Saturday, April 23, 2022

Perjumpaan dengan Tuhan Yesus yang Mengubahkan – Falukhata khö Yesu So’aya Samohouni (Kisah Para Rasul 9:1-6)

Khotbah Minggu, 24 April 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap Imam Besar,
2 dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik, supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem.
3 Dalam perjalanannya ke Damsyik, ketika ia sudah dekat kota itu, tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia.
4 Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?"
5 Jawab Saulus: "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kauaniaya itu.
6 Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat."

Nama “Saulus” pertama kali disebutkan dalam Kisah para Rasul ini pada pasal 7:58. Lukas memberi tahu kita bahwa pada saat Stefanus diseret keluar kota dan dilempari dengan batu, Saulus bertugas menjaga jubah orang-orang yang akan mengeksekusi Stefanus dengan cara yang brutal tersebut. Kalau membaca Kisah Rasul 8:1a, tampak bahwa Saulus bukan hanya saksi pasif atas penganiayaan Stefanus, tetapi dia “setuju kalau Stefanus dibunuh”. Itu mungkin hanya salah satu kasus penganiayaan kepada para pengikut Kristus dimana Saulus memiliki peran penting dalam penganiayaan tersebut. Pasal 8 darii Kisah Rasul ini memberikan kita cukup informasi tentang peran aktif Saulus dalam penganiayaan atau pembinasaan jemaat Tuhan, baik laki-laki maupun perempuan. “Tetapi Saulus berusaha membinasakan jemaat itu dan ia memasuki rumah demi rumah dan menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara” (Kis. 8:3). Jadi, Saulus sangat aktif dalam mengejar dan menangkap siapa pun yang percaya kepada Kristus.

Awal pasal 9 yang kita baca tadi masih menunjukkan keaktifan Saulus dalam mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Dengan semangat yang tinggi dia meminta Imam Besar untuk memberikan kuasa kepadanya dalam menangkap para pengikut Yesus dan membawa mereka ke Yerusalem (untuk dihukum). Tetapi, perubahan dramatis justru dimulai dari puncak kebencian Saulus ini. Demikianlah Lukas, penulis Kisah Rasul ini, menyampaikan kisahnya. Pengisahan seperti ini hendak menunjukkan kepada kita bagaimana Tuhan dalam anugerah-Nya dapat saja mengubah siapa pun dengan cara-Nya sendiri.

Ada hal menarik sehubungan dengan sebutan yang dialamatkan kepada para pengikut Yesus dalam teks ini. Mereka disebut sebagai pengikut “Jalan Tuhan” (ay. 2). Kita tahu bahwa kemudian para pengikut Kristus ini disebut sebagai “Kristen” (Kis. 11:26). Tetapi, tampaknya sebutan sebagai pengikut “Jalan Tuhan” sengaja ditempatkan sebelum sebutan “Kristen” tersebut. Perhatikanlah dengan cermat bagaimana Saulus rela menempuh “jalan” dengan jarak yang sangat jauh, mungkin bermil-mil, hanya untuk menganiaya para pengikut “Jalan” Tuhan tersebut. Dan, dalam per-jalan-an itu pula akhirnya “jalan sesat” yang ditempuhnya “dihentikan” oleh Tuhan. Per-jalan-an ke Damsyik ini ternyata membawa perubahan dramatis dalam hidup Saulus; meninggalkan “jalan penganiayaan” yang selama ini ditempuhnya, dan masuk ke “Jalan Tuhan”, suatu jalan yang kemudian membawanya ke dalam per-jalan-an misi hingga ke ujung bumi (pada waktu itu kota Roma dianggap sebagai ujung bumi).

Kembali ke peristiwa perjalanan ke Damsyik tadi. Saat Saulus semakin dekat ke Damyik dan banyak penganiayaan baru, Saulus dikejutkan oleh cahaya yang memancar dari langit mengelilingi dia, dan dia pun rebah ke tanah, diikuti dengan suara atau sapaan surgawi. Suara tersebut adalah suara Yesus sendiri. Yesus bertanya kepada Saulus mengapa dia berusaha menganiaya Dia. Kata-kata ini hendak menegaskan bahwa ketika Saulus menindas orang beriman, dia sebenarnya sedang menganiaya Yesus sendiri. Setiap kali pengikut Kristus dilecehkan atau dianiaya, sesungguhnya Yesus paling hadir bersama dengan orang-orang yang tertindas tersebut. Itulah ciri khas dari “Jalan Tuhan”. Ini dapat menjadi penghiburan dan penguatan kepada orang-orang Kristen mula-mula bahwa Tuhan Yesus sangat tahu penganiayaan yang mereka alami, dan bahwa Tuhan tidak pernah diam atas penganiayaan yang mereka alami tersebut. Penghiburan dan penguatan seperti ini masih relevan sampai hari ini, ketika orang-orang Kristen harus mengalami penganiayaan karena mengikuti “Jalan Tuhan”.

