Khotbah Minggu, 24 April 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
1 Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap Imam Besar,
2 dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik, supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem.
3 Dalam perjalanannya ke Damsyik, ketika ia sudah dekat kota itu, tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia.
4 Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?"
5 Jawab Saulus: "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kauaniaya itu.
6 Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat."
Nama “Saulus” pertama kali disebutkan dalam Kisah para Rasul ini pada pasal 7:58. Lukas memberi tahu kita bahwa pada saat Stefanus diseret keluar kota dan dilempari dengan batu, Saulus bertugas menjaga jubah orang-orang yang akan mengeksekusi Stefanus dengan cara yang brutal tersebut. Kalau membaca Kisah Rasul 8:1a, tampak bahwa Saulus bukan hanya saksi pasif atas penganiayaan Stefanus, tetapi dia “setuju kalau Stefanus dibunuh”. Itu mungkin hanya salah satu kasus penganiayaan kepada para pengikut Kristus dimana Saulus memiliki peran penting dalam penganiayaan tersebut. Pasal 8 darii Kisah Rasul ini memberikan kita cukup informasi tentang peran aktif Saulus dalam penganiayaan atau pembinasaan jemaat Tuhan, baik laki-laki maupun perempuan. “Tetapi Saulus berusaha membinasakan jemaat itu dan ia memasuki rumah demi rumah dan menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara” (Kis. 8:3). Jadi, Saulus sangat aktif dalam mengejar dan menangkap siapa pun yang percaya kepada Kristus.
Awal pasal 9 yang kita baca tadi masih menunjukkan keaktifan Saulus dalam mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Dengan semangat yang tinggi dia meminta Imam Besar untuk memberikan kuasa kepadanya dalam menangkap para pengikut Yesus dan membawa mereka ke Yerusalem (untuk dihukum). Tetapi, perubahan dramatis justru dimulai dari puncak kebencian Saulus ini. Demikianlah Lukas, penulis Kisah Rasul ini, menyampaikan kisahnya. Pengisahan seperti ini hendak menunjukkan kepada kita bagaimana Tuhan dalam anugerah-Nya dapat saja mengubah siapa pun dengan cara-Nya sendiri.
Ada hal menarik sehubungan dengan sebutan yang dialamatkan kepada para pengikut Yesus dalam teks ini. Mereka disebut sebagai pengikut “Jalan Tuhan” (ay. 2). Kita tahu bahwa kemudian para pengikut Kristus ini disebut sebagai “Kristen” (Kis. 11:26). Tetapi, tampaknya sebutan sebagai pengikut “Jalan Tuhan” sengaja ditempatkan sebelum sebutan “Kristen” tersebut. Perhatikanlah dengan cermat bagaimana Saulus rela menempuh “jalan” dengan jarak yang sangat jauh, mungkin bermil-mil, hanya untuk menganiaya para pengikut “Jalan” Tuhan tersebut. Dan, dalam per-jalan-an itu pula akhirnya “jalan sesat” yang ditempuhnya “dihentikan” oleh Tuhan. Per-jalan-an ke Damsyik ini ternyata membawa perubahan dramatis dalam hidup Saulus; meninggalkan “jalan penganiayaan” yang selama ini ditempuhnya, dan masuk ke “Jalan Tuhan”, suatu jalan yang kemudian membawanya ke dalam per-jalan-an misi hingga ke ujung bumi (pada waktu itu kota Roma dianggap sebagai ujung bumi).
Kembali ke peristiwa perjalanan ke Damsyik tadi. Saat Saulus semakin dekat ke Damyik dan banyak penganiayaan baru, Saulus dikejutkan oleh cahaya yang memancar dari langit mengelilingi dia, dan dia pun rebah ke tanah, diikuti dengan suara atau sapaan surgawi. Suara tersebut adalah suara Yesus sendiri. Yesus bertanya kepada Saulus mengapa dia berusaha menganiaya Dia. Kata-kata ini hendak menegaskan bahwa ketika Saulus menindas orang beriman, dia sebenarnya sedang menganiaya Yesus sendiri. Setiap kali pengikut Kristus dilecehkan atau dianiaya, sesungguhnya Yesus paling hadir bersama dengan orang-orang yang tertindas tersebut. Itulah ciri khas dari “Jalan Tuhan”. Ini dapat menjadi penghiburan dan penguatan kepada orang-orang Kristen mula-mula bahwa Tuhan Yesus sangat tahu penganiayaan yang mereka alami, dan bahwa Tuhan tidak pernah diam atas penganiayaan yang mereka alami tersebut. Penghiburan dan penguatan seperti ini masih relevan sampai hari ini, ketika orang-orang Kristen harus mengalami penganiayaan karena mengikuti “Jalan Tuhan”.
