6 Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.
7 Sebab kita tidak
membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke
luar.
8 Asal ada makanan
dan pakaian, cukuplah.
9 Tetapi mereka yang
ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam
berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan
manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.
10 Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.
Kita
baru saja mendengar kabar bahwa salah seorang hakim agung di Indonesia
tertangkap tangan KPK dengan kasus korupsi (penyuapan). Hakim merupakan wakil
Allah di bumi dalam menegakkan keadilan, apalagi hakim agung. Banyak
orang/pihak di Indonesia yang terjerat kasus korupsi, baik pihak eksekutif
(pemerintah), legislatif (wakil rakyat), dan yudikatif (penegak hukum), bahkan
rohaniwan. Agama mereka sama, yaitu UANG. Bagi orang-orang seperti ini, kalau
bisa semua dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan (uang)
bagi mereka, termasuk memanfaatkan ibadah agama (bnd. 1Tim. 6:5b).
Fenomena
seperti ini sudah terjadi sejak lama, dan menurut Paulus, akar kejahatan
tersebut adalah CINTA UANG (ay. 10). Dalam teks ini, Paulus tidak menganggap
uang sebagai sesuatu yang jahat, tetapi CINTA UANG yang menjadi persoalan.
Cinta uang yang dimaksud di sini mengarah pada keinginan yang berlebihan akan
uang hingga berusaha memburunya dengan cara apa pun, dan menempatkan
keinginannya mendapatkan uang tersebut di atas segala-galanya. Inilah yang
menjadi akar kejahatan, dan akan terus melahirkan kejahatan lainnya di muka
bumi. Pada ayat 9, Paulus memperingatkan jemaat atau para penatua pada zaman
Timotius: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam
jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang
menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan”. Pada bagian lain
dalam Alkitab, Yesus pernah mengatakan bahwa para pengikut-Nya tidak dapat
mengabdi kepada dua tuan, mengabdi kepada Allah dan mengabdi kepada mamon (Mat.
6:24). Godaan kejahatan karena kekayaan sangatlah kuat, dan Paulus mengingatkan
kita untuk waspada.
Tentu
saja nasihat Paulus ini dapat saja menyebabkan ketidaknyamanan atau bahkan
ketakutan bagi sebagian orang, terutama mereka yang memiliki orientasi
materialistis yang kuat. Atau, kita dapat saja mengatakan bahwa hanya orang
munafiklah yang tidak membutuhkan uang, gereja saja membutuhkannya. Hal ini
menjadi tantangan bagi kita, apalagi pada zaman modern ini, uang telah menjadi
segala-galanya. Kalau kita menelusuri lebih dalam maksud perkataan Yesus maupun
Paulus, maka kita akan menemukan bahwa “kekayaan” atau “cinta uang” muncul
sebagai “allah palsu” yang menghalangi penyembahan yang benar kepada Allah yang
sejati. Itulah sebabnya “kekayaan” atau “uang” seolah-olah dianggap sebagai
sesuatu yang “jahat” dan harus dijauhi.
Namun
demikian, kekayaan atau uang sebenarnya bukan sesuatu yang jahat sama sekali.
Yesus maupun Paulus tidak bermaksud untuk menafikan kekayaan atau uang. Dalam
Alkitab ada cerita tentang orang-orang kaya yang dermawan; ada orang-orang yang
melayani Yesus dan para murid dengan kekayaan yang mereka miliki (lih. Luk.
8:3). Demikian pula, rasul Paulus memanfaatkan dukungan keuangan dari para
dermawan untuk perjalanan dan kegiatan misionarisnya. Oleh karena itu, tidak tepat
untuk mengatakan bahwa kekayaan materi itu jahat sama sekali dan tidak ada
kebaikan di dalamnya. Kekayaan materi bisa menghalangi seseorang untuk percaya
kepada Tuhan, bisa menjadi penghalang untuk mengikuti Yesus (Mrk. 10:17-22),
dan bisa menghalangi kita untuk beribadah sepenuh hati kepada Tuhan. Pada sisi
lain, banyak dari pelayanan gereja bergantung pada sumber keuangan anggota
jemaat. Oleh sebab itu, mereka yang memiliki kekayaan harus “berbuat baik,
menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian
mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang
akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya” (1 Tim. 6:18-19).
Jadi,
hal yang sangat penting adalah sikap manusia terhadap kekayaan atau uang
tersebut. Kekayaan atau uang dapat menjadi jerat bagi kita kalau kita
menempatkannya sebagai pusat kehidupan kita. Kekayaan atau uang dapat menjadi
sesuatu yang jahat apabila kita mencintainya dan memburunya dengan menghalalkan
segala cara, termasuk memanfaatkan ibadah kepada Tuhan sebagai kesempatan untuk
mendapatkan kekayaan atau uang. Kekayaan atau uang dapat menjadi masalah serius
dalam hidup kita apabila kita mencarinya dalam kekuatiran atau dengan keinginan
yang berlebihan sampai mengalahkan cinta kita kepada Tuhan.