Perintah Yesus kepada Saulus dalam teks ini sangat spesifik. Dia berkata: “bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat” (ay. 6). Ini merupakan narasi awal yang mengisahkan pertobatan Saulus. Saulus kemudian tidak hanya berpaling dari “jalan” hidup sebelumnya; hal yang paling penting adalah bahwa kelak dia dipanggil, ditugaskan, dan diutus untuk berjalan di “Jalan” yang baru. Dia menjadi rasul Kristus, terutama kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Kisah ini menunjukkan bahwa perjumpaan Saulus dengan Tuhan, mampu mengubahkan hidupnya secara radikal, bukan saja menjadi pengikut Kristus, melainkan menjadi pemberita Injil Kristus yang sebelumnya dia lawan. Demikianlah para pengikut Kristus di sepanjang zaman: perjumpaannya dengan Tuhan mestinya dapat mengubahkan hidupnya menjadi lebih baik. Tidak semua orang Kristen telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan, walaupun mungkin cukup aktif dalam berbagai kegiatan gereja, atau malah menjadi pelayan Tuhan di gereja. Seharusnya, orang Kristen yang sungguh-sungguh telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan, akan mengalami perubahan dalam hidupnya, yaitu perubahan jalan/cara hidup menjadi lebih baik.

Kisah perubahan Saulus belum berhenti pada teks khotbah hari ini. Kalau kita membaca kisah selanjutnya, maka kita akan menemukan bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang tidak biasa dalam mengubahkan hidup seseorang yang telah berjumpa dengan Dia. Dalam peristiwa Damsyik tersebut, Tuhan Yesus bisa saja langsung memberikan petunjuk yang gamblang kepada Saulus tentang apa yang harus diperbuatnya pasca perjumpaan mereka itu. Tuhan malah memilih jalan yang tidak langsung untuk memberi tahu apa yang harus dilakukan oleh Saulus selanjutnya. Tuhan memanggil Ananias, seorang murid yang ada di Damsyik, untuk menemui Saulus dan menumpangkan tangannya ke atasnya, supaya ia dapat melihat lagi (Kis. 9:10-12). Tentu saja, Ananias “menolak” perintah ini, sebab berita tentang kekejaman Saulus terhadap para pengikut Jalan Tuhan sudah viral ke mana-mana. Artinya, kalau datang menemui Saulus sama artinya cari mati. Demikianlah kira-kira alasan Ananias. Namun demikian, setelah Tuhan Yesus meyakinkan dia, Ananias pun mengikuti perintah Tuhan kepadanya. Saulus pun dapat melihat kembali dan malah dibaptis (Kis. 9:13-18). Ini seperti memberi pesan kepada para pengikut Jalan Tuhan (yang diwakili oleh Ananias) bahwa kini Saulus telah berubah karena dia telah berjumpa dengan Tuhan.

Peristiwa perjumpaan Saulus dengan Tuhan dalam teks khotbah hari ini mengawali kisah pemanggilannya ke dalam suatu misi Kristus bagi bangsa-bangsa. Kisah panggilan Saulus/Paulus adalah kisah yang menggugah dan terkenal. Lukas sendiri mengulangi kisah ini tiga kali dalam sisa Kisah Para Rasul (juga dalam pasal 22 dan 26). Lalu, bagaimana kisah panggilan dramatis di jalan berdebu menuju Damsyik ini memberi kita imajinasi baru? Apakah semangat hidup kita, sejauh ini, telah salah arah dan bahkan merusak diri sendiri dan orang lain? Apakah jalan hidup yang sedang kita jalani sudah berada di jalur “Jalan Tuhan” atau belum? Ingatlah, perjumpaan dengan Tuhan mestinya dapat mengubahkan hidup kita menjadi lebih baik.

