinteraksi dalam kebebasan, kebersamaan, dan kesetaraan, bukan sebaliknya keterasingan atau kesendirian.
Wah, ekseperimen Tuhan kali ini sungguh-sungguh berhasil! Kita tidak tahu sampai berapa lama manusia itu tertidur, dan itu tidak terlalu penting di sini. Ketika dia bangun, dia melihat ada sesuatu yang baru di hadapannya, baru tetapi tidak asing; dia langsung menyadari bahwa apa yang dia rindukan selama ini telah ada di hadapannya, Tuhan telah memberikan “penolong yang sepadan” baginya. Dia begitu terpana melihat sosok yang luar biasa di hadapannya, dan dia sadar bahwa sosok itu merupakan bagian dari dirinya, dan sontak dia berseru gembira: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (ay. 23).
Ini merupakan bahasa puitis yang luar biasa, tanda kegembiraan yang meluap-luap karena pada akhirnya manusia itu menemukan penolong yang sepadan dengan dia. Kekosongan atau kehampaan yang dia rasakan selama ini berakhir sudah dengan kehadiran perempuan itu. Pencariannya pun selesai, dan eksperimen Tuhan terbukti, yaitu bahwa “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”, oleh karena itu “manusia membutuhkan penolong yang sepadan dengan dia”. Ya, terbukti bahwa manusia adalah makhluk sosial, di samping makhluk ilahi dan makhluk individu, makhluk yang hanya berkembang dengan baik apabila ia hidup dalam relasi yang setara dan elegan dengan yang lain. Perempuan itu adalah bagian dari diri laki-laki, memutuskan hubungan dengannya sama saja dengan merusak bagian dari tubuh sendiri. Ayat 24 menegaskan hal ini: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Ekspresi puitis laki-laki tadi dapat dikatakan sebagai puisi cinta pertama dalam Alkitab, dan ekspresi lainnya tentang cinta ini dalam Alkitab terungkap dalam kitab Kidung Agung. Pada bagian akhir teks ini disebutkan bahwa keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu (ay. 25). Ini tidak berarti bahwa keduanya tidak punya rasa malu walaupun telanjang (seperti dalam pemahaman modern), tetapi hendak menyatakan bahwa keduanya telah menjadi satu daging (ay. 24), terbuka satu sama lain, saling percaya, bergairah, dan penuh kasih. Persatuan (persekutuan) dua manusia kesepian yang merindukan komunitas yang hidup dan nyaman itu merupakan klimaks besar dari kisah penciptaan kedua ini.
Dalam konteks yang lebih luas, khususnya konteks penyunting Kejadian 2 ini, tersirat pesan yang begitu penting, bahwa suatu komunitas, dhi Israel, hanya akan dapat bertahan dan berkembang dengan baik, di tengah-tengah ancaman dunia kuno, kalau mereka merasa bahwa yang lain merupakan bagian dari dirinya yang setara dengannya, dan bahwa mereka membutuhkan penolong satu sama lain. Benar bahwa ada “harga yang harus dibayar” untuk memperkokoh persekutuan dan relasi mereka, ada bagian dari diri yang mesti diberikan, tetapi toh itu juga untuk mengisi kehampaan hidup selama ini.
Pokok-Pokok Renungan
Allah tidak menghendaki manusia hidup dalam alienasi atau keterpisahan dan keterasingan. Allah tidak menginginkan kehidupan yang hanya diisi dengan kekakuan, kehampaan, dan kesendirian. Dia menghendaki manusia hidup dalam relasi dengan yang lain, baik dengan makhluk lain maupun dengan sesama manusia. Teks renungan kita pada hari ini hendak mengatakan bahwa apabila manusia mau menikmati kehidupan yang lebih baik, yang lebih berwarna, dan yang lebih “menggairahkan”, maka jalan yang baik untuk itu adalah hidup berelasi dengan yang lain. Oleh sebab itu, manusia harus menyadari bahwa dia membutuhkan orang lain, dia tidak bisa hidup dari, oleh, dan untuk dirinya sendiri.
Pertanyaannya ialah relasi seperti apa? Relasi yang elegan, yaitu relasi yang mengakui dan memperlakukan sesama secara setara, tentu dimulai dari dalam keluarga. Tidak mungkin seorang laki-laki, misalnya, mengakui dan memperlakukan orang lain secara setara, kalau dia sendiri tidak mampu mengakui dan memperlakukan istrinya dengan setara. Demikian juga sebaliknya, perempuan mesti mengakui dan memperlakukan laki-laki dengan setara. Dalam konteks yang lebih luas, entah di tempat kerja, di tengah-tengah masyarakat, atau mungkin di gereja, kesetaraan ini amat penting dalam membangun relasi yang intim dan elegan. Benar bahwa mungkin ada perbedaan posisi, status sosial, dan atau jabatan, tetapi itu tidak menjadi alasan untuk melanggengkan ketidaksetaraan. Ingat bahwa sebelumnya (Kej. 1) Allah menciptakan (semua) manusia menurut gambar dan rupa-Nya, oleh sebab itu kita harus menghargai dan memperlakukan sesama dalam semangat kesetaraan. Penolong yang sepadan berarti rekan yang setara.
--- selamat berefleksi ---
Shalom pakpend...sekiranya diperkenankan untuk diskusi dari tulisan di atas...
ReplyDeleteDalam teks Kejadian 1 da 2 yang diuraikan dalam tulisan di atas, mungkinkah Allah pernah dan atau Allah mengalami kegagalan dalam karya-Nya?
Shalom pakpend...sekiranya diperkenankan untuk diskusi dari tulisan di atas...
ReplyDeleteDalam teks Kejadian 1 da 2 yang diuraikan dalam tulisan di atas, mungkinkah Allah pernah dan atau Allah mengalami kegagalan dalam karya-Nya?
Ya'ahowu p'pdt Zendrato. Berdasarkan teks tsb, disebutkan bahwa Allah hendak menjadikan penolong yang sepadan bagi manusia (ay. 18). Lalu, Allah mulai bekerja untuk itu (langkah/eksperimen I) dengan membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara, kemudian membawanya kepada manusia tersebut (ay. 19), dengan dalih menamai segala jenis binatang tersebut. Tadinya, diharapkan manusia dapat menemukan "penolong yang sepadan" baginya di antara berbagai binatang yang dinamainya itu, tetapi dengan jelas disebutkan bahwa "baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia" (ay. 20b). Artinya, eksperimen I ini tdk berjalan mulus, tetapi belum bisa dikatakan gagal, itu terlalu jauh. Ini bukan kegagalan, melainkan rencana yang masih belum terwujud sepenuhnya. Hal ini juga sekaligus menegaskan bahwa sejak awal Allah memberi kebebasan bagi manusia untuk memilih "teman yang sepadan" baginya, dan ketika manusia tidak menjumpai satu pun dari antara binatang itu, Allah tidak serta merta murka, Dia malah mencari alternatif lain untuk manusia.
ReplyDeleteBaru kemudian, Allah meneruskan langkah pencarian teman yang sepadan itu bagi manusia, itulah yang diceritakan mulai ayat 21, dan akhirnya berhasil sepenuhnya.
Artinya manusia memang benar makhluk ciptaan mulia yang diberi akal dan pikiran untuk memilih mana yang benar dan buruk.
ReplyDeleteTernyata dengan kebebasan yang diberikan Allah, manusia (Adam) sangat mengerti yang memang cocok dan sepadan dengan dia.
Terimakasih pak pendeta.