Seperti
apa sikap yang baik terhadap kekayaan atau uang? Pada ayat 6, Paulus menegaskan
rahasia penting supaya kekayaan atau uang tidak menjadi persoalan dalam hidup
manusia, yaitu “rasa cukup”, dan pada ayat 8, Paulus menegaskannya kembali: “asal
ada makanan dan pakaian, cukuplah”. Kata “merasa cukup” di sini berarti merasa
senang, merasa puas, dan merasa bahagia disertai dengan rasa syukur atas apa
yang ada dalam hidupnya, atas apa yang telah dicapai atau diperolehnya sampai
saat ini. Konsep dasar kata Yunani autarkeia berarti kecukupan atau kepuasan
yang muncul dari dalam diri seseorang, tidak dipengaruhi oleh keadaan di luar
dirinya. Dengan kata ini, Paulus hendak menegaskan bahwa “rasa cukup” yang baik
itu berasal dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Orang boleh saja memiliki
kekayaan atau uang yang banyak, tetapi belum tentu dia merasa cukup atau merasa
bahagia dengan itu. Ada juga orang yang tidak memiliki kekayaan atau uang yang
banyak, hidup sederhana, tetapi dia merasa cukup, merasa puas, dan merasa
bahagia. Saya pernah mengamati ikan lele, lö la’ila wa’abusora, gofu
hawa’oya öbe göra ba lagaga manö, la’a nasa nawöra, afuriata oya zimate, mate
ba wa’abuso.
Uang atau
kekayaan dapat digunakan untuk kebaikan dan juga kejahatan, tetapi pokok
persoalan adalah CINTA akan uang. Nafsu akan uang dan keinginan yang kuat untuk
mendapatkan lebih banyak uang dan meningkatkan kekayaan duniawi, itulah yang menjadi
akar kejahatan dalam hidup ini. Tentu saja, cinta uang bukanlah satu-satunya
sumber kejahatan, masih banyak sumber lain dari kejahatan di bumi ini. Namun
demikian, cinta uang adalah salah satu akar kejahatan yang dapat menjerumuskan
manusia ke dalam berbagai dosa dan kejahatan lainnya. Banyak orang yang
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang yang banyak. Ato niha
“sangisö” ba gana’a (gokhöta), afuriata ilau “wangisu” ena’ö oya isöndra.
Paulus
mengingatkan kita bahwa “kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan
kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar” (ay. 7). Kita lahir tanpa membawa
apa-apa, dan akan mati tanpa membawa apa-apa juga. Oleh sebab itu, hati-hatilah
terhadap keinginan untuk menjadi kaya, atau keinginan untuk mendapatkan uang
sebanyak mungkin, sebab dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam godaan. Dengan
sikap memburu uang kita dapat terjebak dalam kekuatiran akan kekayaan yang kita
miliki, dan tentu saja kita dapat saja terjebak dalam berbagai keinginan daging
yang dapat mempermalukan diri kita sendiri.
Seperti
yang disampaikan di awal khotbah ini, bahwa banyak orang yang melakukan
korupsi, baik pejabat pemerintahan, legislatif, yudikatif, maupun keagamaan
(rohaniwan). Banyak orang yang “oleh karena memburu uang telah menyimpang dari
iman dan menyiksa diri dengan berbagai-bagai duka” (ay. 10). Maka, waspadalah!
Uang memang penting, tetapi bukan segala-galanya. Jangan merusak hidupmu dengan
CINTA UANG! Nikmatilah hidupmu apa adanya, kebahagiaan itu berasal dari diri
sendiri dan dari Allah. Pergunakanlah kekayaan atau apa pun yang kita miliki
untuk kebaikan bagi sesama dan bagi kemuliaan nama Tuhan. Itulah inti Injil
yang kita beritakan di dunia zaman modern ini.
Mari tetap bersatu dalam memberitakan Injil, baik pada saat memiliki uang, maupun pada saat tidak memilikinya; baik pada saat berlimpah, maupun pada saat berkekurangan. Doa Yesus supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tetap bersatu (Yoh. 17:21-23), hendak menegaskan bahwa kita jangan tercerai berai hanya oleh karena himpitan kekayaan atau sebaliknya himpitan kemiskinan/kekurangan. Dalam situasi apa pun, kita tetap bersatu, ya bersatu untuk memberitakan Injil.