Saturday, April 16, 2022

Yesus telah Bangkit – No Maoso Yesu (Lukas 24:1-12)

Khotbah Minggu Paskah, 17 April 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

24:1 Tetapi pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu mereka pergi ke kubur membawa rempah-rempah yang telah disediakan mereka.
24:2 Mereka mendapati batu sudah terguling dari kubur itu,
24:3 dan setelah masuk mereka tidak menemukan mayat Tuhan Yesus.
24:4 Sementara mereka berdiri termangu-mangu karena hal itu, tiba-tiba ada dua orang berdiri dekat mereka memakai pakaian yang berkilau-kilauan.
24:5 Mereka sangat ketakutan dan menundukkan kepala, tetapi kedua orang itu berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?
24:6 Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea,
24:7 yaitu bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga.”
24:8 Maka teringatlah mereka akan perkataan Yesus itu.
24:9 Dan setelah mereka kembali dari kubur, mereka menceriterakan semuanya itu kepada kesebelas murid dan kepada semua saudara yang lain.
24:10 Perempuan-perempuan itu ialah Maria dari Magdala, dan Yohana, dan Maria ibu Yakobus. Dan perempuan-perempuan lain juga yang bersama-sama dengan mereka memberitahukannya kepada rasul-rasul.
24:11 Tetapi bagi mereka perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu.
24:12 Sungguhpun demikian Petrus bangun, lalu cepat-cepat pergi ke kubur itu. Ketika ia menjenguk ke dalam, ia melihat hanya kain kapan saja. Lalu ia pergi, dan ia bertanya dalam hatinya apa yang kiranya telah terjadi.


Cerita Lukas pada hari ini dimulai dalam ‘kegelapan’ (masih sangat pagi): “… pada hari pertama minggu itu mereka pergi ke kubur membawa rempah-rempah yang telah disediakan mereka.” Mereka berangkat pagi-pagi pada hari Minggu ke makam membawa rempah-rempah yang telah mereka siapkan pada hari Jumat malam. Ini menunjukkan kasih dan hormat para perempuan itu kepada Kristus setelah Dia mati dan dikuburkan. Tetapi, kemudian mereka terkejut ketika menemukan batu sudah terguling dari kubur itu, dan tidak menemukan mayat Tuhan. Hal yang sama juga terus terjadi kepada orang-orang Kristen sampai hari ini, sering terkejut dan bingung sendiri melihat realitas yang terjadi dalam hidupnya. Kita juga sudah tahu bahwa situasi menjelang penyaliban dan kematian Yesus sebelumnya sangat tidak berpihak kepada para pengikut Yesus. Demikian juga pasca-kematian Yesus, situasinya masih mencekam. Para perempuan itu memberanikan diri datang ke kuburan Yesus (yang dijaga oleh para tentara Romawi atas permintaan tua-tua Yahudi kepada Pilatus), walaupun masih diliputi ketakutan. Maka betapa terkejutnya mereka ketika melihat kuburan telah kosong dan tidak menemukan mayat Yesus.

Dalam teks ini dideskripsikan tentang batu yang digulingkan dari sudut pandang perempuan. Realitas itu mengganggu emosi mereka. Perasaan mereka di satu sisi kebingungan, tetapi juga ketakutan akan hal yang tidak diketahui dan teror dalam menanggapi penampilan kedua orang yang berdiri dekat mereka. Tetapi, dengan tenang malaikat itu memberitakan suatu keajaiban besar, yaitu bahwa Kristus yang mereka cari telah bangkit. Para perempuan itu, para murid yang lain, dan para pendengar sepanjang zaman, diajak untuk mengingat kata-kata Yesus tentang kebangkitan-Nya. Ketika berada dalam situasi yang sulit, ingatlah selalu kata-kata Yesus, bahwa sama seperti Dia telah mengalahkan maut, demikian juga Dia akan menolong kita. Janganlah ditenggelamkan oleh aneka macam duka, ingatlah selalu perkataan Yesus. Hal ini pun berlaku ketika kita berada dalam situasi yang menggembirakan; jangan terhanyut dalam arus dunia, ingatlah selalu perkataan Yesus.

Perhatikan dengan baik pertanyaan sekaligus jawaban yang disampaikan oleh malaikat itu: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? (ay. 5). Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit (ay. 6).” Kata-kata ini mengatasi kebingungan dan ketakutan mereka, sekaligus memberi kepastian kepada mereka tentang apa yang sesungguhnya telah terjadi: Yesus telah bangkit! Kita harus yakin bahwa benar Kristus telah bangkit! Kuasa kebangkitan itu mengatasi kebingungan, kegelisahan, dan ketakutan yang seringkali menghantui hidup kita. Sebenarnya, bukan kesulitan yang sering membuat kita gagal atau jatuh, melainkan kebingungan dan ketakutan kita terhadap kesulitan itu sendiri. Lucunya, banyak orang yang bingung, gelisah, dan takut terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Banyak orang, misalnya, takut akan gelap, padahal (dalam ilmu fisika) gelap itu tidak ada; gelap adalah ketiadaan cahaya/terang. Dalam situasi apa pun, janganlah mencari Yang Hidup di antara yang mati. Kristus bangkit, Kristus hidup! Kristus adalah sumber kehidupan, bukan sumber kematian. Itu pesan penting yang disampaikan oleh malaikat kepada kita.

