Saturday, April 2, 2022

Berlari menuju Panggilan Surgawi – Usawagö ba Wogaoni Soroi Zorugo (Filipi 3:4b-14)

Khotbah Minggu, 3 April 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

4b Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi:
5 disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi,
6 tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.
7 Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.
8 Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,
9 dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.
10 Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,
11 supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.
12 Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.
13 Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,
14 dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.

Setiap orang memiliki latar belakang kehidupan yang unik. Ada orang yang latar belakang kehidupannya cukup membanggakan menurut ukuran duniawi. Ada juga yang biasa-biasa saja. Tidak sedikit juga yang merasa bahwa tidak ada yang patut dibanggakan dari latar belakang kehidupannya. Sebagian ada yang merasa kecewa dengan kehidupan masa lalunya, malah ada yang kecewa dilahirkan dan atau dibesarkan dalam keluarga tertentu. Bagaimanakah kita? Apakah latar belakang kehidupan kita istimewa menurut ukuran duniawi? Atau biasa-biasa saja? Atau malah cukup suram?

Adalah Paulus, Rasul Kristus yang terkenal itu, menguraikan satu per satu hal-hal yang patut dibanggakan dari latar belakang kehidupannya. Apa saja?

- Disunat pada hari kedelapan; jadi dia adalah keturunan asli Abraham (Kej. 17:12; Im. 12:3), dan bukan keturunan Ismael yang disunat pada hari ketigabelas (Kej. 17:25). Istimewa bukan?
- Berasal dari bangsa Israel; keturunan Yakub yang diberi nama oleh Allah sebagai Israel (Kej. 32:28). Paulus murni Israel. Istimewa bukan?
- Berasal dari suku Benyamin; suku ini adalah anggota elit bangsa Israel, kaum bangsawan; anak Rahel, istri kesayangan Yakub dan lahir di tanah perjanjian (Kej. 35:17, 18); raja pertama Israel berasal dari suku ini; nama asli Paulus adalah Saulus; suku yang tetap setia kepada Yehuda (1 Raj. 12:21); dilahirkan kembali (Ezr. 4:1). Itulah Paulus. Istimewa bukan?
- Orang Ibrani asli, yaitu orang yang masih menguasai bahasa Ibrani sekalipun mereka berada di tengah-tengah bangsa yang didominasi oleh bahasa Yunani. Ia lahir di kota Tarsus, datang ke Yerusalem untuk belajar di bawah bimbingan Gamaliel (Kis. 22:3).
- Telah dididik menjadi orang Farisi, yang sangat kuat/fanatik memelihara hukum Taurat beserta tradisi-tradisinya, dan Paulus sangat taat.
- Penganiaya Gereja; inilah ciri khas orang Yahudi/farisi asli, membela Allah (bnd. Bil. 25:11-13). Artinya, Paulus sangat mengenal agama Yahudi, bahkan sangat fanatik.

Intinya, secara umum Paulus memiliki latar belakang kehidupan yang luar biasa menurut ukuran pada zaman itu. Menjadi orang Yahudi pada waktu itu adalah sebuah kebanggaan, suatu kelebihan yang luar biasa, apalagi kalau ditambah dengan latar belakang pendidikan keagamaan Yahudi yang memadai. Paulus memiliki semua itu, dan wajar kalau dia merasa beruntung dengan latar belakang kehidupannya itu. Tetapi sebenarnya, uraian Paulus ini dimaksudkan untuk menanggapi guru-guru Yahudi yang telah menyebarkan ajaran-ajaran yang menyesatkan pada waktu itu. Dengan keras Paulus menyebut mereka sebagai “anjing-anjing, pekerja-pekerja jahat, dan penyunat-penyunat palsu” (Fil. 3:3). Guru-guru Yahudi penyesat ini sebelumnya telah memprovokasi jemaat untuk kembali ke tradisi lama, terutama tradisi sunat, seolah-olah tradisi itu yang menyelamatkan mereka. Mereka juga tampaknya menyerang ke-yahudi-an Paulus dan orang-orang Kristen di Filipi. Itulah sebabnya Paulus dengan keras melawan mereka; dan sekarang, seperti dalam teks tadi, Paulus mau membuktikan bahwa dia sebenarnya memiliki keistimewaan sebagai orang Yahudi. Dia menunjukkan identitas ke-yahudi-annya, yang bahkan mungkin melebihi keistimewaan para guru Yahudi itu.

Demikianlah Paulus menyebutkan satu per satu keistimewaan, keberhasilan, dan kebanggaan yang dimilikinya, mengalahkan guru-guru Yahudi penyesat itu. Dia hanya membuktikan kepada para penyesat itu bahwa sesungguhnya dia pun mempunyai hak istimewa yang dibawa sejak lahir, dan dia boleh saja berbangga dengan itu.

Lalu, apakah Paulus tetap berbangga diri dengan semua keistimewaannya itu? Tidak! Sejak dia bertemu dengan Kristus, dia membuang semua kebanggaan duniawinya itu, dan malah menganggapnya sebagai kesia-siaan (ay. 7-8a). Sekarang, Paulus menegaskan bahwa keberhasilan manusia haruslah dikesampingkan agar dapat menerima anugerah Kristus yang cuma-cuma itu. Orang Kristen yang hidup di dalam Kristus, atau yang Kristus hidup di dalamnya, haruslah menanggalkan segala kebanggaan, kehormatan, harga diri, keberhasilan, dan keistimewaan duniawi itu, supaya dapat menerima kemurahan Allah dalam Kristus dengan penuh kerendahan hati. Tidak ada yang dapat dibandingkan dengan Kristus, entah latar belakang kehidupan yang membanggakan, atau pun masa lalu yang suram. Kristus melampaui semuanya itu. Manusia tidak perlu menjadikan latar belakang kehidupan atau masa lalunya tersebut sebagai ukuran keselamatan, apalagi menjadikannya sebagai media untuk menganggap rendah orang lain. Orang yang telah berada di dalam Kristus justru menganggap semua itu sebagai suatu kerugian. Satu-satunya keuntungan yang sejati adalah ketika kita mengenal dan berada di dalam Kristus.