Perintah Yesus kepada Saulus dalam teks ini sangat spesifik. Dia berkata: “bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat” (ay. 6). Ini merupakan narasi awal yang mengisahkan pertobatan Saulus. Saulus kemudian tidak hanya berpaling dari “jalan” hidup sebelumnya; hal yang paling penting adalah bahwa kelak dia dipanggil, ditugaskan, dan diutus untuk berjalan di “Jalan” yang baru. Dia menjadi rasul Kristus, terutama kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Kisah ini menunjukkan bahwa perjumpaan Saulus dengan Tuhan, mampu mengubahkan hidupnya secara radikal, bukan saja menjadi pengikut Kristus, melainkan menjadi pemberita Injil Kristus yang sebelumnya dia lawan. Demikianlah para pengikut Kristus di sepanjang zaman: perjumpaannya dengan Tuhan mestinya dapat mengubahkan hidupnya menjadi lebih baik. Tidak semua orang Kristen telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan, walaupun mungkin cukup aktif dalam berbagai kegiatan gereja, atau malah menjadi pelayan Tuhan di gereja. Seharusnya, orang Kristen yang sungguh-sungguh telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan, akan mengalami perubahan dalam hidupnya, yaitu perubahan jalan/cara hidup menjadi lebih baik.
Kisah perubahan Saulus belum berhenti pada teks khotbah hari ini. Kalau kita membaca kisah selanjutnya, maka kita akan menemukan bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang tidak biasa dalam mengubahkan hidup seseorang yang telah berjumpa dengan Dia. Dalam peristiwa Damsyik tersebut, Tuhan Yesus bisa saja langsung memberikan petunjuk yang gamblang kepada Saulus tentang apa yang harus diperbuatnya pasca perjumpaan mereka itu. Tuhan malah memilih jalan yang tidak langsung untuk memberi tahu apa yang harus dilakukan oleh Saulus selanjutnya. Tuhan memanggil Ananias, seorang murid yang ada di Damsyik, untuk menemui Saulus dan menumpangkan tangannya ke atasnya, supaya ia dapat melihat lagi (Kis. 9:10-12). Tentu saja, Ananias “menolak” perintah ini, sebab berita tentang kekejaman Saulus terhadap para pengikut Jalan Tuhan sudah viral ke mana-mana. Artinya, kalau datang menemui Saulus sama artinya cari mati. Demikianlah kira-kira alasan Ananias. Namun demikian, setelah Tuhan Yesus meyakinkan dia, Ananias pun mengikuti perintah Tuhan kepadanya. Saulus pun dapat melihat kembali dan malah dibaptis (Kis. 9:13-18). Ini seperti memberi pesan kepada para pengikut Jalan Tuhan (yang diwakili oleh Ananias) bahwa kini Saulus telah berubah karena dia telah berjumpa dengan Tuhan.
Peristiwa perjumpaan Saulus dengan Tuhan dalam teks khotbah hari ini mengawali kisah pemanggilannya ke dalam suatu misi Kristus bagi bangsa-bangsa. Kisah panggilan Saulus/Paulus adalah kisah yang menggugah dan terkenal. Lukas sendiri mengulangi kisah ini tiga kali dalam sisa Kisah Para Rasul (juga dalam pasal 22 dan 26). Lalu, bagaimana kisah panggilan dramatis di jalan berdebu menuju Damsyik ini memberi kita imajinasi baru? Apakah semangat hidup kita, sejauh ini, telah salah arah dan bahkan merusak diri sendiri dan orang lain? Apakah jalan hidup yang sedang kita jalani sudah berada di jalur “Jalan Tuhan” atau belum? Ingatlah, perjumpaan dengan Tuhan mestinya dapat mengubahkan hidup kita menjadi lebih baik.