Para malaikat meyakinkan mereka bahwa Yesus telah bangkit dari kematian, dibangkitkan oleh kekuatan-Nya sendiri. Malaikat-malaikat dari surga ini tidak membawa Injil baru, tetapi mengingatkan para perempuan itu akan firman Kristus, yaitu perkataan Yesus kepada mereka bahwa Dia akan bangkit. Ini cukup mengherankan, sebab para murid telah bersama-sama dengan Yesus, percaya kepada-Nya sebagai Anak Allah dan Mesias, tetapi kemudian dengan mudah tidak lagi mengingat perkataan Yesus kepada mereka bahwa Dia akan bangkit dan kemudian masuk ke dalam kemuliaan-Nya. Para murid pun pernah melihat Yesus membangkitkan orang mati, sehingga seharusnya mereka sadar bahwa Yesus bangkit. Sayang sekali, mereka lupa akan kata-kata Yesus itu; ketakutan, kesedihan, dan trauma telah menghantui mereka sampai tidak lagi mengingat janji kebangkitan Yesus. Kalau Petrus berlari ke kuburan, itu lebih karena dia masih belum percaya pada berita kebangkitan Kristus. Bukankah kita pun sering bingung sendiri dengan keadaan yang sedang terjadi sampai tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, bahkan tidak tahu lagi jalan terbaik yang harus ditempuh?

Berita tentang kebangkitan Kristus tersebut akhirnya mendatangkan kegembiraan yang tiada tara bagi para perempuan itu. Mereka gembira mendengarnya, dan kemudian setelah pulang dari kuburan itu, dengan penuh kegembiraan mereka meneruskan berita tersebut. Walaupun masih dalam kebingungan, Petrus terbawa emosi kegembiraan para perempuan tersebut; dia berlari menuju kuburan Yesus, dan menemukan kebenaran berita yang disampaikan kepadanya. Namun demikian, hati Petrus masih diliputi kebingungan akan apa yang telah terjadi. Demikianlah tanggapan para murid, dan mungkin sebagian besar dari kita ketika mendengar sesuatu yang ‘agak aneh’ dan ‘ajaib’. Para murid (laki-laki) tersebut bersikap skeptis atas berita yang disampaikan oleh para perempuan itu. Skeptisisme ini ditegaskan kembali dalam kisah penampakan Emaus (Lukas 24:22-23), seperti halnya catatan skeptisisme tentang kebangkitan, dan dalam penampakan Yerusalem (Lukas 24:36-41).

Hari ini kita merayakan suatu peristiwa besar dan peristiwa kunci dalam kekristenan: kebangkitan Yesus Kristus. Peristiwa kebangkitan Kristus ini memang sungguh menakjubkan, Dia bangkit dari antara orang mati sekalipun kuburan-Nya telah ditutup dengan batu besar dan bahkan dijaga oleh para tentara. Tidak ada satu pun kuasa yang mampu menahan kebangkitan Kristus. Batu-batu penahan sebesar apa pun, digulingkan; dinding-dinding tanah setebal apa pun, diterobos; tentara-tentara sekuat apa pun, tak berdaya menghadapi kuasa kebangkitan Kristus. Sungguh-sungguh ajaib!

Tetapi, kita tidak boleh hanya terpana melihat keajaiban itu. Kebangkitan Kristus hanya akan menjadi sesuatu yang ajaib kalau dapat mengubahkan dunia atau hidup kita masing-masing. Bersukacitalah, beritakanlah, bahwa Kristus telah bangkit, dan bahwa kuasa kebangkitan itu yang akan menyertai kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Sunday, April 10, 2022

Diberkatilah Dia yang datang dalam nama TUHAN – Ya’ahowu zi So andrö ba döi Yehowa (Mazmur 118:19-29)

Khotbah Minggu, 10 April 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

19 Bukakanlah aku pintu gerbang kebenaran, aku hendak masuk ke dalamnya, hendak mengucap syukur kepada TUHAN.
20 Inilah pintu gerbang TUHAN, orang-orang benar akan masuk ke dalamnya.
21 Aku bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menjawab aku dan telah menjadi keselamatanku.
22 Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.
23 Hal itu terjadi dari pihak TUHAN, suatu perbuatan ajaib di mata kita.
24 Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!
25 Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran!
26 Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN! Kami memberkati kamu dari dalam rumah TUHAN.
27 Tuhanlah Allah, Dia menerangi kita. Ikatkanlah korban hari raya itu dengan tali, pada tanduk-tanduk mezbah.
28 Allahku Engkau, aku hendak bersyukur kepada-Mu, Allahku, aku hendak meninggikan Engkau.
29 Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.