Sebagai orang Yahudi asli, menaati hukum taurat adalah sebuah keberhasilan, tidak banyak orang yang mampu mencapainya. Namun demikian, sejak mengenal Kristus, Paulus menganggap bahwa ketaatan yang jauh lebih bermakna, jauh lebih menguntungkan adalah ketaatan kepada kebenaran Kristus. Ketaatan kepada Kristus inilah yang kemudian mendorong orang percaya untuk berperilaku menyerupai Kristus yang sempurna. Paulus menggunakan metafora perlombaan untuk menggambarkan apa artinya untuk mengikut Kristus. Baik orang Yunani maupun orang Romawi adalah penggemar setia kontes olahraga. Kadang-kadang bentuk permainan atau olahraga Romawi adalah kekerasan dan kejam, tetapi penekanan utama sesungguhnya adalah pada upaya petarungnya meraih kemenangan dengan mencurahkan seluruh kekuatan, daya tahan, dan kecepatannya, tidak boleh “tanggung-tanggung” (tasi igohi, manga gi’o manga högö, aefa furi aefa föna). Lomba lari misalnya, ketika pelari memenangkan lomba itu, mereka akan memperoleh hadiah. Hadiah yang jauh lebih bernilai adalah berupa pengakuan dan kehormatan yang mereka terima. Setelah kontes selesai, pemberita menyatakan pemenangnya, dan orang-orang dari kampung halamannya serta hakim memberikan kepadanya ranting palem. Pada akhir permainan, masing-masing pemenang menerima karangan bunga yang terbuat dari daun zaitun atau pohon salem (kebiasaan ini sudah ada dalam tradisi Yunani, tradisi yang ada kaitannya dengan dewa Delphi).

Paulus mengulangi pernyataannya bahwa ia belum mencapai kesempurnaan spiritual itu. Ia juga memberi penekanan bahwa di dalam Kristus keyakinan lahiriah tidak ada apa-apanya di hadapan karunia Allah. Artinya, kalau Paulus sendiri tidak mengklaim diri sudah lengkap secara spiritual, maka orang-orang Kristen di Filipi pun seharusnya tidak boleh bermegah dalam dan dengan alasan apa pun.

Pertama, orang-orang percaya bisa menempatkan masa lalu mereka di belakang mereka. Kita belajar dari Paulus bahwa meskipun dedikasinya kepada hukum Musa tidak perlu diragukan lagi, namun ia telah gagal memperoleh karunia Allah dan kebenaran-Nya. Oleh sebab itu, Paulus ia tidak ingin mengingat masa lalunya itu dengan tujuan yang hampa, tetapi bagaimana semuanya itu dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan spiritualnya. Dia tidak mau terjebak dalam kebanggaan yang berlebihan atau sebaliknya penyesalan yang tiada akhir akan masa lalunya; dia tidak mau kalau masa lalunya menghalangi perkembangan kehidupannya saat ini dan kehidupannya di masa yang akan datang.

Kedua, Paulus dan orang-orang Kristen di Filipi harus berusaha mendapatkan hadiah masa depan yang menanti mereka, yaitu “keselamatan yang sempurna”. Dengan menggunakan analogi olahraga lari, Paulus menekankan pentingnya mengerahkan seluruh kemampuan untuk terus maju dan mencapai garis finish, untuk menjadi lebih serupa dengan gambar Kristus. Namun, perlu diingat dengan baik, bahwa Paulus tidak pernah berusaha untuk unggul di atas semua orang percaya lainnya dengan menghalalkan segala cara, tetapi berusaha mendapatkan hadiah yang diberikan oleh Yesus kepada semua orang yang berusaha mengejar Dia (Fil. 3:14).

Kadang-kadang kita, sebagai orang percaya, bisa tetap terjebak di masa lalu. Apabila kita belajar untuk meninggalkan kegagalan dan atau kebanggaan (kejayaan) dari masa lalu kita di belakang, maka kita menantikan imbalan abadi Allah bagi kita di masa depan. Butuh perjumpaan dengan Tuhan Yesus yang bangkit untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Kita tidak perlu terjebak dalam penyesalan dan atau kebanggaan berlebih akan apa yang pernah kita raih/alami sebelumnya, kita juga tidak perlu terbuai dengan impian masa depan yang seringkali tidak realistis. Saat ini, “kita berlari mengejar” kesempurnaan dalam Kristus, sambil menjaga mata melihat masa depan yang lebih baik. Dalam konteks itulah Allah telah memanggil kita, memanggil kita semua untuk berlari ke arah-Nya.

Cara kita memperlakukan hidup saat ini sangat dipengaruhi oleh cara kita menerima masa lalu dan memandang masa depan. Masa lalu – entah kegagalan/kepedihan atau pun kebanggaan/kesuksesan – mendorong kita untuk bersikap dan berperilaku seperti sekarang ini, dan masa depan – entah pesimis atau pun optimis – menarik kita untuk bersikap dan berperilaku seperti sekarang ini. Jadilah pengikut Kristus yang terus berlari menuju panggilan surgawi.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...