Hari ini kita memasuki minggu Palmarum, yaitu minggu perayaan peristiwa Yesus masuk ke Yerusalem sambil dielu-elukan (dengan daun palem, bulu nohi fakhai ba we’amöi ba Yerusalema, Yoh. 12:31). Peristiwa ini sebenarnya menunjukkan kesiapan Yesus masuk dalam kesengsaraan menuju penderitaan dan kematian-Nya. Sebuah paradoks, sorak-sorai sukacita (untuk kemuliaan) justru menjadi penanda awal rangkaian penderitaan yang akan dialami oleh Yesus. Yesus masuk Yerusalem dengan menampilkan diri sebagai Mesias, Raja Penyelamat yang menderita. Mesias ini bukan orang yang datang dengan kekerasan, kekuasaan dan kekuatan untuk berperang, merampas dan menghancurkan, melainkan Raja Damai yang lemah lembut, rendah hati dan menghadirkan kehidupan. Itu semua dijalani untuk keselamatan umat manusia.

Ternyata, peristiwa penderitaan Yesus tersebut telah dinubuatkan oleh pemazmur sebagaimana teks khotbah pada hari ini. Mazmur ini menyerukan suatu kerinduan masuk ke dalam tempat kudus Allah untuk merayakan kemuliaan Dia yang datang dalam nama TUHAN. Seruan ini pada satu sisi menunjukkan keinginan pemazmur pada zamannya, tetapi pada sisi lain menggambarkan peristiwa Yesus memasuki Yerusalem. Ketika pemazmur menyampaikan seruannya ini, tidak semua orang diberi akses melewati pintu kebenaran tersebut; pintu itu tertutup terhadap orang-orang yang tidak bersunat, dan melarang orang asing mendekat, karena kurban yang dipersembahkan di sana disebut kurban kebenaran. Artinya, setiap orang yang mau masuk ke dalam persekutuan dengan Allah harus datang dengan kerendahan hati di hadapan Allah.

Ketika pintu-pintu kebenaran dibukakan bagi kita, kita harus masuk ke dalamnya, harus masuk ke tempat yang paling suci, dan dengan kerendahan hati memuji Tuhan. Urusan kita di dalam gerbang Tuhan adalah menyembah Dia dengan pujian dan korban persembahan kepada-Nya. Kalau pintu-pintu kebenaran dibukakan bagi kita, itu berarti keselamatan datang atas kita, sebab dengan demikian kita dipersilakan masuk ke dalam rumah Allah, rumah keselamatan. Selama pintu rumah, misalnya, belum dibuka bagi kita, maka kita tidak akan bisa masuk ke dalam suatu rumah, kita tetap berada di luar rumah itu. Demikianlah dengan pintu-pintu kebenaran itu, ketika tidak dibuka maka kita tidak masuk ke dalam gerbang kebenaran tersebut. Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa Yesus telah memenuhi semua persyaratan masuk ke dalam rumah TUHAN tersebut; Dia memenuhinya dengan jalan salib, jalan penderitaan yang seharusnya kita tanggung. Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa dengan penderitaan Yesus tersebut, pintu-pintu kebenaran tersebut dibukakan bagi kita. Yesus sendiri mengatakan: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku - Yaʼodo lala, yaʼodo waʼaduhu, yaʼodo waʼauri. Lõ sondrugi Ama, na lõ itõrõ ndraʼo” (Yoh. 14:6). Yesus juga pernah mengatakan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu - Si ndruhundruhu niwaʼõgu khõmi, yaʼodo mbawandruhõ ba mbiribiri” (Yoh. 10:7). Oleh sebab itu, ketika pintu kebenaran itu telah dibukakan bagi kita … mari segera masuk ke dalam gerbang kebenaran Allah, mari segera masuk ke dalam rumah Tuhan, mari segera masuk ke dalam rumah keselamatan yang telah disediakan Tuhan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Jangan banyak alasan untuk menunda masuk, segeralah, pintu kebenaran terbuka bagi kita di dalam Yesus Kristus.

Jalan penderitaan yang harus ditempuh oleh Yesus dan berubah menjadi jalan kemuliaan ternubuatkan melalui perkataan pemazmur di ayat 22: “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.” Daud dulu pernah juga dibuang oleh raja Saul bahkan dikejar seperti seorang buronan, tetapi oleh pemeliharaan Allah yang luar biasa, Daud kemudian justru menjadi raja besar di Israel. Demikianlah dengan Yesus, ibarat batu yang dibuang oleh tukang bangunan. Yesus mengalami penghinaan, ditolak, dan dianggap penyesat oleh orang-orang Yahudi, secara khusus para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus harus menempuh jalan salib yang amat hina sampai mati di kayu salib. Orang-orang menganggap Dia terkena kutuk/hukuman Allah. Tetapi lihatlah kemudian, Yesus justru menjadi batu penjuru yang di atas-Nya bangunan didirikan dengan kokoh. Yesus adalah batu keselamatan kita; oleh karena Dialah pintu-pintu kebenaran itu dibukakan bagi kita; oleh karena penderitaan dan kematian Yesus kita diberi akses untuk masuk melalui gerbang kebenaran, masuk ke dalam rumah TUHAN, rumah keselamatan.

Oleh sebab itu, kita mesti mensyukuri rahmat Allah yang begitu besar dalam kehidupan kita. Yesus telah membukakan jalan bahkan telah menjadi jalan kebenaran dan kehidupan bagi kita. Datanglah dan masuklah ke dalam rumah TUHAN, dan percayalah Dia senantiasa memberkati kita. Pemazmur menegaskan hal ini dengan berkata: “Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN! Kami memberkati kamu dari dalam rumah TUHAN” (ay. 26). Di dalam rumah TUHAN kita memuliakan Tuhan dengan pujian dan korban persembahan kita. Itu sudah patut kita lakukan sebagai ungkapan syukur kita kepada-Nya. Penderitaan dan pengorbanan Yesus supaya pintu kebenaran dibukakan bagi kita sungguh luar biasa, sungguh suatu perbuatan ajaib dari Allah sendiri. Oleh sebab itu, “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (ay. 29).

Mari bersyukur kepada TUHAN, mari memuliakan Tuhan Yesus di tempat yang mahatinggi. Penulis Injil Matius mengajak kita untuk menyerukan suatu pujian kemuliaan bagi Tuhan: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!” (Mat. 21:9b).

Saturday, April 2, 2022

Berlari menuju Panggilan Surgawi – Usawagö ba Wogaoni Soroi Zorugo (Filipi 3:4b-14)

Khotbah Minggu, 3 April 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

4b Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi:
5 disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi,
6 tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.
7 Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.
8 Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,
9 dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.
10 Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,
11 supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.
12 Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.
13 Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,
14 dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.

Setiap orang memiliki latar belakang kehidupan yang unik. Ada orang yang latar belakang kehidupannya cukup membanggakan menurut ukuran duniawi. Ada juga yang biasa-biasa saja. Tidak sedikit juga yang merasa bahwa tidak ada yang patut dibanggakan dari latar belakang kehidupannya. Sebagian ada yang merasa kecewa dengan kehidupan masa lalunya, malah ada yang kecewa dilahirkan dan atau dibesarkan dalam keluarga tertentu. Bagaimanakah kita? Apakah latar belakang kehidupan kita istimewa menurut ukuran duniawi? Atau biasa-biasa saja? Atau malah cukup suram?

Adalah Paulus, Rasul Kristus yang terkenal itu, menguraikan satu per satu hal-hal yang patut dibanggakan dari latar belakang kehidupannya. Apa saja?

- Disunat pada hari kedelapan; jadi dia adalah keturunan asli Abraham (Kej. 17:12; Im. 12:3), dan bukan keturunan Ismael yang disunat pada hari ketigabelas (Kej. 17:25). Istimewa bukan?
- Berasal dari bangsa Israel; keturunan Yakub yang diberi nama oleh Allah sebagai Israel (Kej. 32:28). Paulus murni Israel. Istimewa bukan?
- Berasal dari suku Benyamin; suku ini adalah anggota elit bangsa Israel, kaum bangsawan; anak Rahel, istri kesayangan Yakub dan lahir di tanah perjanjian (Kej. 35:17, 18); raja pertama Israel berasal dari suku ini; nama asli Paulus adalah Saulus; suku yang tetap setia kepada Yehuda (1 Raj. 12:21); dilahirkan kembali (Ezr. 4:1). Itulah Paulus. Istimewa bukan?
- Orang Ibrani asli, yaitu orang yang masih menguasai bahasa Ibrani sekalipun mereka berada di tengah-tengah bangsa yang didominasi oleh bahasa Yunani. Ia lahir di kota Tarsus, datang ke Yerusalem untuk belajar di bawah bimbingan Gamaliel (Kis. 22:3).
- Telah dididik menjadi orang Farisi, yang sangat kuat/fanatik memelihara hukum Taurat beserta tradisi-tradisinya, dan Paulus sangat taat.
- Penganiaya Gereja; inilah ciri khas orang Yahudi/farisi asli, membela Allah (bnd. Bil. 25:11-13). Artinya, Paulus sangat mengenal agama Yahudi, bahkan sangat fanatik.

Intinya, secara umum Paulus memiliki latar belakang kehidupan yang luar biasa menurut ukuran pada zaman itu. Menjadi orang Yahudi pada waktu itu adalah sebuah kebanggaan, suatu kelebihan yang luar biasa, apalagi kalau ditambah dengan latar belakang pendidikan keagamaan Yahudi yang memadai. Paulus memiliki semua itu, dan wajar kalau dia merasa beruntung dengan latar belakang kehidupannya itu. Tetapi sebenarnya, uraian Paulus ini dimaksudkan untuk menanggapi guru-guru Yahudi yang telah menyebarkan ajaran-ajaran yang menyesatkan pada waktu itu. Dengan keras Paulus menyebut mereka sebagai “anjing-anjing, pekerja-pekerja jahat, dan penyunat-penyunat palsu” (Fil. 3:3). Guru-guru Yahudi penyesat ini sebelumnya telah memprovokasi jemaat untuk kembali ke tradisi lama, terutama tradisi sunat, seolah-olah tradisi itu yang menyelamatkan mereka. Mereka juga tampaknya menyerang ke-yahudi-an Paulus dan orang-orang Kristen di Filipi. Itulah sebabnya Paulus dengan keras melawan mereka; dan sekarang, seperti dalam teks tadi, Paulus mau membuktikan bahwa dia sebenarnya memiliki keistimewaan sebagai orang Yahudi. Dia menunjukkan identitas ke-yahudi-annya, yang bahkan mungkin melebihi keistimewaan para guru Yahudi itu.

Demikianlah Paulus menyebutkan satu per satu keistimewaan, keberhasilan, dan kebanggaan yang dimilikinya, mengalahkan guru-guru Yahudi penyesat itu. Dia hanya membuktikan kepada para penyesat itu bahwa sesungguhnya dia pun mempunyai hak istimewa yang dibawa sejak lahir, dan dia boleh saja berbangga dengan itu.

Lalu, apakah Paulus tetap berbangga diri dengan semua keistimewaannya itu? Tidak! Sejak dia bertemu dengan Kristus, dia membuang semua kebanggaan duniawinya itu, dan malah menganggapnya sebagai kesia-siaan (ay. 7-8a). Sekarang, Paulus menegaskan bahwa keberhasilan manusia haruslah dikesampingkan agar dapat menerima anugerah Kristus yang cuma-cuma itu. Orang Kristen yang hidup di dalam Kristus, atau yang Kristus hidup di dalamnya, haruslah menanggalkan segala kebanggaan, kehormatan, harga diri, keberhasilan, dan keistimewaan duniawi itu, supaya dapat menerima kemurahan Allah dalam Kristus dengan penuh kerendahan hati. Tidak ada yang dapat dibandingkan dengan Kristus, entah latar belakang kehidupan yang membanggakan, atau pun masa lalu yang suram. Kristus melampaui semuanya itu. Manusia tidak perlu menjadikan latar belakang kehidupan atau masa lalunya tersebut sebagai ukuran keselamatan, apalagi menjadikannya sebagai media untuk menganggap rendah orang lain. Orang yang telah berada di dalam Kristus justru menganggap semua itu sebagai suatu kerugian. Satu-satunya keuntungan yang sejati adalah ketika kita mengenal dan berada di dalam Kristus.

Sebagai orang Yahudi asli, menaati hukum taurat adalah sebuah keberhasilan, tidak banyak orang yang mampu mencapainya. Namun demikian, sejak mengenal Kristus, Paulus menganggap bahwa ketaatan yang jauh lebih bermakna, jauh lebih menguntungkan adalah ketaatan kepada kebenaran Kristus. Ketaatan kepada Kristus inilah yang kemudian mendorong orang percaya untuk berperilaku menyerupai Kristus yang sempurna. Paulus menggunakan metafora perlombaan untuk menggambarkan apa artinya untuk mengikut Kristus. Baik orang Yunani maupun orang Romawi adalah penggemar setia kontes olahraga. Kadang-kadang bentuk permainan atau olahraga Romawi adalah kekerasan dan kejam, tetapi penekanan utama sesungguhnya adalah pada upaya petarungnya meraih kemenangan dengan mencurahkan seluruh kekuatan, daya tahan, dan kecepatannya, tidak boleh “tanggung-tanggung” (tasi igohi, manga gi’o manga högö, aefa furi aefa föna). Lomba lari misalnya, ketika pelari memenangkan lomba itu, mereka akan memperoleh hadiah. Hadiah yang jauh lebih bernilai adalah berupa pengakuan dan kehormatan yang mereka terima. Setelah kontes selesai, pemberita menyatakan pemenangnya, dan orang-orang dari kampung halamannya serta hakim memberikan kepadanya ranting palem. Pada akhir permainan, masing-masing pemenang menerima karangan bunga yang terbuat dari daun zaitun atau pohon salem (kebiasaan ini sudah ada dalam tradisi Yunani, tradisi yang ada kaitannya dengan dewa Delphi).

Paulus mengulangi pernyataannya bahwa ia belum mencapai kesempurnaan spiritual itu. Ia juga memberi penekanan bahwa di dalam Kristus keyakinan lahiriah tidak ada apa-apanya di hadapan karunia Allah. Artinya, kalau Paulus sendiri tidak mengklaim diri sudah lengkap secara spiritual, maka orang-orang Kristen di Filipi pun seharusnya tidak boleh bermegah dalam dan dengan alasan apa pun.

Pertama, orang-orang percaya bisa menempatkan masa lalu mereka di belakang mereka. Kita belajar dari Paulus bahwa meskipun dedikasinya kepada hukum Musa tidak perlu diragukan lagi, namun ia telah gagal memperoleh karunia Allah dan kebenaran-Nya. Oleh sebab itu, Paulus ia tidak ingin mengingat masa lalunya itu dengan tujuan yang hampa, tetapi bagaimana semuanya itu dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan spiritualnya. Dia tidak mau terjebak dalam kebanggaan yang berlebihan atau sebaliknya penyesalan yang tiada akhir akan masa lalunya; dia tidak mau kalau masa lalunya menghalangi perkembangan kehidupannya saat ini dan kehidupannya di masa yang akan datang.

Kedua, Paulus dan orang-orang Kristen di Filipi harus berusaha mendapatkan hadiah masa depan yang menanti mereka, yaitu “keselamatan yang sempurna”. Dengan menggunakan analogi olahraga lari, Paulus menekankan pentingnya mengerahkan seluruh kemampuan untuk terus maju dan mencapai garis finish, untuk menjadi lebih serupa dengan gambar Kristus. Namun, perlu diingat dengan baik, bahwa Paulus tidak pernah berusaha untuk unggul di atas semua orang percaya lainnya dengan menghalalkan segala cara, tetapi berusaha mendapatkan hadiah yang diberikan oleh Yesus kepada semua orang yang berusaha mengejar Dia (Fil. 3:14).

Kadang-kadang kita, sebagai orang percaya, bisa tetap terjebak di masa lalu. Apabila kita belajar untuk meninggalkan kegagalan dan atau kebanggaan (kejayaan) dari masa lalu kita di belakang, maka kita menantikan imbalan abadi Allah bagi kita di masa depan. Butuh perjumpaan dengan Tuhan Yesus yang bangkit untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Kita tidak perlu terjebak dalam penyesalan dan atau kebanggaan berlebih akan apa yang pernah kita raih/alami sebelumnya, kita juga tidak perlu terbuai dengan impian masa depan yang seringkali tidak realistis. Saat ini, “kita berlari mengejar” kesempurnaan dalam Kristus, sambil menjaga mata melihat masa depan yang lebih baik. Dalam konteks itulah Allah telah memanggil kita, memanggil kita semua untuk berlari ke arah-Nya.

Cara kita memperlakukan hidup saat ini sangat dipengaruhi oleh cara kita menerima masa lalu dan memandang masa depan. Masa lalu – entah kegagalan/kepedihan atau pun kebanggaan/kesuksesan – mendorong kita untuk bersikap dan berperilaku seperti sekarang ini, dan masa depan – entah pesimis atau pun optimis – menarik kita untuk bersikap dan berperilaku seperti sekarang ini. Jadilah pengikut Kristus yang terus berlari menuju panggilan surgawi.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...